Sungguh miris menjadi karet, kehadirannya selalu disematkan dalam hal aturan hukum yang tidak jelas, salah satunya yang kerap disebut dengan ‘pasal karet.’ Apa coba salahnya karet, kalo memang ada aturan hukum yang tidak jelas tolak ukurnya, kenapa karet dibawa-bawa. Jadi berhak dong, karet gugat konstitusi.
Setidaknya karet telah menemani masa kecil saya, mulai jadi permainan lompat tali, pistol-pistolan dari gelang karet dan ketapel. Bahkan yang sungguh fundamental, sewaktu saya SD karet mampu menjadi penghapus pensil dadakan.
Nah, sekarang setelah saya tumbuh dewasa resmi menyandang predikat Advokat plus Magister Hukum, karet telah beralih fungsi makna dan tafsirnya. Para pakar hukum menyebut karet, disandingkan dengan kata pasal. Ya, ‘pasal karet’ untuk mengartikan suatu aturan hukum yang tidak jelas tolak ukurnya.
Sebagai generasi yang masa kecilnya berkecimpung dengan karet, wajar dong saya nesu. Mbokyao ketika ada aturan hukum tidak jelas tolak ukurnya, langsung saja disebut “Pasal tidak jelas” atau “Pasal absurd.” Kan lebih enak tanpa membawa-bawa nama karet.
BACA JUGA: KENYALNYA PASAL KARET UU ITE
Terus bagaimana kalo suatu saat karet menggugat konstitusi. Mereka merasa namanya tercemar, selalu disandingkan dengan aturan hukum yang tidak jelas.
Selain itu harusnya kita berterima kasih kepada karet. Menurut data BPS pada tahun 2019, produksi karet kering di Indonesia tembus di angka 3.33 juta ton. Wakeeh tenan kan pren. Yang mana dari hasil produksi tersebut diekspor ke Amerika, Jepang, China, India dan Republik Korea. Seharusnya kita turut bangga akan dedikasi karet buat bangsa dan negara.
Tapi sekarang karet sedang ramai dibahas bukan karena prestasinya yang sangat menguntungkan dan mensejahterakan para petani karet.
Yang dibahas soal ‘pasal karet’ di UU ITE. Sebagaimana pidato Presiden Joko Widodo mengatakan ia bisa meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merevisi UU ITE, apabila implementasinya dirasa tidak adil. Sebab menurut Jokowi, pasal-pasal dalam UU ITE atau UU No 11 Tahun 2008, bisa menjadi hulu dari persoalan hukum. “Terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa beda-beda, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak,” sebagaimana dilansir dalam Kompas.com.
Saya sepakat dengan tweet @DamarJuniarto soal usulannya terdapat 9 (sembilan) pasal bermasalah dalam UU ITE yang minta direvisi. Saya sepakatnya karena Pak Damar Juniarto tidak menyebutkan ‘pasal karet.’ Adapun 9 (sembilan) pasal bermasalah (sebagaimana dirangkum kompas.com) sebagai berikut.
- Pasal 26 Ayat 3 tentang penghapusan informasi yang tidak relevan, pasal ini bermasalah soal sensor informasi.
- Pasal 27 Ayat 1 tentang asusila, pasal ini bermasalah karena dapat digunakan untuk menghukum korban kekerasan berbasis gender online.
- Pasal 27 Ayat 3 tentang dafamasi, dianggap bisa digunakan untuk represi warga yang mengkritik pemerintah, polisi atau lembaga negara.
- Pasal 28 Ayat 2 tentang ujaran kebencian, pasal ini dapat merepresi agama minoritas serta represi pada warga terkait kritik pada pihak polisi dan pemerintah.
- Pasal 29 tentang ancaman kekerasan, pasal ini bermasalah lantaran dapat dipakai untuk memidana orang yang ingin lapor ke polisi.
- Pasal 36 tentang kerugian, pasal ini dapat digunakan untuk memperberat hukuman pidana defamasi.
- Pasal 40 Ayat 2a tentang muatan yang dilarang, pasal ini bermasalah karena dapat digunakan sebagai alasan internet shutdown untuk mencegah penyebarluasan dan penggunaan hoax.
- Pasal 40 Ayat 2b tentang pemutusan akses, pasal ini bermasalah karena dapat menjadi penegasan peran pemerintah lebih diutamakan dari putusan pengadilan.
- Pasal 45 Ayat 3 tentang ancaman penjara dari tindakan defamasi, pasal ini bermasalah karena dapat menahan tertuduh saat proses penyidikan.
BACA JUGA: APAKAH HAK CIPTA MELANGGAR UU MONOPOLI?
Selain dalam UU ITE sebenarnya banyak juga pasal-pasal lain yang bermasalah dan tolak ukurnya tidak jelas. Contohnya, penghinaan presiden dan wakil presiden serta penistaan agama sebagaimana diatur dalam KUHP. Walaupun di luar sana pasal-pasal tersebut masih sering disebut sebagai ‘pasal karet.’
Soalnya saya tidak bisa membayangkan jika suatu saat nanti ‘para karet’ menggugat, dengan dalil namanya tidak ingin dicatutkan dalam aturan hukum yang tidak jelas, karena merugikan eksistensi karet didunia tanaman. Lagian aturan hukum tersebut yang membuat kan bukan para karet.
Dengan nesunya, karet melayangkan gugatan ke MK dan mogok tidak akan memproduksi hasil sumber dayanya pie pren? Kacau kan.
Lagian seberapa susahnya sih, menyebutkan pasal ini bermasalah, pasal itu tidak jelas tolak ukurnya, pasal ini absurd, tanpa mencatut nama karet. Toh, ada si pembuat undang-undang dan undang-undang itu tidak dihasilkan dari getah karet yang semakin ke sini daya belinya belum bisa mensejahterakan para petani atau pekebun karet.