Sering kita dengar kalau advokat adalah profesi yang mulia (Officium Nobile). Eits, tapi gak cuma pengacara, hakim juga profesi yang mulia dan tidak kalah mulia dengan seorang advokat lho.
Hal ini tidak berlebihan. Coba kita bayangkan betapa beratnya tugas hakim yang harus menjunjung tinggi keadilan, etika hukum, moral, kesusilaan dan juga kebenaran. Jadi jangan heran jika dalam persidangan, sebagai bentuk penghormatan kita memanggil hakim dengan sebutan, “Yang mulia.”
Akhir-akhir ini, hukum seperti sedang sakit-sakitan. Banyak kita dengar putusan-putusan yang menyayat hati rakyat. Contohnya, putusan Jaksa Pinangki, putusan penyiram Novel Baswedan dan masih banyak lagi.
Banyak dari kita pasti kesal dan marah kepada hakim, dengan analisis atau opini yang kadang hanya berakhir digosip tongkrongan.
Kalau kata Prof. Satjipto Rahardjo.
BACA JUGA: #LAWYERKRUPUK
“Saat memahat mahkotanya (putusan), seorang hakim harus berani menyelam lebih jauh, mengeksplorasi nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Setelah asyik menyelam hakim melakukan pertimbangan antara fakta dengan hukum yang ada, selanjutnya menjatuhkan putusan dengan menggunakan akal, hati dan nuraninya, serta putusannya harus adil dan memberikan manfaat, sehingga wujud mahkota yang dibuat oleh seorang hakim dapat memenuhi rasa keadilan.”
Sampai di sini kebayang kan, pentingnya dan beratnya tugas hakim?
Tapi gak adil dong, kalau kita cuma menyalahkan hakim karena gak becus ngejalanin tugasnya. Sebagai manusia yang ingin dimengerti, kita juga harus ngertiin nih, tantangan hakim.
Sudah sangat jelas dan pasti, dalam kehidupannya hakim menjadi sasaran tekanan lingkungan maupun organisasi. Sama kayak kita yang dapat tekanan dari tetangga yang sukanya nyinyir, tapi ini another level. Makin kebayang gak tu, beratnya profesi hakim.
Mantan hakim agung Amrik, Benjamin Cardoza pernah memperingatkan, “Walaupun ada kebebasan seorang hakim dan ada faktor lain seperti tekanan keadaan maupun tekanan keorganisasian dalam mengambil keputusan, hakim tidak boleh melupakan aspek normatif hukum untuk melayani kepentingan umum akan keadilan hukum.”
Intinya gak ada alesan buat hakim untuk tidak menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya. Cardoza menambahkan “Kewibawaan seorang hakim terletak pada kesetiaannya dalam menjunjung tinggi hukum.”
Setelah membahas profesinya. Gantian kita bahas tentang mahkota hakim atau putusan. Apa sih, pentingnya tau putusan hakim? Selain untuk bahan misuh kalau putusannya kontroversial.
Jangan salah, putusan hakim menempati tempat yang strategis loh, setidak-tidaknya sebagai sosialisasi hakim kepada sarjana hukum atau calon hakim di masa depan.
Tapi bukan kayak sosialisasi hidup sehat atau sosialisasi keluarga berencana ya. Sosialisasi yang dimaksud di sini adalah putusan seorang hakim digunakan sebagai bahan studi hukum para calon ahli hukum.
Hal ini sesuai banget dengan apa yang dijelasin Prof. Mochtar Kusumatmadja, kalau studi tradisional dalam bidang hukum itu menekankan pada keterampilan (craftsmanship) dengan cara analisis dan studi dari kasus-kasus (putusan) dan perundang-undangan.
Kita dapat melihat suatu sudut pandang baru dari suatu putusan, wajah hakim dan putusan yang ada saat ini akan membentuk wajah hakim dan putusan di masa depan, terlepas dari suatu putusan tersebut adil atau tidak.
Dahulu kala Socrates memiliki suatu metode dalam mendidik mahasiswanya. Selain metode tanya jawab secara cepat, ada metode lain untuk mendidik mahasiswanya. Socrates menamai metode ini sebagai case method, dengan metode ini mahasiswa menggunakan kasus-kasus yang telah diputus sebagai bahan dasar untuk belajar hukum. Ya, gampangnya kayak tugas analisis putusan gitu.
Kalau kita lihat dua metode itu kita dapat menarik kesimpulan, dimana ada dua kemungkinan yang akan terjadi.
BACA JUGA: PERSEPSI SALAH TENTANG PROFESI ADVOKAT
Pertama, setiap mahasiswa hukum akan mengetahui ketidakadilan pada putusan-putusan hakim dengan arahan yang baik dari dosen, intinya introspeksi diri biar gak ikut-ikutan yang jelek atau kedua mahasiswa akan menelan mentah-mentah putusan tersebut dengan akibat pola fikir yang terdoktrin dengan putusan-putusan yang salah.
Dengan kata lain si mahasiswa akan ngikut contoh yang jelek kalau di masa depan jadi penegak hukum.
Coba kita bayangkan kalau putusan-putusan yang tidak mencerminkan keadilan, menjadi sumbu hancurnya penegakan hukum di masa depan. Ngeri kan kalo dibayangin. Pada akhirnya suatu putusan hakim memiliki peran besar pada terciptanya suatu keadilan untuk sekarang dan masa depan.
Bahkan lebih dari itu, putusan hakim akan membuktikan kemuliaan profesi tersebut. Jika putusan hakim yang tidak adil terus menerus terjadi, maka profesi hakim sebagai profesi hukum yang mulia (Officium Nobile) hanya sebatas panggilan “Yang mulia” pada muka persidangan, tanpa adanya makna kemuliaan yang terkandung.
Ko bisa gitu?
Coba kita bayangkan lagi nih, hakim merupakan profesi yang mulia. Kemuliaan seorang hakim terletak pada mahkotanya. Kalau mahkotanya jelek, profesi hakim akan kehilangan kemuliaannya. Oleh karena itu sebagai penegak hukum di masa depan, harus menjaga mahkota penegakan hukum, agar profesi hukum tidak hilang kemuliaannya.