Kita pasti sudah sering banget mendengar kata penahanan. Penahanan merupakan salah satu upaya paksa yang dikenal dalam hukum pidana. Tapi tahu nggak sih, kalau penahan itu melanggar hak asasi manusia? Hah! Gimana-gimana? Eits, jangan salah paham dulu ya. Kuy, lanjut baca biar nggak gagal paham.
Dalam hukum acara pidana dikenal sebuah konsep yang disebut sebagai upaya paksa. Upaya paksa adalah segala bentuk tindakan yang dapat dipaksakan oleh aparat penegak hukum pidana terhadap kebebasan bergerak seseorang atau untuk memiliki dan menguasai suatu barang atau terhadap kemerdekaan pribadinya untuk tidak mendapat gangguan terhadap siapapun.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ada beberapa jenis upaya paksa, yaitu penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat.
Nah, pembahasan kali ini yakni terkait penahanan yang menjadi salah satu bentuk upaya paksa. Pasal 1 angka 21 KUHAP menjelaskan bahwa penahanan adalah penempatan tersangka/terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Pelaksanaan upaya paksa penahanan bukan hal yang mudah ya guys, meskipun KUHAP telah mengatur tentang penahanan. Karena berkaitan dengan kebebasan seseorang, yang artinya akan menyentuh hak-hak asasi manusia. Yaitu bersinggungan dengan hak kebebasan/kemerdekaan sebagai hak asasi manusia yang harus dihormati. Penahanan seharusnya dilakukan jika sangat diperlukan, karena apabila ada kekeliruan dalam melakukan penahanan akan berakibat pada tuduhan pelanggaran hak asasi manusia serta dapat dituntut melalui praperadilan ataupun pembayaran ganti kerugian.
BACA JUGA: JERAT HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DOXING
Tindakan upaya paksa dalam bentuk penahanan pada hakekatnya, dapat digolongkan sebagai tindakan yang melanggar hak asasi manusia (HAM) yaitu sebagai tindakan perampasan kebebasan manusia.
Tetapi, apabila tindakan penahanan itu dilakukan oleh pejabat penegak hukum berdasarkan undang-undang yang berlaku, maka tindakan upaya paksa tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran terhadap HAM.
Dan perlu diingat bahwa penahanan harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku dan tidak boleh sewenang-wenang. Hal itu demi kepentingan penegakan hukum dan supaya tersangka tetap memperoleh hak-haknya.
Menurut Van Bemellen, sebagaimana yang dikutip Syarifuddin Pettanasse, mengatakan bahwa penahanan adalah sebagai suatu pedang yang memenggal kedua belah pihak, karena tindakan yang bengis dapat dikenakan kepada orang-orang yang belum menerima keputusan hakim, jadi kemungkinan juga terjadi kepada orang-orang yang tidak bersalah.
Terlebih lagi, hukum acara kita mengenal asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), yaitu sebagai ketentuan yang menganggap seseorang yang menjalani proses pemidanaan tetap tidak bersalah sehingga harus dihormati hak-haknya sebagai warga negara sampai ada putusan pengadilan negeri yang menyatakan kesalahannya.
Lalu timbul pertanyaan, jika tidak bisa ditahan bagaimana jika tersangka kabur? Oke, seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa penahanan harus dilakukan sesuai dengan hukum dan aturan yang berlaku, sebab bersinggungan dengan perampasan kemerdekaan seseorang.
BACA JUGA: 5 PERBUATAN JAHAT YANG TIDAK DAPAT DIPIDANA
Faktanya, di lapangan masih terdapat pelanggaran yang terjadi. Hal tersebut bisa kita lihat di berita-berita, bagaimana kejamnya hukum apabila dilaksanakan tidak sesuai dengan ketentuan. Penahanan merupakan salah satu upaya dalam proses penegakan hukum, sehingga penegakan hukum tidak selayaknya menggunakan cara-cara yang berlawanan dengan hukum itu sendiri.
Penahanan yang dilakukan harus berdasarkan hukum yang berlaku dan merupakan instrumen terakhir, yang harus dipilih semata-mata melihat kepentingan umum yang mendesak.
Syarat dilakukan penahanan juga sudah diatur dalam KUHAP Pasal 21 Ayat (1), penahanan dilakukan terhadap tersangka yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup dan adanya kekhawatiran bahwa dia akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana.
Dalam KUHAP juga telah diatur ketentuan mengenai tindak pidana apa saja yang dapat dilakukan penahanan, lantaran tidak semua tindak pidana dapat dikenakan penahanan. Penahanan hanya dapat dilakukan dalam kasus tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih dan beberapa pidana yang diancam kurang dari lima tahun. Dari jenisnya, penahanan dibagi menjadi penahanan rumah, penahanan kota dan penahanan rumah tahanan negara.
Maka, sebagai upaya paksa, penahanan dilakukan jika tidak ada lagi upaya lain yang dapat digunakan untuk mengatasi kondisi yang sedang dihadapi guna kepentingan pemeriksaan.
Kekhawatiran pejabat yang bersangkutan sebagai alasan untuk melakukan upaya paksa penahanan menjadi tidak berdasar ketika adanya jaminan dari berbagai pihak, suami/isteri, penasihat hukum, tokoh masyarakat, tokoh nasional atau pihak lain bagi tersangka/terdakwa tentunya dengan memperhatikan setiap kondisi secara kasuistis.