Manuver pemerintah beberapa tahun terakhir dalam mempertahankan anak kandung mereka, patut diacungi jempol.
Ha? Anak kandung? Yaps, betul anak kandung. Gimana saya nggak menyebut UU CIPTAKER sebagai anak kandung mereka? Coba bayangkan, setelah UU CIPTAKER dijegal MK karena tidak memenuhi syarat formil pembentukan undang-undang, pemerintah mengeluarkan Perpu CIPTAKER dan tidak lama setelahnya disahkan menjadi undang-undang. Sangat wow, bukan.
Walaupun saya belum khatam membaca UU CIPTAKER dengan sederet perubahannya, saya yakin tidak banyak yang berubah di dalamnya. Melihat judulnya saja bikin pusing, “Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-undang,” biar nggak pusing saya sebut saja UU Ciptaker ya.
Oke, saya coba sampling beberapa peraturan berkaitan dengan lingkungan. Karena saat gelombang protes penolakan RUU CIPTAKER sampai menjadi UU CIPTAKER isu lingkungan adalah salah satu isu paling kontroversial dan disorot berbagai kalangan.
Oke, saya akan fokus pada aturan mengenai lingkungan. Permasalahan izin lingkungan, yang jadi salah satu isu yang cukup banyak disuarakan pegiat lingkungan.
BACA JUGA: ATURAN HUKUM TENTANG KENDARAAN LISTRIK
Fyi, awalnya pengaturan izin lingkungan diatur dalam Pasal 36 UU nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Poin pasal tersebut adalah mewajibkan setiap usaha memiliki izin lingkungan apabila bidang usahanya wajib memiliki Amdal dan UKL-UPL.
Setelah saya cermati UU CIPTAKER, ternyata oh ternyata, pasal tersebut tetap dihapus dan menggantikan izin lingkungan dengan persetujuan lingkungan. Ya, memang sih, ada persetujuan lingkungan sebagai gantinya, tapi permasalahan sesungguhnya adalah hilangnya hak gugat untuk membatalkan persetujuan lingkungan.
Karena selain menghapus Pasal 36 UU PPLH, UU CIPTAKER juga tetap menghapus Pasal 38 UU PPLH yang isinya adalah hak gugat membatalkan izin lingkungan melalui PTUN.
Coba bayangkan, betapa lemahnya legal standing masyarakat apabila ingin menggugat persetujuan lingkungan. Ada landasan hukumnya saja kadang tetep kalah, apalagi nggak ada kan. Hadeh!
Memang sih, secara bisnis, penyederhanaan perizinan seperti ini memang menggenjot pertumbuhan investasi. Tapi kalau berhubungan dengan lingkungan dan sumber daya alam, ya seharusnya jangan disederhanakan. Perizinan dibuat ribet dan sulit saja banyak akalnya ngakalin aturan, apalagi disederhanakan. Eksploitasi sumber daya alam ya, makin tak terkontrol.
Penyederhanaan izin yang didukung dengan penghapusan batas minimum kawasan hutan, bisa dipastikan akan memperluas potensi bisnis di hutan Indonesia.
UU CIPTAKER juga tetap menghapus ketentuan untuk mempertahankan kawasan hutan minimal 30% yang ada di Pasal 18 UU Kehutanan. Sungguh membagongkan!
Padahal penjelasan pasal tersebut mewanti-wanti agar ketentuan minimal kawasan hutan tidak boleh dijadikan alasan untuk mengeksploitasi hutan yang presentasi luasnya di atas 30%. Lah kok, ini malah dihapus dan jadi nggak jelas batas minimalnya.
Penentuan batas minimal menjadi kewenangan pemerintah pusat, tandanya luas minimal tergantung pada siapa yang memimpin dan siapa yang berkepentingan. Bisa saja 50% kalau nggak ada potensi bisnis atau mungkin cukup 10% kalau ada potensi bisnisnya.
BACA JUGA: FAST FASHION, TREN PENGGANGGU KELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP
Satu lagi ketentuan yang mempertegas kekuasaan pemerintah, khusus untuk program strategis nasional akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Dengan kata lain ketentuan Pasal 18 di UU CIPTAKER membuat penguasa lebih tinggi daripada undang-undang itu sendiri dengan luasnya wewenang yang mengatur.
Ironisnya, sebelum beberapa contoh aturan yang melindungi lingkungan ini diubah, penegakan hukum lingkungan sudah lemah dan memprihatinkan.
Nih ya, akhir tahun lalu saat Ditjen Gakkum melakukan rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR RI curhat kalau gugatan perkara lingkungan hidup dari tahun 2015-2022 mencapai 31 gugatan dan 21 gugatan sudah memiliki kekuatan hukum tetap, tapi masih banyak yang belum bisa dieksekusi karena masalah kapasitas dan komitmen eksekutor putusan. Jumlahnya sungguh sangat fantastis. Ditjen Gakkum baru menerima 440 miliar dari jumlah denda seluruhnya 20,79 triliun. Mencengangkan nggak, tuh.
Sudah tahu penegakan hukum lingkungan itu lemah, bukannya memperkuat aturan penegakan hukum, UU CIPTAKER malah semakin melemahkan penegakan hukum lingkungan. Penghapusan Strict Liability di Pasal 88 UU PPLH semakin mempersulit penegak hukum untuk menjerat pelaku tindak pidana lingkungan hidup. Belum lagi rumusan sanksi yang tidak konsisten dalam tindak pidana lingkungan hidup, semakin memperparah penegakan hukum di UU Ciptaker.
Kenyataannya setelah dijegal MK, UU Ciptaker tetap bisa menjadi peraturan yang sah walaupun harus berubah wujud jadi Perpu dulu. Ya, itulah yang terjadi di Indonesia.