Teman-teman pasti sudah pernah dengar istilah Pajak Pertambahan Nilai atau yang disingkat PPN kan? Adakah yang masih bingung membedakan PPN dengan Pajak Penghasilan a.k.a. PPh?
Buat yang masih bingung, bisa dilihat dari namanya, /P/ajak /P/ertambahan /N/ilai. Yaps, pajak atas pertambahan nilai.
Wait, wait, pertambahan nilai? Maksudnya bagaimana ya?
Jadi nilai yang dimaksud adalah nilai (value) dari suatu barang atau jasa yang ditransaksikan. Misalnya, yang awalnya bahan-bahan mentah berubah menjadi produk jadi (proses produksi), tentu ada value yang bertambah. Awalnya barang berada di gudang produsen bisa sampai ke toko di kotamu (proses distribusi), tentu ada value bertambah.
Yang awalnya kamu merasa tidak enak badan, setelah konsultasi ke dokter jadi tahu sakit apa dan harus bagaimana, tentu ada value yang bertambah. Nah, karena semua pertambahan nilai tersebut yang menikmatinya adalah konsumen atau pembeli barang/jasa, maka yang terkena kewajiban membayar PPN adalah pembeli.
Beda lagi dengan Pajak Penghasilan a.k.a PPh, ini justru kebalikannya. PPh merupakan pajak atas penghasilan yang didapatkan. Yang terkena kewajiban membayar PPh adalah yang menikmati penghasilan, yakni karyawan, wiraswasta, profesi (atlet, dokter, konsultan, notaris dan lain-lain), perusahaan dan sebagainya. Pokoknya penjual, baik jualannya berupa barang ataupun berupa jasa, baik orang pribadi ataupun badan usaha.
BACA JUGA: 4 PERAN PENTING NPWP BAGI WAJIB PAJAK
Back to topic, jadi selama berpuluh-puluh tahun, tarif PPN selalu sama yaitu 10%. Baru pada 1 April 2022, sesuai ketentuan dalam Undang-undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, tarif PPN naik menjadi 11%.
Dampaknya apa dengan kenaikan ini?
Pertama, tentunya kita harus keluar uang lebih banyak ketika ingin membeli suatu barang/jasa. Sebagai konsumen, sudah jelaslah ya. Sebagai produsen, tentu melakukan pembelian juga, baik yang dihitung sebagai HPP (harga pokok penjualan) ataupun penunjang usaha lainnya. Walaupun tambahan 1% PPN untuk pembelian satu unit barang tidak terlalu besar, tetapi secara akumulasi tentu terasa juga. Apalagi kalau barang atau jasanya memang sudah mahal.
Kedua, dampak khusus bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Orang pribadi hanya terdampak keluar uang lebih banyak, sementara PKP ada dampak lainnya, karena memiliki kewajiban menyetorkan dan melaporkan PPN ke negara. Pelaporan dilakukan kedua pihak, yakni PKP pembeli dan PKP penjual. Ketika salah satu atau kedua pihak nggak ngeh atas perubahan tarif ini, maka dapat berpotensi menimbulkan masalah bagi lawan transaksinya.
Ketiga, masih buat para pelaku usaha, yang memiliki kontrak pekerjaan tahun jamak (multiyears) alias lintas tahun. Ketika kontrak ditandatangani sebelum perubahan tarif, lalu ada termin pembayaran yang jatuh setelah perubahan tarif, maka perlu dilakukan amandemen kontrak agar tidak menyalahi undang-undang. Kecuali bila sejak awal kontrak kerja tahun jamak tersebut memang sudah memasukkan klausul terkait perubahan tarif PPN.
BACA JUGA: PENTINGNYA MENGENAL PAJAK
Ngomongin PPN, saya mau sedikit sharing nih, kebetulan perusahaan tempat saya bekerja memiliki beberapa kontrak proyek tahun jamak ketika perubahan tarif PPN pada tahun 2022 terjadi. Effortnya lumayan untuk mengamandemen semua kontrak tersebut.
Nggak cuma itu, Rencana dan Anggaran Biaya (RAB) setiap proyek juga harus ditinjau ulang, karena tambahan biaya akibat perubahan tarif PPN tersebut memengaruhi laba/rugi dan arus kas proyek. Selain itu, sosialisasi kepada para agen marketing juga digalakkan untuk memastikan mereka paham sebelum mendapatkan kontrak baru, karena seringkali kesepakatan harga dengan calon konsumen berupa nilai bruto (harga sudah termasuk PPN), yang artinya akan ada selisih terkait dengan kenaikan tarif PPN ini.
So, Undang-undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan mengatur beberapa perubahan dalam Undang-undang PPN. Selain perubahan tarif menjadi 11% per 1 April 2022 sebagaimana sudah dijelaskan di atas. Undang-undang ini juga menyatakan dengan jelas “Tarif PPN sebesar 12% mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.” Artinya, walaupun kita akan dipimpin pemerintah baru pada tahun 2024 ini, kecuali terjadi suatu keadaan kahar (force majeure), maka kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 1 Januari 2025 bisa dipastikan akan terjadi.
Di sini saya ingin mengingatkan dan mengajak teman-teman semua, khususnya pelaku usaha dan karyawan badan usaha yang kontrak pekerjaannya acapkali lintas tahun. Yuk, kita persiapkan diri. Jangan sampai ketika kenaikan tarif PPN terjadi bakal terkejut dan tidak siap.
Semoga bermanfaat.