DRAFT RUU KUHP SUDAH BISA DIAKSES, APAKAH SUDAH SESUAI HARAPAN?

     Annyeong brodi! Udah pada cek hot news belom? Draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana alias RUU KUHP yang diributin publik kemarin udah bisa diakses bro! Pemerintah melalui Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Hiariej, udah nyerahin draft final RUU KUHP ke Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat. 

     Draft RUU KUHP tahun ini ga akan jauh beda dengan draft tahun 2019. Iya bro, draft yang sebelumnya ditunda karena membludaknya penolakan publik dan banyak memuat pasal-pasal bermasalah ditargetkan akan disahkan pada bulan Juli Tahun 2022! 

     Penutupan akses draft RUU KUHP ini bikin masyarakat ‘buta map’ alias ga bisa ngawasin apa aja yang bakal diatur di sana. (Boro-boro ngawasin, liat draftnya aja ga bisa). It’s kinda reasonable, karena pada hakikatnya hukum harus memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum digunakan.

Bukannya tujuan dari kebijakan publik secara umum adalah untuk melindungi hak-hak masyarakat. Emang siapa yang mau nerima kalo RUU mendadak jadi undang-undang tanpa partisipasi masyarakat di dalam pembentukannya?

“Emang kita punya hak bro, buat liat isi rancangannya?”

      Punya dong, brodi ! Pasal 96 Ayat (1) dan (4) undang-undang nomor 13 Tahun 2022 Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pada Ayat (1) Said that “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.”

BACA JUGA: PASAL PENGHINAAN PEMERINTAH TETAP BERTAHAN DI RKUHP

Is it clear enough? Kalo belum, baca Ayat (4) nya, “Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), setiap Naskah Akademik dan/atau Rancangan Peraturan Perundang-undangan, dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.”

    That makes sense bro! Pembentukan suatu peraturan perundang-undangan harus memiliki asas keterbukaan. Simpelnya yang dimaksud dengan asas keterbukaan bahwa dalam pembentukannya harus bersifat T-R-A-N-S-P-A-R-A-N.  Buat apa? Ya, buat ngasih kesempatan masyarakat untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.      

     Jika pada tahun 2019 lalu RUU KUHP menuai kontroversi dan dihujani kritik karena dinilai memuat banyak pasal yang ‘membagongkan,’ apakah publik akan menolak lagi? Atau menerima seluruhnya? Atau jangan-jangan (masih) ada pasal-pasal yang ‘membagongkan’ tersebut? Okei, watch ur eyes!

   “Cum adsunt testimonia rerum, quid opus est verbist” 

     “Saat ada bukti dari fakta-fakta, apa gunanya kata-kata?” Berkaca pada peristiwa yang lalu. Pasal-pasal kontroversial, cenderung karet dan tertutupnya para pembuat kebijakan mengenai produknya adalah hulu dari protes publik yang berimbas kepada demonstrasi besar-besaran. 

Tak ingatkah negara ini dengan Undang-Undang Cipta kerja yang dinyatakan cacat formil oleh Mahkamah konstitusi karena banyaknya pasal yang bermasalah? (Putusan MK No.91/PUU-XVII/2020). 

Tak cukupkah Undang-Undang Informasi Teknologi Elektronik yang membuat gempar karena multitafsir dan banyak pasal ‘karetnya’ (lihat Pasal 27 hingga 29 UU ITE). Tak cukupkah itu semua, sehingga Wakil Menteri Hukum dan HAM ogah menghapus pasal yang menuai kontroversi di masyarakat?

      Terkait draft RUU KUHP, publik masih meresahkan pasal-pasal yang berpotensi karet. Dari 14 pasal kontroversial, coba deh, kita ambil satu sampel aja (kek makanan aja hehe). 

Pada BAB IX Tindak Pidana Terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara, Pasal 351 Ayat (1) RUU KUHP berbunyi “ (1) Setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling banyak Kategori II. Disambung Ayat (2) nya, kalo sampe mengakibatkan kerusakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. Ayat (3) nya ngejelasin kalo ini adalah delik aduan. 

     Terus, bagaimana mau nyampein unek-unek ke pemerintah? Kalo dah nyangkut ketersinggungan itu udah ranahnya emosi manusia, sifatnya subjektif. 

Definisi penghinaan di dalam RUU KUHP pun masih kabur. Mau kritik ntar yang dikritik tersinggung (baperan), akhirnya men-cap kritik tersebut sebagai hinaan. Gimana? Ga lucu, kan? Padahal kebebasan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dilindungi konstitusi (Pasal 28 UUD 1945).

“Bro, kan Pasal 28 J Ayat (2) menetapkan batasan, untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain?“

     Memang benar brodi, tetapi di dalam konteks HAM pembatasan tersebut haruslah dilihat dulu, apa tujuan pasal tersebut? Reasonable kah? Dibutuhkan? Tidak berlebihan? Well, yuk kita kupas!

      So, clearly publik marah besar, pasal dan ayat-ayat a quo tak hayal seperti aturan kerajaan.  Just like what  Najwa Shihab said on her channel #semuabisakena: “Okelah jika tujuannya untuk menghormati martabat penguasa dalam hal ini DPR, DPRD, Kepolisian, Kejaksaan, Presiden dan lain-lain, tapi apakah dengan tujuan menghormati para penguasa itu lebih diutamakan dari pada kebebasan berbicara?”   

   “Coi, itu kan delik aduan. Kok, panik amat?”

          Iya bro, pada Ayat (3)-nya dijelaskan ini adalah delik aduan, namun pada hakikatnya tidak mengatasi masalah, malah jadi karet. Inget ya, sampe sekarang tidak ada parameter ketersinggungan pada diri manusia alias sifatnya perkara subjektif.  

BACA JUGA: SANKSI PIDANA PENGHINAAN TERHADAP WAKIL PRESIDEN

Penjelasan dalam draftnya sendiri terkait “Menyerang kehormatan, menyerang harkat dan martabat diri” merupakan merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri. Ini sungguh bias dan ga ada patokannya. (Kalo orangnya baper gimana hayo?)

Lalu apakah berbagai kritikan, hujatan dan parameter ekstrim seperti hinaan yang dipusingin ini merugikan lembaga negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya?

Apakah wakil kita akan mogok bekerja jika publik ‘marah-marah’ sampe demo lagi karena produknya dinilai ‘ugal-ugalan?’ Enggak lah, mereka profesional, kan?

Ingat brodi, Equality before the law!”

Kedudukan warga negara itu sejajar dengan pejabat. Ga percaya? Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945  ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” 

Bukankah pejabat itu warga negara juga? Terlihat pola hubungan timbal balik, dimana warga negara menjunjung hukum pemerintahan dan pejabat menjunjung (pula) hukum dan pemerintahan (termasuk hak-hak lo pada brodi). Gitu, kan? 

MEDSOS

ARTIKEL TERKAIT

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

DARI KATEGORI

Klikhukum.id