Pertanyaan:
Halo min, izin bertanya ya. Terkait kasus pembunuhan anggota polisi yang viral beberapa waktu ini, dimana dalam kesaksian salah satu terdakwanya (Barada E), berdalih kalau penembakan yang dia lakukan itu ‘karena diperintah Pak Sambo’ yang saat itu merupakan atasannya. Perintah atasan inilah yang dijadikan alasan Barada E untuk menembak si J. Memang secara hukum apa sih, perintah atasan itu. Terus bisa nggak dijadikan alasan pembenar? Terima kasih min.”
Jawaban:
Wah, dilihat dari pertanyaannya, sepertinya sangat mengikuti jalannya kasus ini ya. Xixixi. Oke deh, mari kita bahas.
Emang sih, kasus kematian Brigadir J ini cukup kontroversial. Ya gimana nggak, selain banyak polisi yang terseret, motif dari pembunuhannya pun penuh teka-teki. Kasus ini pun berputar haluan setelah terungkapnya scenario yang membuka tabir fakta kematian Brigadir J.
Richard Eliezer dalam kesaksiannya mengaku hanya melaksanakan perintah atasannya untuk menembak Yoshua. Pernyataan E tersebut sontak mengundang berbagai reaksi dari masyarakat salah satunya, pertanyaan mengenai ‘perintah atasan’ yang dilontarkan. Gimana sih, maksud ‘perintah atasan’ dalam hukum pidana? Dan apakah perintah atasan ini dapat menghapuskan pidana?
BACA JUGA: CURKUM #152 MEMECAT ATASAN GALAK
Sebenarnya melaksanakan perintah jabatan (ambtelijk) merupakan salah satu alasan menghapus pidana yang terdapat dalam KUHP. Sebagaimana yang kita semua tahu bahwa terdapat dua jenis alasan penghapus pidana yakni alasan pembenar dan alasan pemaaf.
Alasan pembenar (Rechtvaardigingsgrond) yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa, menjadi perbuatan yang patut dan benar. Sedangkan alasan pemaaf atau alasan penghapus kesalahan adalah alasan menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti orang ini tidak dapat dicela (menurut hukum), dengan kata lain dia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum.
Jadi di sini ada alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat, sehingga tidak memungkinkan dilakukan pemidanaan.
Nah, trus perintah atasan yang dimaksud itu gimana sih? Dalam literatur dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan perintah atasan atau perintah jabatan adalah perintah yang diberikan seorang atasan yang kewenangan memerintah tersebut berasal dari suatu kedudukan menurut jabatan, baik yang memberi maupun yang menerima perintah. Sehingga perintah yang diberikan berasal dari kewenangan jabatan.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 51 Ayat (1) KUHP bahwa barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. Contohnya nih, eksekutor yang melaksanakan perintah mengeksekusi terpidana mati, tidak dapat dipidana karena sang eksekutor melaksanakan perintah jabatannya yang dibenarkan oleh hukum.
Sedangkan Pasal 51 Ayat (2) KUHP, mensyaratkan jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaan perintah itu termasuk dalam lingkungan pekerjaan orang yang diperintah, maka pelaku tidak bersalah. Karena dia beritikad baik menjalankan perintah pejabat yang berwenang padahal sebenarnya tidak, maka dapat menjadi alasan pemaaf.
BACA JUGA: PNS TUH KERJANYA RAJIN GAK CUMA MAIN SOLITAIRES
Mengenai apakah suatu perintah merupakan perintah yang sah atau tidak, harus dilihat dari sudut undang-undang yang mengatur kekuasaan yang dimaksud. Artinya, seorang pejabat memiliki wewenang memberikan perintah tertentu harus dilihat dari undang-undang yang menjadi dasar hukum dari jabatan yang bersangkutan. Di samping cara melaksanakan perintah tersebut juga harus seimbang, patut dan tidak boleh melampaui batas-batas keputusan perintah.
Ada tiga syarat yang harus dipenuhi agar bisa disebut perintah jabatan. Pertama, ada hubungan antara pemberi perintah dengan pelaksana perintah berdasarkan hukum publik. Kedua, kewenangan pemberi perintah harus sesuai dengan jabatannya berdasarkan hukum publik tersebut. Dan ketiga, perintah yang diberikan itu termasuk dalam lingkungan kewenangan jabatannya.
Nah, dalam kasus tersebut, untuk menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa serta dapat atau tidaknya menggunakan alasan pemaaf ataupun alasan pembenar, ditentukan oleh keputusan hakim yang berdasarkan keyakinannya yang diperoleh melalui ‘pertarungan’ saat pembuktian di pengadilan. So, just wait and see.