“The camera in itself, is not a device that prevents crime, but rather a tool that aids in the detection and apprehension of criminals.” – Susan Sontag
I’ve finished watching Ice Cold and have some lingering thoughts after. It’s about CCTV.
Use of CCTV footage as evidence dalam proses hukum telah menjadi suatu hal yang semakin umum dan penting di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, sudah banyak kasus yang berhasil terungkap karena mengandalkan rekaman CCTV untuk mendapatkan fakta-fakta.
Walaupun penggunaan CCTV telah membawa manfaat dalam upaya penegakan hukum, it cannot be denied that muncul juga sejumlah masalah yang mempengaruhi keaslian dan keabsahan bukti rekaman CCTV. So, without further ado, let’s dive into it.
CCTV atau Closed-Circuit Television adalah salah satu alat bukti digital atau elektronik yang sering digunakan untuk menjadi bukti petunjuk dalam penegakan hukum. Dalam konteks hukum di Indonesia, peraturan terkait penggunaan CCTV sebagai alat bukti didasarkan pada Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pasal 5 UU No. 11 Tahun 2008 mengakui secara resmi bukti-bukti digital atau elektronik, termasuk rekaman CCTV sebagai bukti yang sah di dalam proses hukum, sejauh bukti rekaman tersebut memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Rekaman CCTV dapat dianggap sah menjadi alat bukti jika footage dikumpulkan dengan cara yang sah dan tidak melanggar privasi atau aturan hukum lainnya. So, cara pengumpulan yang ilegal dapat mempengaruhi keabsahan bukti.
Bukti rekaman CCTV harus otentik. Rekamannya juga harus memiliki keaslian yang dapat dibuktikan. CCTV records must go through a verification process dengan tujuan verifikasi sumber dan tidak mengalami pemalsuan atau editing yang absurd.
Penggunaan rekaman CCTV sebagai alat bukti digital atau elektronik dalam proses hukum come with various challenges and problems.
1. Video Tampering dan Compression
Video tampering atau pengrusakan video melibatkan pengubahan atau pengeditan rekaman CCTV yang asli. Hal ini bisa terjadi ketika seseorang entah siapapun, yang memiliki akses terhadap alat bukti (rekaman cctv) dengan sengaja merekayasa rekaman untuk menyembunyikan bukti-bukti tertentu sehingga bisa membuat narasi palsu. Kalau sudah begini, kan repot.
Sistem CCTV juga sering kali menggunakan kompresi video untuk menghemat storage. Hal ini dapat mengakibatkan hilangnya kualitas dan sebagian video. Hasil kompresi dapat mengaburkan detail penting dalam rekaman, sehingga sulit untuk membedakan informasi melalui gambar yang buram. Bisa saja baju yang warnanya biru jadi berwarna hijau hanya karena kualitas gambar yang hancur.
2. Chain of Custody / Pengawasan
Pengawasan terhadap alat bukti dapat memastikan bahwa rekaman CCTV tidak dirusak selama pengumpulan, penyimpanan atau analisis. Putusnya rantai pengawasan dapat menimbulkan keraguan mengenai keaslian dan keabsahan alat bukti ketika ada pihak tidak berwenang dapat memperoleh akses terhadap rekaman tersebut. Kalau sudah diambil dari TKP kemudian nggak ada pengawasan atau pengawasannya lemah, bisa saja data dari rekaman CCTV direkayasa atau bahkan dirusak. Alhasil, datanya nggak bisa digunakan.
3. Timestamp and Metadata
Sistem CCTV sering kali mengandalkan jam internal dan sistem CCTV untuk mencatat waktu rekaman. Jam juga memungkinkan bisa menjadi tidak akurat atau dimanipulasi. Stempel waktu atau metadata yang nggak akurat dapat mempengaruhi kredibilitas bukti. Hal itu disebabkan sulitnya menentukan waktu pasti terjadinya sebuah peristiwa. Jam CCTV tidak seperti jam pada HP yang sudah terkoneksi internet untuk akurasi. Ada juga CCTV yang jamnya disetting sendiri. Bisa jadi di HP jam 19.45, tapi di CCTV 19.50 atau jam 20.20. Kalau begini, proses analisis alat bukti juga menjadi ribet, karena harus kalkulasi. Belum lagi jika ada delay dalam video rekaman CCTV, malah tambah repot lagi.
4. Jangkauan yang sempit dan glare lampu
CCTV cameras have a fixed field of view, yang mungkin nggak menangkap keseluruhan kejadian atau semua detail yang dibutuhkan. Aksi kejahatan mungkin terjadi di luar field kamera, meninggalkan gap dalam video dan berpotensi menimbulkan distorsi pada konteks video atau kejadian. Lighting yang buruk dapat mengakibatkan rekaman menjadi tidak jelas atau tidak dapat digunakan, sementara silau dari jendela atau sumber cahaya lainnya dapat mengaburkan detail. Pencahayaan atau silau yang tidak memadai dapat menyulitkan identifikasi individu atau peristiwa dalam rekaman, sehingga mengurangi nilai pembuktiannya. Kalau sudah begini, ujung-ujungnya ntar suruh buat video perbandingan, alias syuting pake kamera CCTV.
BACA JUGA: ICE COLD, MISTERI ATAS SIAPA YANG BERHAK DIHUKUM ATAS KEMATIAN MIRNA
5. Verification
Memverifikasi keaslian rekaman CCTV bisa menjadi sulit karena rentan terhadap manipulasi. Tanpa proses autentikasi yang tepat, nantinya akan menimbulkan keraguan apakah rekaman tersebut merupakan representasi akurat dari peristiwa yang terjadi.
Walaupun dengan sederet permasalahannya, penggunaan rekaman CCTV dalam proses hukum di Indonesia telah menjadi tren. Rekaman tersebut bisa membantu mengungkap berbagai peristiwa penting dalam berbagai kasus. Meskipun CCTV dapat menjadi alat bukti yang kuat, integritas dan keabsahan bukti tersebut seringkali menjadi sorotan. Oleh karena itu penting bagi pihak berwenang, penyedia jasa keamanan dan pemilik CCTV untuk memahami regulasi yang berlaku agar penggunaan alat bukti ini tidak melanggar hukum yang lain. Seperti halnya privasi.
Alright, that’s all. CU.
“Sometimes, the very technology that promises to save us time and make our lives easier also takes away our privacy and personal freedom.” – Jeffrey Tucker