Pada dasarnya polisi punya kewenangan buat bertindak tegas terhadap tersangka yang melakukan perlawanan atau melarikan diri. Seperti yang sudah aku tulis di artikel sebelumnya.
Bertindak tegas di sini maksudnya boleh menggunakan cara-cara represif waktu ngejalanin tugasnya, bahkan dibolehkan menembak pelaku tindak pidana jika mereka bersenjata dan mengancam nyawa, seperti dalam Pasal 47 Perkap No 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, seperti berikut ini.
“Penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benar diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia.”
Dalam terminologi hukum, kewenangan ini disebut sebagai tindakan diskresi. Yaitu, keputusan diambil untuk mengatasi permasalahan konkret dalam situasi tertentu yang belum diatur undang-undang, seperti dijelaskan dalam Pasal 18 Ayat 1 UU No. 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Meski dibolehkan melakukan tembak di tempat dan bertindak menurut penilaiannya sendiri, tapi dalam praktiknya polisi nggak boleh ‘seenak’ hati apalagi melewati batas aturan.
Fyi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum melakukan tembak di tempat.
BACA JUGA: MENGENAL PELAKU PEMBUNUHAN BERENCANA YANG DITEMBAK MATI
Pertama, memahami prinsip penggunaan kekuatan.
Ada aturan batasan dalam penggunaan kekuatan ini, yang mana dalam menggunakan diskresinya, anggota Polri harus memiliki kemampuan melakukan interpretasi sebagai manifestasi keterampilan, pengamatan dan juga pemahaman dalam mengambil keputusan diskresi dengan tepat.
Selain itu harus memahami prinsip penegakkan hukum legalitas, necesitas dan proporsionalitas. Legalitas, berarti semua tindakan kepolisian harus sesuai dengan hukum yang berlaku.
Nesesitas, bermakna penggunaan kekuatan dapat dilakukan bila memang diperlukan dan tidak dapat dihindarkan berdasarkan situasi yang dihadapi.
Proporsionalitas, berarti penggunaan kekuatan harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respon anggota Polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian, korban, penderitaan yang berlebihan.
Terakhir, harus masuk akal (reasonable) yaitu, tindakan kepolisian diambil dengan mempertimbangkan secara logis situasi dan kondisi dari ancaman atau perlawanan pelaku kejahatan terhadap petugas atau bahayanya terhadap masyarakat.
Kedua, terlatih.
Ini sudah pasti dong, mengingat tanggung jawab dan akibat yang ditimbulkan, maka sudah seharusnya yang menarik pelatuk adalah mereka yang terlatih.
BACA JUGA: 5 KASUS PEMBUNUHAN INDONESIA YANG BELUM TERSELESAIKAN DAN MASIH MENJADI MISTERI
Hal ini dijelaskan dalam Pasal 11 Perkap No 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian. Sebelum melaksanakan tindakan termasuk menggunakan senjata api, anggota Polri tentunya mendapatkan pelatihan dari kesatuan pusat atau wilayah. Pelatihan harus didukung sarana dan prasarana yang dirancang sesuai dengan standar pelatihan Polri.
Ketiga, memberi peringatan.
Sebelum menembak, polisi harus memberikan peringatan lebih dulu ke pelaku agar berhenti, dengan cara menyebutkan bahwa dirinya petugas atau anggota polri yang sedang bertugas.
Peringatan dilakukan melalui pemberitahuan lisan dengan meneriakkan kata “POLISI“ (biasanya sih, diiringi blank shot) yang diikuti dengan komunikasi lisan dengan cara membujuk, memperingatkan dan memerintahkan menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka.
Oh iya, pada dasarnya menembak bukanlah opsi utama menyergap pelaku, melainkan ditangkap dengan kondisi terbaik yaitu, tanpa ditembak.
Setelah itu berikan waktu buat pelaku melakukan apa yang diperintahkan. Seperti, angkat tangan atau meletakkan senjatanya. Kadangkala peringatan dan perintah lisan boleh tidak diberikan jika situasinya nggak memungkinkan. Misalnya, dalam perkelahian yang sengit atau hal lainnya sesuai penilaian dari petugas.
Keempat, bertanggung jawab.
Tapi ingat guys, selain terlatih petugas polisi yang menggunakan tembakan buat nangkep penjahat harus melakukannya dengan penuh pertimbangan dan kehati-hatian yang tinggi.
Kemudian, Pasal 13 Perkap No. 1 tahun 2009 juga mengingatkan bahwa setiap individu anggota Polri wajib bertanggung jawab atas pelaksanaan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian yang dilakukannya.
BACA JUGA: GIMMICK MEMILIKI SENPI ALA KOBOI MILENIAL
Dalam mempertanggungjawabkan tindakannya ketika bertugas, anggota Polri yang memakai kekuatan sesuai dengan prosedur yang berlaku, berhak mendapatkan perlindungan dan bantuan hukum oleh Polri sesuai aturan yang berlaku.
Kelima, Memperhatikan Arahan Pimpinan.
Pasal 14 Ayat (2) Perkap No. 1 Tahun 2009 menjelaskan bahwa, “Setiap anggota yang menggunakan kekuatan dalam tindakan kepolisian wajib memperhatikan arahan pimpinan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan menjadikannya sebagai pertimbangan dalam menerapkan diskresi kepolisian.”
Selain aturan nasional, kita juga perlu melihat standar internasional terkait penggunaan kekuatan polisi. PBB memiliki dokumen yang namanya Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials, yang menekankan prinsip proporsionalitas dan kebutuhan.
Artinya, penggunaan kekuatan harus sesuai dengan ancaman yang dihadapi. Senjata api hanya boleh digunakan sebagai langkah terakhir setelah semua upaya lain, seperti peringatan verbal dan penggunaan kekuatan non-mematikan tidak berhasil.
Polisi harus selalu menilai apakah tindakan mereka seimbang dengan tingkat ancaman yang ada. Seperti yang diungkapkan dalam jurnal hukum dan masyarakat, penggunaan senjata api harus selalu dipertimbangkan dengan matang. Jadi kalau masih bisa dinegosiasikan atau menggunakan cara lain yang lebih aman, itu harus diutamakan.
Nah, begitulah guys, tentang bagaimana prosedur kewenangan menembak di tempat yang dilakukan anggota polisi. Semoga menambah wawasan ya.