Media sosial memang sudah menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari hidup kita, termasuk bagi masyarakat akar rumput. Apalagi ketika ngomongin kebijakan dan hukum, media sosial seperti Instagram, X bahkan TikTok yang sering menjadi tempat perang opini.
Semua orang bebas berpendapat, karena kebebasan berpendapat sudah dijamin negara. Paling fundamental jaminan kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul bisa kita lihat dalam Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945. Selain itu, ada beberapa undang-undang lain yang mengatur kebebasan berpendapat, yaitu UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil and Political Rights (kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik), yang mengatur hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat, serta UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Oh iya, bahkan berdasarkan UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, bagi setiap orang yang menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum bisa dijerat dengan sanksi pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
Pertanyaannya, gimana sebenarnya media sosial mempengaruhi cara masyarakat melihat dan memahami hukum?
Mari kita bahas
Teori Kekuasaan Foucault
Jadi sebenarnya uncle Foucault (seorang filsuf asal Perancis) pernah ngomong soal kekuasaan dan pengawasan, ternyata nyambung banget sama dunia media sosial.
Di platform kayak X, kita semua bisa ngobrol soal hukum. Tapi sadar nggak sih, kita sebenarnya lagi diawasi oleh algoritma?
Setiap like, reply maupun retweet kita, direkam dan dipakai untuk mengontrol apa yang dilihat dan siapa yang melihat postingan kita.
BACA JUGA: SOSIAL MEDIA MENGUBAH CARA BERPOLITIK, IS IT BAD FOR US?
Konsep ini mirip banget sama panopticonnya Foucault, di mana orang merasa diawasi terus-menerus sehingga mereka akan bertindak sesuai dengan ‘aturan.’
Itulah yang membuat kita berpikir dua kali sebelum memposting opini kontroversial soal hukum, karena takut dibully atau dianggap ‘salah informasi.’ Ini membuat diskusi hukum di media sosial ibarat berjalan di atas tali.
Bagi masyarakat akar rumput, bukan cuma soal aturan main di platform digital. Tapi lebih bagaimana kontrol dan pengawasan tersebut bikin mereka menjadi ragu agar ikut terlibat dalam diskusi hukum.
Mereka yang mungkin memiliki pandangan alternatif tentang kebijakan hukum, malah takut untuk speak up, karena ada ancaman sanksi sosial, baik berupa cancel culture bahkan serangan verbal dari netizen.
Dalam konteks hukum, ini jelas menjadi masalah. Kebebasan berpendapat yang dijanjikan media sosial menjadi semu, karena kekuatan tersembunyi tadi.
Yang berani berbicara mungkin cuma mereka yang memiliki ‘keamanan’ sosial, sementara suara-suara dari masyarakat bawah bisa teredam. Ini yang membuat diskusi hukum menjadi inklusif sebenarnya. Jadi terhambat oleh aturan tak tertulis dari algoritma dan tekanan sosial.
BACA JUGA: BELAJAR DARI KASUS VIRAL, 3 HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN SAAT BERMEDIA SOSIAL
Ekspresi Kolektif ala Durkheim
Durkheim, salah satu bapak sosiologi, pernah mengatakan bahwa, solidaritas sosial itu terbentuk dari pengalaman kolektif.
Nah, di media sosial, pengalaman kolektif terwujud dalam diskusi-diskusi soal hukum yang ngalor-ngidul.
Ketika satu kasus hukum menjadi trending, tiba-tiba muncul solidaritas online yang kuat banget. Di mana masyarakat dari berbagai kalangan bisa menyuarakan pendapat mereka bareng-bareng.
Mereka melihat ada ketidakadilan dalam kebijakan tersebut, lalu solidaritas itu muncul dalam bentuk share story, petisi online dan aksi-aksi lainnya. Ibarat manifestasi baru dari solidaritas sosial yang dibahas Durkheim, tapi dalam versi digital.
Namun, solidaritas digital ini tidak selalu bertahan lama. Sebuah isu bisa naik dan viral dalam hitungan jam, kemudian hilang tanpa jejak.
Beda dengan solidaritas sosial yang dibentuk melalui interaksi langsung di dunia nyata. Di media sosial, solidaritas hukum bisa cepat muncul tapi juga cepat hilang.
Walaupun terlihat ada solidaritas, kita juga harus kritis apakah solidaritas itu benar-benar mengakar atau hanya tren sementara.
Lagi-lagi pertanyaannya adalah, bagaimana narasi alternatif yang muncul di media sosial ini, benar-benar bisa mengubah kebijakan hukum atau malah justru teredam kekuatan besar yang masih mengontrol opini publik?