Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, di mana hukum berlomba-lomba mengejar keadilan sembari tetap berusaha tampil elegan, pertanyaan tentang relevansi hukuman mati di Indonesia muncul bagai tamu tak diundang di pesta demokrasi.
Hukuman mati, yang sering digambarkan sebagai solusi pamungkas untuk kejahatan berat, kini berdiri di persimpangan. Antara pendukung yang menganggapnya sebagai pedang keadilan dan penentang yang melihatnya sebagai relik barbar dari zaman batu dan tentu saja zaman batu yang sudah dilengkapi Wi-Fi.
Hukuman mati di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan undang-undang khusus seperti narkotika dan terorisme, kerap menjadi sorotan. Data dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menunjukkan bahwa hingga 2024, ratusan terpidana mati masih menunggu eksekusi dan sebagian besar terkait kasus narkotika. Namun, apakah hukuman ini masih relevan?
Pertama, pendukung hukuman mati berargumen bahwa ini adalah alat deterrent paling ampuh. Mereka bilang, “Kalau tahu bakal ‘sayonara’ selamanya, siapa yang berani berbuat jahat?” Logikanya sederhana, kalo takut mati, ya jangan jadi penjahat. Namun, studi kriminologi, seperti yang dilakukan Amnesty International, menunjukkan bahwa efek jera hukuman mati tidak lebih efektif dibandingkan penjara seumur hidup.
Kejahatan tetap terjadi, bahkan di negara-negara yang rajin menggelar eksekusi. Bayangkan, kalau hukuman mati benar-benar jitu, mungkin bandar narkoba sudah beralih profesi menjadi barista atau influencer kuliner. Tapi kenyataannya? Bisnis gelap tetap ramai, seolah hukuman mati cuma serigala tak bertaring.
BACA JUGA: PRO KONTRA HUKUMAN MATI DI INDONESIA
Di sisi lain, penentang hukuman mati memiliki argumen yang tak kalah kuat. Mereka menyoroti risiko kesalahan penegakan hukum. Sistem peradilan kita, meski sudah berusaha keras, bukanlah mesin sempurna. Kasus seperti eksekusi terpidana yang kemudian terbukti tidak bersalah di negara lain seperti di Amerika Serikat menggambarkan betapa mengerikannya jika nyawa seseorang direnggut, karena kekeliruan.
Bayangkan saja, sudah disuntik mati, eh ternyata cuma korban salah tangkap. Ini bukan drama sinetron yang bisa diulang syutingnya. Ditambah lagi, nilai kemanusiaan dalam Pancasila, yang menjunjung tinggi hak hidup, seolah berbisik pelan, “Halo, apa kabar sila kedua?”
Lalu, ada aspek moral dan sosial yang tak bisa diabaikan. Hukuman mati sering dianggap sebagai balas dendam yang dilegalkan. Tapi, apakah keadilan itu soal balas dendam atau perbaikan? Penjara seumur hidup, misalnya memberikan peluang untuk rehabilitasi, ya, walaupun mungkin terpidana cuma belajar merajut atau membuat puisi di balik jeruji.
Namun, setidaknya ada harapan untuk perubahan, bukan cuma, “Selamat tinggal” yang final. Ditambah lagi, eksekusi mati seringkali menjadi ajang perdebatan publik yang lebih mirip reality show ketimbang diskusi intelektual.
BACA JUGA: CURKUM #99 PERBEDAAN HUKUMAN MATI DAN PENJARA SEUMUR HIDUP
Dari sisi solutif, reformasi hukum pidana seharusnya fokus pada dua hal, pencegahan dan keadilan restoratif. Peningkatan pendidikan, pengentasan kemiskinan dan penegakan hukum yang lebih transparan jauh lebih efektif mencegah kejahatan ketimbang ancaman hukuman mati.
Bayangkan jika anggaran untuk eksekusi dialihkan untuk program rehabilitasi narkoba atau pelatihan kerja bagi mantan narapidana. Dampaknya? Masyarakat lebih aman, mantan pelaku bisa menjadi warga produktif dan kita semua bisa tidur nyenyak tanpa memikirkan drama eksekusi.
Jadi, apakah hukuman mati masih relevan? Logikanya, era di mana kita sudah bisa memesan ojek via aplikasi dan debat soal keadilan di media sosial, hukuman mati terasa seperti ponsel jadul, masih berfungsi, tapi sudah ketinggalan zaman. Alternatif seperti penjara seumur hidup atau pendekatan restoratif menawarkan solusi yang lebih manusiawi dan efektif.
Hukuman mati mungkin memiliki tempat di masa lalu, tapi di Indonesia modern, sepertinya sudah waktunya kita bilang, “Terima kasih, tapi kami pilih opsi lain yang lebih kekinian.” Dengan begitu, keadilan tetap terjaga, tapi dengan gaya yang lebih elegan dan penuh harapan.


