Hari Senin tanggal 16 bulan Oktober tahun 2023, cocok disebut sebagai hari bersejarah untuk bangsa Indonesia. Karena bertepatan dengan dibacakannya putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Pasal 196 huruf q UU 17 tahun 2017 tentang Pemilu, yang menyebutkan “Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.”
Yaps, melalui putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 mengabulkan sebagian permohonan terhadap syarat batas usia capres dan cawapres. Yang menyatakan pasal dalam UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Sehingga Pasal 196 huruf q UU 17 tahun 2017 tentang Pemilu menjadi “Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.”
Sebenarnya ini bukan sesuatu yang aneh, tapi aneh banget. Memang sih, di sini MK sedang menjalankan salah satu kewenangannya, yaitu mengadili pada tingkat terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Tapi alasan di balik putusan tersebut yang membuat MK pantas disebut ‘mahkamah keluarga.’
Ini bukan masalah putusan, tapi masalah kepercayaan publik terhadap lembaga tinggi negara. Ketika masyarakat membutuhkan kepastian, yang didapatkan malah hilangnya kepercayaan akan objektivitas hakim.
Hal itu muncul bukan tanpa sebab. Coba deh, kita baca permohonan nomor 90 yang diajukan mahasiswa fakultas hukum yang bernama Almas Tsaqib Birru. Dalam permohonannya menyebutkan bahwa pemohon adalah seorang pengagum Wali Kota Solo. Menurutnya Wali Kota Solo telah memajukan daerah sehingga patut diperjuangkan untuk bisa memajukan negeri ini melalui posisi sebagai presiden atau wakil presiden.
Nah, dari situ kita bisa melihat secara jelas bahwa putusan MK yang mengabulkan permohonan terkait syarat batas usia capres dan cawapres berkaitan erat dengan masa depan sang keponakan, Gibran Rakabuming Raka. Kalau kata netizen sih, MK ngasih karpet merah buat Mas Gibran.
Ah, terlalu suudzon memang netizen ini, padahal belum tentu buat Mas Gibran. Siapa tahu buat Abang Bobby. *eh.
Udah ah, kita balik ke putusannya ya. Kalau dilihat-lihat nih, dalam putusan tersebut MK menambahkan ketentuan, bukan membatalkan/menghapus ketentuan dalam UU. Pertanyaannya, boleh nggak sih, hal itu dilakukan MK?
Aku jadi ingat teori Hans Kelsen, MK adalah lembaga negara yang berperan sebagai negative legislator.
Apa itu, negative legislator? Yaitu lembaga yang berperan membatalkan atau menghapus ketentuan di dalam undang-undang yang tidak sesuai dengan konstitusi.
Nah, kalau membuat ketentuan disebut dengan positive legislator atau lembaga yang berperan membuat ketentuan atau undang-undang, dalam hal ini adalah DPR.
Loh, terus yang dilakukan MK dalam putusan No. 90/PUU-XXI/2023, gimana dong?
Menurut peneliti senior MK, Pan Mohamad Faiz, S.H., M.C.L., Ph.D, mengatakan bahwa, “Telah terjadi pergeseran doktrin terhadap MK yang dahulu dipercaya hanya sebagai negative legislator, kini secara nyata dan dalam keadaan tertentu juga bertindak sebagai positive legislator.”
Jadi dapat dikatakan bahwa teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen ini rupanya sudah usang dan kurang relevan dengan perkembangan MK. Artinya MK boleh-boleh saja menambahkan ketentuan di dalam putusannya, asal hal itu dimaksudkan agar tidak terjadi vacuum of law atau kekosongan hukum dan dalam keadaan mendesak.
Kalau begitu berarti boleh-boleh aja sih, MK menambahkan ketentuan, asalkan dalam keadaan mendesak dan nggak ada aturan yang mengatur (kekosongan hukum). Mungkin perubahan syarat usia capres dan cawapres ini menurut hakim MK memang sangat mendesak gaes, kan sudah mulai masuk tahap pendaftaran capres dan cawapres. Nggak mungkin dong, harus nunggu DPR merevisi Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Kelamaan keburu tutup pendaftarannya.
Sudah ah, gaes. Apapun alasan MK mengeluarkan putusan tersebut, semoga bisa membuat Indonesia semakin baik.