Saya lagi iseng lihat-lihat story Wasap beberapa teman yang kontaknya saya save di hape saya, hingga sampailah saya di story milik salah seorang teman saya yang menyindir kebijakan pembebasan napi, lengkap dengan latar sebuah foto bergambar mobil polisi yang menjemput seseorang.
Sindiran teman saya sebenarnya sederhana. Dia cuma bilang kalo gara-gara kebijakan pembebasan napi, akhirnya kejahatan marak terjadi. Terlebih, media juga sering memberitakan kalo para napi yang baru keluar karena kebijakan itu malah pada ngelakuin tindakan kriminal lagi.
Sebenarnya saya males terlibat dalam arus pusaran pro dan kontra terkait kebijakan yang didasarkan pada Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi Bagi Narapidana dan Anak Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran COVID-19 itu.
Dari silang pendapat yang saya baca di media dan medsos, bisa disimpulkan kalo kubu yang pro dengan kebijakan itu, argumen mereka kebanyakan karena alasan kemanusiaan. Sedangkan kubu yang kontra alasannya ya karena kebijakan itu bikin kriminalitas naik lagi. Itu saja. Itu saja. Jelas saya ogah ikutan ribut, waktu saya habis untuk memikirkan cara bertahan hidup dalam menghadapi pageblug corona. Ekonomi remuk, je. Kalo kata Ndoro Antok, illustrator klikhukum.id itu, sesungguhnya kita semua positif ODP alias Ora Duwe Penghasilan. Alamak~
BACA JUGA: CURKUM #43 HAK DAN KEWAJIBAN BAGI NARAPIDANA
Balik lagi ke masalah kebijakan pembebasan napi gara-gara corona ini. Saya cuma mau nanyain beberapa hal aja ke kalian semua. Minimal biar ada ruang diskusi yang lebih baik, ketimbang berantemnya ’cuma’ di perkara “Perlu enggaknya membebaskan napi di tengah wabah corona” mulu. Apalagi kebijakannya juga udah jalan. Okelah, ini pertanyaannya:
- Media memberitakan kalo Kemenkumham sudah membebaskan sebanyak 36.554 napi dan anak di tengah wabah virus corona. Tapi media juga sering memberitakan kalo ada aja mantan napi yang sudah dibebaskan malah berulah kembali, dan bikin orang-orang pada gemes sama kebijakan Kemenkumham itu. Jadi gini, dari 36.544 napi dan anak yang dibebaskan itu, berapa persen sih yang kembali melakukan tindak pidana? Lalu berapa persen juga yang beneran tobat dan nggak melakukan tindak pidana lagi?
- Oke, memang ada mantan napi yang kembali melakukan tindak pidana. Terlepas dari itu, sebenernya bagaimana sih perlakuan masyarakat sekitar terhadap mantan napi? Apakah masyarakat bisa menerima keberadaan kembali mantan napi, atau malah mengucilkan dan memberi stigma terhadap si mantan napi? Inget, jaman sekolah kan udah pernah diajarin teori labeling yang dicetuskan sama Mbah Lemert. Apa? Nggak tau tentang teori labeling? Makanya, kalo berangkat sekolah jangan cuma sampai pager doang.
- Mau diakui atau nggak, akhir-akhir ini banyak kejahatan yang marak terjadi. Cuma begini deh, kondisi ekonomi saat ini juga lagi nggak bagus. Banyak perusahaan merumahkan dan bahkan mem-PHK para karyawannya demi mempertahankan keuangan perusahaan. Padahal, para karyawan yang pada jadi korban PHK itu juga punya keluarga yang harus dikasih makan. Mereka bukanlah pohon yang hanya perlu fotosintesis untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Sementara itu, kita tau sama tau kalo ekonomi yang lemah sangat mungkin menyumbang kenaikan angka kriminalitas. Nah, udah dicek belum data para pelaku tindak pidana yang ditangkep Pak Polisi setelah kebijakan pembebasan napi itu? Mana yang lebih banyak? Pemain lama atau pemain baru?
- Ada berita yang membahas tentang tiga tahanan Kejaksaan Negeri di Jakarta Selatan positif kena virus corona. Gara-gara itu, 50 pegawai Kejari Jaksel sampai mengadakan rapid test untuk antisipasi penyebaran virus corona, khususon mereka yang kontak langsung dengan tiga tahanan itu. Inget, kontak langsung, terutama ke penderita virus corona itu dilarang, kecuali kalo mau ikutan ketularan. Nah, masalahnya adalah, berdasar data Kemenkumham tahun 2018, jumlah napi dan kapasitas hunian itu jumlahnya jomplang. Napinya ada sekitar 256.273 orang, tapi kapasitas huniannya cuma untuk 126.164 orang. Ya hasilnya para napi itu jadi kayak ikan pindang di dalam lembaga pemasyarakatan sono, ruangannya jadi sempit gegara kebanyakan manusia di dalamnya. Lalu, gimana coba cara mereka melakukan social distancing ketika ruang gerak mereka sendiri terbatas? Belum kalo misalnya ada penghuni baru. Padahal orang yang positif kena virus corona aja belum tentu ada gejalanya. Itu para napi mau disuruh kena corona secara massal?
- Sebenernya ribut-ribut soal pembebasan napi ini ada di masalah pengawasan terhadap para napi yang dibebaskan itu. Wajar masyarakat jadi cemas, karena di Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020 juga nggak ada itu pasal yang membahas bentuk dan tata cara pengawasan napi. Kalo dari pembuat kebijakan sih bilangnya mereka udah berupaya untuk melakukan pengawasan. Cuma masalahnya adalah gimana bentuk dan tata cara pengawasannya? Kenapa itu nggak disosialisasikan juga ke masyarakat? Gimana masyarakat mau tenang kalo bentuk dan tata cara pengawasan napi nggak disosialisasikan juga?
Oke, kira-kira begitulah. Silakan coba dijawab pertanyaan-pertanyaan saya di atas, dan mari berpusing ria. Oh ya, kayaknya abis wabah corona ini kelar, pemerintah dan DPR perlu deh mempertimbangkan supaya pidana penjara itu jadi ultimum remedium alias cara terakhir untuk menghukum pelaku tindak pidana, serta mengutamakan musyawarah dan penyelesaian secara kekeluargaan sebagai solusi. Cuma apa bisa ya? Secara politisi kita aja sukanya ngasih contoh buat saling lapor ke Pak Polisi, kok. Lihat aja waktu Pemilihan Presiden 2019 kemarin, hehehehe.