Setelah aksi muralnya dihapus oleh pihak kepolisian setempat, yang berisikan pesan “Tuhan Aku Lapar” di daerah Tigaraksa, Kabupaten Tangerang pada akhir Juli 2021. Kemungkinan si pembuatnya mulai ketakutan dan saya harap dalam ketakutannya itu muncul ide gila lagi dengan kembali membuat mural yang bertuliskan “Tuhan, Kami Diburu Aparat.”
Herannya kok bisa aparat sampe tega menghapus mural itu. Padahal secara nyata pesan dalam mural ditunjukkan kepada Tuhan atas kegelisahan hambanya yang lapar karena butuh makan di tengah masa PPKM yang tak kunjung usai.
Saya yakin Tuhan saja tidak mempermasalahkan tulisan mural, tapi ini malah para aparat setempat yang kewalahan. Apa jangan-jangan mereka kesindir juga yah, melihat kebijakan yang diterapkan telah membuat lapar warganya.
Sebenarnya masih ada beberapa mural lagi yang sudah dihapus oleh aparat setempat. Selain yang bertuliskan “Tuhan Aku Lapar.” Mural yang dihapus lainnya antara lain:
Mural “Jokowi 404: Not Found”
Yang tergambarkan di sekitaran wilayah Batuceper, Kota Tangerang. Aparat setempat pun sudah menghapus mural itu, apalagi dalam mural tersebut terdapat gambar wajah yang mirip dengan Pak Jokowi namun pada bagian matanya ditutupi dengan tulisan 404: Not Found dan berlatar merah. Dan kini, si pembuat mural tersebut sedang dicari oleh aparat pemerintahan setempat.
Mural “Dipaksa Sehat di Negara Yang Sakit”
Karya mural itu terdapat di bilangan Kabupaten Pasuruan Jawa Timur. Nasibnya pun sama, karya mural yang menyuarakan keresahan tersebut telah dihapus oleh aparat setempat. Bahkan Kepala Satpol PP Kabupaten Pasuruan Bakti Jati Permana mengatakan, mural itu dianggap melanggar peraturan daerah dan dinilai provokatif. Sebagaimana saya kutip melalui tempo.co.
Dari rangkaian penghapusan mural yang telah terjadi, menurut pandangan nitizen bahwa tindakan represi aparat pemerintah telah muncul lagi. Bahkan seorang Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun, mengkritik tindakan aparat yang menghapus mural berisi kritik sosial seperti mural bergambar Presiden Joko Widodo dengan tulisan “404: Not Found” di Tangerang dan mural “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit” di Pasuruan.
Menurut Ubed, penghapusan mural itu merupakan bentuk baru represi dan pembungkaman.
“Tindakan aparat menghapus mural kritik sosial itu dalam perspektif demokrasi adalah bentuk baru represi dan pembungkaman yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi,” sebagaimana saya kutip di laman cnnindonesia.com.
Ngomongin soal prinsip demokrasi dalam hal menyampaikan pendapat memang sejatinya telah diatur dalam konstitusi negara kita.
Silakan baca di Pasal 28 Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945, Pasal 28 sudah menyebutkan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang.
Walaupun pada prinsipnya konstitusi menjamin hak kebebasan berpendapat, namun tentu ada batasannya, demikian juga seperti diatur dalam Peraturan Daerah di Kota Tangerang. Terkhusus pada area publik milik pemerintah, aparat setempat melarang setiap orang yang melakukan coretan atau menggambar pada dinding bangunan milik publik, salah satunya mural.
Hal ini bisa kalian lihat di Pasal 25 Ayat (1) huruf a Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2018 tentang Ketertiban Umum.
Namun jika mural tersebut dibuat di dinding milik pribadi dan seizin empunya, hemat saya sih aman-aman saja. Dan pemerintah melalui aparatnya sebenarnya tidak ada kewenangan untuk menghapusnya.
Apalagi jika mural itu pesannya cuma “Tuhan Aku Lapar.” Inikan wujud hambanya menyampaikan keluh kesah kepada Tuhannya, masa iya pemerintah yang sewot.
Lagian jika mau dijerat menggunakan Pasal 160 yang berbunyi, “Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Menurut hemat saya, unsur-unsurnya blas gak masuk logika hukum. Masa iya, hanya sekedar tulisan “Tuhan Aku Lapar” disamakan dengan upaya tulisan penghasutan terhadap penguasa umum. Palingan juga jika saya melihat dan membaca tulisan itu tak jawab.
“Ho’oh Tuhan, aku yo lapar. Apalagi keadaan ekonomi di kala PPKM seperti ini, lapare tenanan Tuhan.”
Sekali lagi demokrasi selalu mengajarkan hubungan penyeimbangan antara warga dan pemerintahannya, jika memang pemerintah sudah mulai represi, jelas prinsip demokrasi itu telah ternodai, yang ada malah stigma otoriter masuk ke tata cara pemerintah dalam mengemong warganya.
Sebagai akhiran, perlu saya utarakan bahwa sifat penegakan hukum pidana adalah ultimum remidium, bukan premium remidium. Artinya penegakan hukum pidana merupakan alternatif jalur terakhir untuk menegakkan suatu pelanggaran.
Jika memang menurut sifat batin pemerintah mural-mural itu merupakan pelanggaran hukum. Mbokyao disikapi dengan rasa kesenian juga, bukan malah dihapus bahkan diburu pelakunya.
Misalnya, para seniman mural bisa dipanggil dan dikasih job, untuk menghias tata ruang kota dengan sentuhan-sentuhan seni dan budayanya. Kan adem, tanpa harus bertindak represi. Katanya budaya kita cenderung rasa ketimuran pren.