MAKNA PLEDOI BAGI ADVOKAT

Tempo hari saya mendampingi seorang klien yang didudukkan sebagai terdakwa dalam sebuah tindak pidana pencurian (Pasal 362 KUHP). Sebagai seorang penyair handal, saya jadi bertanya-tanya. Apakah yang sedang terjadi, kenapa perkara pencurian begitu dominan? Cek saja di Pengadilan, kalo omongan saya salah, silakan potong kuku saya pake alat pemotong kuku. 

Saya berandai-andai, seandainya saja lembaga survey bener-bener mau berkontribusi buat NKRI, semestinya hal-hal kayak begini yang dijadikan objek survey. Harapannya, begitu hasil survey sudah dipublish, pemerintah bisa mencari akar masalah sekaligus solusi dari maraknya tindak pidana pencurian. Jangan cuma publish survey hasil pemilu doang.

Bisa jadi, pencurian itu dilakukan bukan didasari atas niat, tapi karena adanya kesempatan, kayak katanya bang napi. Hehe.

Contohnya klien saya, (note: ini bukan pembenaran tapi fakta persidangan). Jadi ceritanya begini, klien saya berprofesi sebagai buruh harian lepas yang dibayar harian. Sebagai buruh, dia baru akan menerima pembayaran jika juragannya memberi pekerjaan.  Kalo juragannya tidak memberi pekerjaan, ya dia nggak akan dapet bayaran.

Sampe di situ jelas ya, saya yakin fenomena kayak klien saya itu juga marak terjadi di sekitar para jurist sekalian. Saya yakin bingits.

Pada suatu ketika, klien saya mendapat kabar dari saudaranya via watasapap. Saudaranya mengabarkan bahwa ibu klien saya sedang sakit dan harus dirawat di Rumah Sakit Daerah. Seandainya nih, jika hal tersebut terjadi di kehidupan para jurist sekalian, gimana tuh perasaannya?

Saya yakin pastilah jurist sekalian akan bersedih hati. Iya kan, kalo sampe jurist sekalian nggak sedih. Bisa jadi masa balitanya dikasih minum air tajin atau ASS alias air susu sapi. Kira-kira seperti itulah yang dirasain sama klien saya. Sedih, berhari-hari keinget ibunya. Pengen banget pulang, tapi sayang uangnya nggak cukup buat ongkos pulang. Secara, klien saya ini jadi buruh di ibukota provinsi, sedangkan ibunya berada di kampung halaman yang jauh dari hingar bingar ibukota yang katanya lebih kejam dari ibu tiri.

BACA JUGA: PEMBELAAN TERPAKSA UNTUK SANG PACAR

Sebelum saya lanjutkan, saya mohon pada Jurist sekalian yang tentunya budiman dan sudah pasti beriman, untuk tidak mencari tahu tentang klien saya. Jangan juga kepo-kepo cari kampung halamannya. Karena mau dibayar berapapun jua, saya nggak akan kasih tahu di halaman berapa klien saya ini berasal. Jadi, saya mohon Jurist sekalian cukup menjadi sidang pembaca yang bahagia selamanya. Amiin. 

Singkat cerita, akhirnya klien saya memberanikan diri untuk meminjam uang kepada juragannya. Namun sayang, untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, sang juragan menolak untuk meminjamkan uang dan tidak mengijinkan klien saya pulang. Semakin gundahlah hati klien saya. Ibarat peribahasa minang, baulam hati berulam jantuang.

Karena tekanan rindu pada Ibu dan dorongan benci sama sang juragan, gelaplah mata klien saya. Akhirnya dengan segenap keberanian, dia ambil barang-barang yang bukan miliknya.

Seandainya saja juragan klien saya tersebut mau meminjamkan beberapa ratus ribu rupiah saja, saya yakin dia tidak akan seberani itu. Terlebih barang tersebut merupakan kepemilikan dari juragan tempatnya bekerja. Pasti sangat berat rasanya.

Jurist sekalian, begitulah kiranya asal-muasal peristiwa pencurian yang dilakukan oleh klien saya. Berdasarkan aturan yang berlaku, klien saya memang telah melanggar aturan yang telah ditetapkan.

Akan tetapi, perlu difahami bahwa hukum ditegakkan tidak hanya demi sebuah kepastian, namun juga menitikberatkan pada keadilan dan kemanfaatan bersama. Sebagaimana Prof. Lili Rasjidi, dan Ira Rasjidi mengamanatkan, “Setiap perbuatan manusia mempunyai sebab yang merupakan faktor pendorong dilakukannya kejahatan.” 

Oleh sebab itu, di persidangan yang kelima dengan agenda acara pembelaan atau pledoi, saya sampaikan hal-hal yang mendasari klien saya melakukan tindak pidana pencurian. Bagi saya hal tersebut penting untuk disampaikan mengingat Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Karenanya, mendasari hal tersebut Majelis Hakim mesti melihat sebab musabab terjadinya tindak pidana (teori kausalitas). Von Burri dengan teori conditio sine quanon (syarat mutlak) atau dikenal juga dengan teori equivalensi yang menerangkan bahwa ‘sebab’ dari suatu perbuatan tindak pidana merupakan rangkaian kejadian yang dapat dirunut ke belakang tanpa henti (regrussus ad infinitum). 

Maka dari itu jurist sekalian, dengan melihat akar penyebab terjadinya sebuah tindak pidana, In Shaa Allah akan membuahkan keadilan bagi pelaku tindak pidana. Kayak katanya Managing Partner saya, Mas R.W Arie Sulistyo, S.H., M. Hum., yang selalu menyitir kalimat “Hakim bukanlah corong undang-undang,” kalimat itu beliau kutip dari bukunya (alm) Prof. Sudikno Mertokusumo yang berjudul “Metode Penemuan Hukum.”

BACA JUGA: CURKUM # 45 MENGENAL UPAYA HUKUM BANDING PERKARA PIDANA

Sebagai manusia yang berpekerti pastinya paham, hukuman bagi pelaku tindak pidana bukanlah sebuah pembalasan dendam. Ketika orang tersebut dijatuhi hukuman, resmilah dia menjadi warga binaan lembaga pemasyarakatan (Lapas). Di sana, dia akan dididik, dibina, serta diberikan keterampilan, kebebasannya akan dirampas, agar dia sadar akan kesalahannya dan menginsafi perbuatan tercelanya.

Kemudian ketika dia berbaur kembali di masyarakat, dapat menjadi pribadi yang tampan, saleh lagi baik, jujur lagi disiplin, taat dan patuh pada aturan, rajin menabung dan tidak sombong kayak koruptor.

Oke jurist sekalian, saya rasa uraian di atas cukup jelas, sangat jelas bahkan untuk menerangkan artikulasi dari sebuah Pembelaan atau Pledoi yang terdapat dalam Pasal 182 KUHAP.

Btw, pembelaan seperti itu pastinya sangat jarang kita jumpai bagi seorang terdakwa yang tidak didampingi oleh seorang Penasehat Hukum. Kita tahulah, sebagian besar orang yang bermasalah dengan hukum pastinya sangat awam dengan hukum.

Begitupun orang hukum, mereka pasti sangat awam dengan dunia pertanian. Kayak dulu, H. Yanto menyuruh saya untuk membeli bibit singkong. Karena saya anak penurut, pergilah saya ke toko tani. Sampe toko tani saya tanya,”Pak, saya mau beli biji singkong, ada?” Sekian dari saya.

Dedi Triwijayanto
Dedi Triwijayanto
Anggota Team Predator klikhukum.

MEDSOS

ARTIKEL TERKAIT

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

DARI KATEGORI

Klikhukum.id