Saya menulis artikel ini dengan perasaan gentar. Ya gimana? Kebagian tema menulis kok ya soal RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja alias RUU Cilaka. Padahal dulu waktu SMA, nilai mata pelajaran ekonomi saya itu sangat mengharukan. Ha ini kok disuruh bahas RUU yang erat kaitannya sama pertumbuhan ekonomi. Ya makin minder sayanya.
Cuma ya sudahlah. Sebagai fans dari band Queen, saya rasa pertunjukan tetap harus berlanjut. Show must go on, kalau kata om Freddie Mercury. Makanya saya tetap menerima amanah menulis artikel ini. Ya, itung-itung saya membantu misi suci negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, hehehe.
Oke, mari fokus ke RUU Cilaka ini. Awalnya saya juga bingung mau membahas dari sisi mananya. Isu ketenagakerjaan udah banyak yang bahas. Isu pembahasan RUU yang dirasa kurang transparan juga udah banyak yang ngomongin. Hanya saja, ada satu isu RUU Omnibus Law Cilaka yang sebenarnya menarik tapi jarang ada yang membahas.
Isu itu adalah mengenai kemungkinan Presiden membatalkan Peraturan Daerah alias Perda dengan Peraturan Presiden. Katanya, sih, biar peraturan-peraturan yang dibuat daerah tidak bertentangan dengan peraturan yang dibuat sama pusat. Apalagi kalau peraturan-peraturan itu berpotensi menghambat investasi. Kan RUU Cilaka tujuannya mempermudah investasi.
BACA JUGA: MEMBAHAS UPAH KERJA
Sebenarnya tujuan pemerintah itu baik, gaes. Maksudnya biar ada harmonisasi antara peraturan yang dibuat pusat, sama peraturan yang dibuat daerah. Terlebih sebenarnya kegiatan pemerintah yang sering disebut executive review itu bukan barang baru, lho. Serius. Executive review itu udah diatur di UU No. 23 Tahun 20014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Kalau gak percaya, coba aja deh cek Pasal 251 Ayat (1) dan Ayat (2) UU Pemerintahan Daerah. Di situ dijelasin kalo Peraturan Daerah tingkat provinsi dan Peraturan Gubernur yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kesusilaan dan/atau kepentingan umum bisa dibatalkan oleh menteri, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri alias Mendagri. Sedangkan Peraturan Daerah tingkat kabupaten/kota dan Peraturan Bupati/Walikota itu bisa dibatalkan gubernur selaku wakil dari Pemerintah Pusat.
Sebenarnya beberapa pihak udah ngajuin judicial review ke MK atawa Mahkamah Konstitusi untuk memperbaiki pasal tersebut dan MK juga uda ngasih putusannya. Gak tanggung-tanggung, gaes. Ada dua putusan MK yang ngebahas satu pasal, yakni Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016. Inti dari kedua putusan itu adalah Mendagri gak bisa lagi membatalkan Perda tingkat kabupaten/kota dan Peraturan Bupati/Walikota.
Pasti ada yang nanya, “Lho, katanya Perda tingkat kabupaten/kota dan Peraturan Bupati/Walikota cuma bisa dibatalkan sama gubernur, lalu apa hubungannya sama Mendagri?”
BACA JUGA: KONTAK KERJA & PRAKTEK TAHAN MENAHAN IJAZAH
Jadi gini, sebelum adanya dua putusan MK itu, Pasal 251 Ayat (2) UU Pemerintahan Daerah, kan bilangnya gubernur sebagai wakil dari pemerintah pusat, to? Nah, misalkan gubernur merasa gak perlu membatalkan Perda tingkat kabupaten/kota atau Peraturan Bupati/Walikota yang diminta oleh pemerintah pusat, terus gimana? Ya, Mendagri dong yang turun sebagai representasi pemerintah pusat buat melakukan executive review itu. Wong wakilnya aja ndableg. Jadi ya sebenarnya mau Perda tingkat provinsi, kabupaten atau kota ya padha bae, bisa dibatalkan pemerintah pusat semua.
“Oke, udah dapet poinnya, nih. Lalu apa hubungannya sama RUU Cilaka?”
Nah, ini nih, ini. Salah satu substansi dari RUU Cilaka itu adalah Presiden bisa membatalkan Peraturan Daerah alias Perda dengan Peraturan Presiden. Sebenarnya kalau kita ngelihat secara normative, ya gak ada peraturan yang dilanggar, sepanjang Perda yang dibatalkan itu adalah Perda tingkat provinsi. Gak melanggar putusan MK juga, kan? Ya, gak? Iya aja deh, biar cepet.
Cuma begini, gaes. Pernah gak sih berpikir, kenapa ancaman pidana itu cuma ada di undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atawa Perppu dan Peraturan Daerah? Kenapa di Peraturan Perundang-undangan kayak Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden itu gak ada ancaman pidananya?
Alasannya itu simpel, gaes. Karena baik undang-undang, Perppu maupun Perda itu perlu persetujuan dari DPR atau DPRD sebagai representasi dari rakyat. Gampangnya, tiga produk peraturan perundang-undangan itu bisa dibilang sebagai kesepakatan politik antara pemerintah dengan yang diperintah. Sementara kalau peraturan pemerintah dan peraturan presiden itu yang buat ya pemerintah sendiri, DPR gak ikutan buat. Apalagi DPRD. Nah, sampai sini udah jelas, kan?
Sekarang coba bayangin, kalau misalnya RUU Cilaka ini resmi jadi undang-undang dan Presiden beneran bisa mencabut Perda (yang dibuat pemerintah sama DPRD) dengan Peraturan Presiden (yang dibuat pemerintah doang). Semisal ada pemerintah daerah yang capek-capek melakukan pengundangan Perda sama DPRD setempat, lalu pemerintah pusat ngebatalin dengan Peraturan Presiden karena gak sesuai dengan UU Cilaka, kan capedeh namanya.
“Ya gapapa, dong. Kan yang penting RUU Cilaka udah jadi UU. Lagian kan RUU Cilaka dibahasnya barengan sama DPR yang jadi wakil rakyat di tingkat nasional.”
Ya gak gitu, bos. Masalahnya kita belum tahu nih mekanisme pembatalannya gimana, secara draf RUU Cilaka yang resmi kan belum dirilis sama pemerintah. Takutnya nanti pemerintah pusat bisa sewenang-wenang ngebatalin peraturan yang udah dibuat sama pemerintah daerah dan DPRD. Kalau gak ada orang yang mau memperhatikan isu ini, maka bisa dikhawatirkan RUU Cilaka bisa mengembalikan kita ke era sentralisasi lagi, nih. Asyik gak, tuh?
BACA JUGA: WAKTU INDONESIA BAGIAN PEKERJA
“Ya emang kenapa?”
Lho, kok kenapa? Ya jelas itu bermasalah, dong. Analoginya gini, orang ngerjain skripsi dan dapet revisi terus dari dosen pembimbing aja keselnya udah setengah mati, apalagi kalau disuruh revisi tanpa alasan. Nah, kalau pembatalan Perda oleh Presiden itu gak ada mekanisme yang jelas dan pemerintah pusat bisa batalin Perda sesuka hati, akhirnya pemerintah daerah sama DPRD jadi males bikin Perda. Di saat itulah sentralisasi bisa balik lagi, dan otonomi daerah jadi gak ada artinya. Padahal Perda kan salah satu upaya mewujudkan otonomi daerah yang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah masing-masing. Analoginya gak nyambung, ya? Biarin, deh.
“Lalu sikap kita kudu gimana?”
Wah, kalau itu sih bukan tugas saya buat nentuin kita kudu gimana. Tentukan sikap sendirilah. Udah gede kok tanyanya masih gitu.