Belum lama Menteri Sosial ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), eh kok ya ada berita yang membuat siapa pun melongo mendengarnya. Tepat sekali, berita yang saya maksud adalah berita mengenai dikabulkannya peninjauan kembali yang diajukan oleh Fahmi Darmawansyah oleh Mahkamah Agung. Hukuman pidana Fahmi Darmawansyah yang awalnya 3,5 tahun penjara diubah menjadi 1,5 tahun penjara dan denda sebesar Rp100 juta.
Saya ceritakan latar belakangnya terlebih dahulu. Awal mulanya, Fahmi yang tersandung kasus suap pejabat Badan Keamanan Laut (Bakamla) terkait proyek pengadaan monitoring satelit di Bakamla itu harus mendekam di Lapas Sukamiskin selama 2 tahun 8 bulan. Di lapas tersebut, Fahmi mendapat sel yang berbeda dengan narapidana lainnya sehingga terlihat mewah. KPK pun menggelandang Fahmi dan Wahid Husein, Kepala Lapas Sukamiskin saat itu.
Di persidangan, dua orang yang sama-sama ‘tidak suka miskin’ ini terbukti terlibat kasus suap menyuap. Yang satu memberikan suap berupa tas Louis Vuitton, mobil Mitsubishi Triton, sejumlah uang untuk menjamu tamu Lapas dan sepasang sepatu sandal merek Kenzo (bukan sandal Swallow) dan yang satu lagi tugasnya, ya tentu saja menerima semua pemberian tersebut, dong. Apa lagi coba? Gara-gara hal tersebut, Fahmi pun dijatuhi pidana dengan hukuman 3,5 tahun penjara oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Bandung dan Fahmi menerimanya.
BACA JUGA: MARAKNYA KORUPSI DI BULAN ANTI KORUPSI
Nah, seperti yang sudah saya sebutkan di awal, Fahmi pun mengajukan peninjauan kembali dan permohonan tersebut dikabulkan oleh para hakim Mahkamah Agung yang terhormat. Yang menarik adalah pemberian-pemberian dari Fahmi kepada Wahid Husein tersebut dianggap sebagai kedermawanan Fahmi kepada Wahid Husein.
Pada titik inilah putusan Mahkamah Agung terhadap peninjauan kembali tersebut membuat banyak pihak melongo. Kok bisa para hakim Mahkamah Agung menganggap tindakan Fahmi tersebut sebagai bentuk kedermawanan Fahmi terhadap Wahid Husein? Apakah sekarang pejabat juga harus dikasihani sehingga harus dikasih sumbangan? Kalau begitu, ya pantas pejabat publik semakin banyak yang kena operasi tangkap tangan, ngoahahahahahahaha.
Baiklah, sekacau apapun putusan hakim, toh kita tetap harus menghormatinya. Wong sesama hakim saja tidak boleh mengomentari putusan yang dibuat oleh hakim lainnya, kok. Mari kita berandai-andai, apa saja yang harus dilakukan setelah dikeluarkannya putusan peninjauan kembali tersebut agar masyarakat bisa mengerti dan memahami pertimbangan hukum dari Mahakamah Agung. Saya mencatat setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan.
- Merevisi arti kata dermawan dalam KBBI
Kamus Besar Bahasa Indonesia atawa KBBI menyatakan bahwa dermawan memiliki arti pemurah hati. Dermawan dapat juga diartikan sebagai orang yang suka berderma alias melakukan kegiatan seperti beramal atau bersedekah. Jika selama ini kedua kegiatan tersebut selalu diartikan sebagai perbuatan berbagi kepada fakir miskin, maka setelah para hakim yang terhormat itu membuat putusan permohonan kembali Fahmi Darmawansyah tersebut, pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sepertinya harus memikirkan kembali definisi dari dermawan tersebut. Saran saya, tambahlah definisi dermawan dalam KBBI tersebut sehingga menjadi, “Orang yang suka berderma kepada pejabat publik untuk mendapat fasilitas tertentu.”
- Mengubah ketentuan dalam UU Tipikor
Fahmi Darmawansyah dan Wahid Husein tersandung kasus suap, yang dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Selain suap, dalam UU Pemberantasan Tipikor juga dikenal dengan namanya gratifikasi, yang sedikit berbeda dengan suap. Yah, untuk lebih jelasnya, boleh banget dibaca artikel soal “7 JENIS TINDAK PIDANA KORUPSI,” pokoknya di situ dijelasin. Nah, mengingat ketentuan mengenai suap dan gratifikasi dalam UU Pemberantasan Tipikor mensyaratkan adanya pemberian yang terkait dengan jabatan atau kekuasaan seseorang, maka definisi tersebut harus diubah. Tidak baik lho, kalau kita terus-terusan berburuk sangka dengan orang yang punya niat baik bersedekah ke pejabat publik, meski di sekitar orang tersebut masih banyak ribuan bahkan jutaan orang yang khawatir dirinya tidak bisa makan di esok hari. Saran saya, buatlah tambahan aturan yang frasanya menyatakan bahwa pasal suap dan gratifikasi dalam UU Pemberantasan Tipikor tidak dapat diberlakukan apabila si pemberi melakukannya dengan niat sedekah.
- Melakukan sosialisasi
Setelah arti kata dermawan dalam KBBI direvisi dan ketentuan terkait suap dan gratifikasi dalam UU Pemberantasan Tipikor diubah, maka tahap selanjutnya adalah dengan melakukan sosialisasi.
BACA JUGA: KPPU AKHIRNYA TURUN TANGAN MENGENAI KASUS BENIH LOBSTER
Hal ini perlu dilakukan mengingat masyarakat masih menganggap bahwa pemberian terhadap pejabat publik merupakan perbuatan tindak pidana, sehingga perlu diberi pemahaman bahwa semenjak putusan peninjauan kembali terhadap Fahmi Darmawansyah tersebut, pemberian terhadap pejabat publik tidak harus dipandang dengan tatapan penuh curiga bahwa hal tersebut merupakan suap, melainkan bisa jadi hal tersebut merupakan sedekah kepada pejabat publik yang bersangkutan. Dengan pemahaman baru tersebut, diharapkan masyarakat akan semakin berlomba-lomba memberikan suap, eh, sedekah kepada pejabat publik. Namanya juga pejabat, masak ya miskin? Pejabat itu ya harus kaya, berpakaian perlente, aset di mana-mana, mobil lebih dari satu, syukur istrinya juga lebih dari satu. Eh, yang terakhir tolong diabaikan saja.
Yah, pokoknya begitulah. Kalau kamu masih heran dengan anggapan hakim bahwa pemberian Fahmi ke Wahid Husein merupakan bentuk kedermawanan Fahmi, ya sama. Sini, heran bareng-bareng.