Jika kalian sepakat soal autentik ciptaan NFT yaitu, hasil karya digital seperti seni digital, benda pada permainan video dan berkas musik yang secara langsung, berkas digital dan kepemilikannya diupload oleh pencipta. Maka terhadap karya seni yang sumbernya dari lukisan, patung dan fotografi yang dijual bentuk NFT masih diragukan keautentikannya.
Jujurly per-NFT-an bagi saya merupakan dunia baru dan wajib untuk dipelajari. Terlebih secara basic keilmuan, sebagai punk lawyer yang juga menekuni dunia Intellectual Property, maka sangatlah pas jika saya mengkaji kehadiran NFT dielaborasikan dengan rezime UU Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 yang berlaku di Indonesia.
Pertama, mari kita bahas tipis-tipis apa itu NFT. Tentunya pembahasan ini versi saya ya pren, yang ketika dibandingkan dengan ahli crypto mania mungkin ada pembedanya.
@EkaBagus_ dalam tweetnya mengulas NFT itu Non-Fungible Tokens, yang bermakna token unik yang terkait manfaat digital (kadang fisik) yang menunjukkan bukti kepemilikan atau dapat dimaknai sebagai aset digital yang berisi ciri-ciri unik yang dikodekan dan disimpan diblockhain dalam bentuk kontrak (smart contracts) dan memberikan manfaat buat pemiliknya.
BACA JUGA: 5 TIPS BERKARYA DILINDUNGI HUKUM
Sedangkan pengertian lain menurut Wikipedia.id, NFT adalah token kriptografi, tetapi tidak seperti mata uang kripto seperti bitcoin dan banyak token jaringan atau utilitas, NFT tidak saling dipertukarkan, yaitu tidak bisa dilacak. NFT dibuat dengan mengunggah berkas, seperti karya seni, ke pasar lelang NFT, di marketplaceseperti KnownOrigin, Rarible atau OpenSea.
Jadi pemahaman simpelnya, NFT merupakan bukti kepemilikan atas suatu karya ciptaan yang digunakan untuk membuktikan bahwa karya ciptaan itu asli.
Jika di Indonesia ada UU Hak Cipta, yang digunakan untuk melegitimasi suatu karya ciptaan itu asli dalam bentuk sertifikat pencatatan karya cipta dikeluarkan oleh Dirjen HKI. Sedangkan NFT hadir sebagai jawaban atas apakah karya tersebut autentik atau tidak terkhusus yang berkembang dan dijual belikan dalam dunia digital.
Jadi bagi para kolektor digital, ketika membeli suatu karya cipta dalam dunia digital dengan hadirnya NFT mereka merasa teryakinkan bahwa karya tersebut autentik.
Namun problemnya apakah setiap bentuk karya cipta digital yang diperjualbelikan dalam marketplace NFT seperti KnownOrigin, Rarible atau OpenSea dapat dijamin keautentikannya atau bahasa mudahnya kode NFT tersebut secara pasti dipegang dan diakses oleh pencipta.
Mari perlahan kita bahas, dengan pendekatan UU Hak Cipta.
Tentang keautentikan atas suatu karya cipta, dalam UU Hak Cipta sejatinya dipegang oleh pencipta. Yaitu, seorang atau beberapa orang yang secara sendiri- sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi.
Sedangkan pencipta di sini belum tentu pemegang hak cipta atau bahasa sederhananya orang yang memegang sertifikat karya cipta yang dikeluarkan oleh Dirjen HKI.
Soalnya, Undang-undang mengatur juga pemegang hak cipta yaitu bisa pencipta atau pihak yang menerima hak secara sah dari pencipta melalui perjanjian yang dibuatnya.
Contohnya, selain sebagai punk lawyer, ternyata saya juga pandai melukis. Lalu lukisan saya yang bergenre neo-primitive tersebut ingin kami beli dan sebagai kolektor, kamu juga tertarik untuk mencatatkan pemegang hak ciptanya atas nama kamu.
Konsep tersebut dibenarkan selagi proses perjanjian peralihan hak yang dilakukan antara saya dan kamu selaku kolektor telah disepakati dan dibuat tanpa melawan hukum.
Untuk selanjutnya, misalnya lukisan itu menghasilkan suatu keuntungan. Contohnya, desain tersebut dibuat sepatu, tas dan produk lainnya, maka yang dapat menikmati royali itu kamu selaku pemegang hak cipta. Yaa, walaupun literally pencipta lukisan itu tetap saya.
Kenapa bisa begitu?
Yaa, karena UU Hak Cipta mengatur bahwa pencipta tidak bisa memindahtangankan walau yang megang sertifikat tersebut pihak lain.
Sekarang kita beranjak lagi ke NFT, jawaban dari pertanyaan soal keauntentikan karya cipta di NFT perlu kita tajemi bersama.
BACA JUGA: HKI ITU PENTING UNTUK START UP
Pasalnya begini pren, budaya pameran secara offline di Indonesia sangatlah tinggi. Beragam seniman lintas kalangan suka memamerkan karyanya ke ruang publik. Dengan kehadiran NFT sejatinya masih menjadi boomerang apabila seniman tersebut tidaklah waspada, ditambah regulasi hukum Indonesia terkhusus hak cipta belum merambah ke NFT.
Kasusnya begini, jika ada orang yang datang ke suatu pameran, lalu mendokumentasikan suatu karya tersebut dan hasil dokumentasi itu diolah untuk dapat diakses di NFT, setelah terpajang di marketplace karya itu laku dengan nilai fantastis.
Secara otomatis yang mendapatkan keuntungan adalah pihak atau orang yang dapat mengakses karya tersebut menjadi NFT. Sedangkan seniman asli yang membuat karya sebagai penciptanya tidak mendapatkan keuntungan apapun.
Sehingga di sini sudah ada satu problem, bahwa faktanya tidak serta merta kode yang ada di NFT itu asli diakses oleh pencipta.
Pasalnya seseorang yang mengunggah karya tertentu sebagai NFT tidak harus membuktikan bahwa mereka adalah seniman asli dan ada banyak kasus dimana seni digunakan untuk NFT tanpa izin pencipta.
Seseorang yang mengupload karya tertentu sebagai NFT tidak harus membuktikan bahwa dirinya adalah artis aslinya dan ada banyak kasus dimana seni digunakan untuk NFT tanpa izin penciptanya. Begitulah tutur Wikipedia,id.