Apa yang ada di bayangan kalian ketika mendengar kata Batman? Ya, pasti seorang super hero yang kaya raya berbaju dan berjubah hitam, serta memiliki banyak peralatan canggih. Lalu, kalau kalian mendengar kata spiderman? Pasti yang ada di bayangan kalian adalah manusia berkekuatan super, yang bisa menempel di dinding dan berayun-ayun dengan jaringnya. Nah, gimana kalau mendengar kata Superman? Apakah yang ada di benak kalian adalah superhero yang bisa terbang dan bisa menembakkan laser merah dari matanya, atau wafer renyah berbalut coklat yang dibungkus dengan plastik berwarna orange?
Di Indonesia lagi heboh lagi nih, sengketa merek Superman. Awal mula terjadi sengketa merek Superman dengan DC Comics adalah ketika perusahaan komik asal AS itu ingin mendaftarkan mereknya di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 2017 silam. Namun apes, permintaan itu ditolak karena sudah ada merek superman di Indonesia. Pihak DC mengajukan gugatan dan kalah di MA pada tahun 2018, walau akhirnya pada 2020 DC Comics menang atas merek Superman.
Sebenarnya jauh sebelum DC Comics akan mendaftarkan mereknya di Indonesia, pada tahun 1993, PT Marxing Farm Makmur telah mendaftarkan mereknya, yakni Wafer Coklat Superman atau sering dikenal sebagai Wafer Superman Indonesia ke Kemenkumham.
Superman merupakan tokoh superhero dengan ciri berjubah merah dan memakai lambang S di dadanya. Superman muncul dalam komik Amerika yang diterbitkan oleh DC Comics pada tahun 1938. Superman dikenal secara luas dan telah dianggap sebagai ikon kebudayaan yang melambangkan kekuatan budaya dari Amerika Serikat. DC Comics juga memproduksi karakter pahlawan lainnya, seperti Batman dan Wonder Woman.
Kalau kita melihat ke belakang, ternyata merek Superman tidak hanya didaftarkan di Amerika saja oleh DC comics, melainkan di berbagai dunia seperti Australia, Brazil, Inggris, Jepang dan negara lainnya, sehingga membuat Superman tenar dan menjadi ikon kebanggaan Negara Paman Sam itu.
BACA JUGA: DULUAN MANA, DAFTAR MEREK APA GEDEIN BRAND?
Pada dasarnya, dalam UU No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Goeografis (UU MIG) dijelaskan bahwa merek yang dilindungi adalah merek yang conventional dan non-conventional. Unsur merek conventional adalah gambar, logo, nama, kata, huruf, angka dan susunan warna. Sedangkan unsur non-conventional yaitu, bentuk 2 (dua) dimensi dan/ atau 3 {tiga) dimensi, suara, hologram atau kombinasi dari keduanya.
Sebelum UU MIG disahkan, ketentuan tentang Merek diatur dalam UU 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Baik UU Merek tahun 2015 maupun UU Merek sebelumnya, belum memberikan perlindungan hukum tentang merek terkenal. Padahal sebenarnya, ketentuan tentang merek terkenal sudah diatur secara internasional dalam berbagai perjanjian internasional seperti Paris Convention for the Protection of Industrial Property (“Paris Convention”) dan the Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (“TRIPS Agreement”).
Paris Convention dan TRIPS Agreement mensyaratkan negara-negara anggota untuk melindungi merek terkenal, bahkan apabila merek tersebut tidak terdaftar atau digunakan di negara itu. Perlindungan merek terkenal yang belum terdaftar di bawah Paris Convention biasanya terbatas pada barang dan jasa yang identik atau mirip dengan barang atau jasa merek terkait dan dalam situasi dimana penggunaan cenderung menyebabkan kebingungan.
Berdasarkan TRIPS Agreement, perlindungan bahkan dapat diberikan untuk barang atau jasa yang berbeda, jika terhubung dengan pemilik merek terdaftar yang terkenal atau jika kemungkinan pemilik merek terkenal akan mendapat kerugian yang disebabkan oleh kebingungan pasar.
Seharusnya sejak lama Indonesia ikut mematuhi apa yang ada di dalam Paris Convention, karena Indonesia telah meratifikasinya. Selain itu, Indonesia juga harus mematuhi TRIPS Agreement, karena Perjanjian TRIPS ini adalah perjanjian yang berlaku untuk semua anggota Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization) dimana Indonesia sebagai anggota harus mematuhinya.
Faktanya, banyak sekali terjadi peniruan terhadap merek-merek terkenal dari luar negeri untuk produk-produk tertentu yang berbeda jenis. Penjiplakan yang dilakukan tidak hanya pada merek saja, tetapi juga pada desain dan jenis bahannya. Sehingga sulit bagi konsumen untuk membedakan yang asli dan yang palsu. Praktek curang ini disebut sebagai bad applicant (pendaftar beritikad tidak baik), tidak hanya perusahaan pemilik merek terkenal yang dirugikan, akan tetapi masyarakat sebagai konsumen dan negara juga dirugikan karena kebingungan.
BACA JUGA: ENDING DRAMA PEREBUTAN MEREK BENSU
Bad applicant biasanya berlindung di balik asas first to file. Asas itu memberikan perlindungan hukum bagi pendaftar pertama. Kebanyakan bad applicant mendaftarkan di kelas yang bukan eksention dari bisnis di mana merek tersebut berasal.
Sebelum disahkan UU MIG, perlindungan merek terkenal di Indonesia memang belum maksimal. Bukan hanya pada kasus Superman, ada beberapa kasus sebelumnya seperti Toyota, IKEA, Pierre Cardin dan Polo Ralph Lauren, semuanya kalah ketika berurusan dengan merek produk mereka yang dibuat tiruannya di Indonesia. Tidak sedikit merek terkenal yang kalah di pengadilan Indonesia, ya karena Indonesia menggunakan konsep first to file itu.
Hal inilah yang menjadi salah satu alasan kenapa UU MIG mengatur lebih lanjut tentang larangan penggunaan merek yang memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek terkenal, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Ayat (1) huruf b dan C UU MIG.
Dijelaskan bahwa, permohonan merek akan ditolak apabila seperti berikut ini.
(1) Permohonan ditolak jika merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan:
a. merek terkenal milik pihak lain untuk barang dari/atau jasa sejenis;
b. merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa tidak sejenis yang memenuhi persyaratan tertentu.
Ketentuan dalam Pasal 21 Ayat (1) huruf b dan huruf c ini secara tegas menyebutkan tidak boleh ada peniruan terhadap merek terkenal baik untuk barang/jasa yang sejenis maupun tidak sejenis. Bisa dibilang ini aturan konkrit untuk menghindari terjadinya kasus-kasus serupa seperti kasus wafer Superman. Jangan sampai nanti ada merek Spiderman yang memproduksi kacang goreng atau Iron Man yang memproduksi minuman bersoda.