Gara-gara macarin anak usia 20 tahun lebih muda, beberapa waktu yang lalu nama Kriss Hatta sempat menjadi perbincangan di jagat maya. Berpacaran dengan underage, Kriss mengaku jika sang pacar memiliki sikap yang cukup dewasa dan sabar. Hadeh, bocil 14 tahun sedewasa apa siiihh. -_-
Lakukan child grooming hingga dituding pedofil, Kriss mengaku nyaman dan seru pacari anak di bawah umur, karena lebih mudah didirect. Hahaha, janji nggak manipulatif?! Ampun deh, nggak habis pikir sama pola pikirnya! Bisa-bisanya pacari anak yang baru tamat SD. Trus, ngaku mirip Leonardo Dicaprio.
The problem is that the girl is still a minor. Harusnya bisa bedakan pacaran beda usia dengan pacaran sama anak-anak. Oke, di sini bukannya mau mengomentari drama kehidupan artisnya. Tapi sesuai judul, “Pacari underage bertentangan dengan hukum gak sih?”
Well, sebenarnya nggak ada aturan hukum secara spesifik melarang seseorang memiliki pasangan usia berapapun atau nggak ada yang mengatur usia dalam berpacaran. Tapi bukan berarti mewajarkan pacaran dengan seseorang yang di bawah umur, karena jatuhnya child grooming.
Lagian apa sih, enaknya pacaran sama yang di bawah umur? Kecuali bagi pedofil ya. Soalnya nih, segala perbuatan yang dilakukan ketika pacaran dengan seseorang di bawah umur lebih rentan melanggar undang-undang, terutama UU perlindungan anak. Coba kalo pacaran sama orang dewasa, kan lebih nyambung diajak ngapa-ngapain. Bahas politik misalnya, wkwkwk.(>‿<)
BACA JUGA: SULITNYA MENGUNGKAP KASUS PENCABULAN ANAK
Lembaga perlindungan anak di Inggris, NSPCC mengartikan child grooming sebagai situasi ketika seorang anak tanpa sadar membentuk sebuah hubungan dengan pelaku (groomer) yang menimbulkan rasa percaya dan koneksi secara emosional pada seorang anak dan/atau remaja yang menjadi target, sehingga pelaku dengan mudah melakukan tindakan manipulasi, eksploitasi bahkan melakukan kekerasan atau berujung pelecehan seksual kepada anak.
Definisi ‘anak’ menurut UU Perlindungan Anak No. 23/2002 adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Grooming merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual. Dampak dari perbuatan ini pun memiliki efek yang berkepanjangan untuk seorang anak. Sayangnya belum terdapat aturan lex specialis yang mengatur mengenai child grooming di Indonesia, namun bukan berarti pelaku bisa lolos dari ancaman hukuman yang mengintai jika bertidak lebih jauh.
Misalnya, menggunakan modus melakukan pendekatan, dengan cara melakukan kebohongan dan tipu muslihat bersikap baik untuk membuat seorang anak masuk dalam perangkapnya agar bisa melakukan perbuatan cabul. Nah, hal tersebut bisa dijerat dengan UU No. 35 Tahun 2014 perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 Perlindungan Anak.
Pasal 82 Jo 76 E yang berbunyi, “ Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar.”
Misalnya nih, si groomer mengambil dan menyimpan foto serta video hasil perbuatan cabul, kemudian disalahgunakan demi kepentingan ekonomi (eksploitasi secara ekonomi) untuk menguntungkan diri pelaku atau orang lain (bekerjasama) dengan maksud memperkaya atau menambah kekayaan.
Perbuatan tersebut diancam dengan UU perlindungan anak Pasal 88 Jo 76 I yakni, penjara selama 10 tahun atau denda Rp200 juta, jika menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan eksploitasi ekonomi dan/atau seksual terhadap anak.
Child grooming sendiri seringkali dikaitkan dengan pedofil. Pedofil adalah sebuah tindakan yang mengarah seksual oleh orang dewasa yang dilakukannya kepada anak-anak dan orang dewasa tersebut merasa senang dan hanya terangsang ketika melakukan hubungan seksual dengan anak-anak.
Mereka yang belum dewasa atau setidaknya belum masuk usia age of consent lebih mudah dimanipulasi agar mematuhi groomer. Age of consent dalam UU perkawinan terbaru No.16/ 2019 dimana usia minimal boleh menikah adalah 19 tahun baik pria maupun wanita .
Consent itu sendiri erat kaitannya dengan relasi antar individu, terutama dalam hal relasi romantis. Orang-orang sering salah mengartikan di mana apabila sudah memiliki relasi romantis dengan orang lain, maka orang tersebut berhak penuh atas ranah privat.
BACA JUGA: MELIHAT TREND PACARAN ALA ANAK JAKSEL
Ketika seorang anak belum dapat menentukan baik atau benar, buruk atau salah suatu perbuatan, memberikan consent (persetujuan) kepada orang dewasa yang berhasil memanipulasi anak tersebut, inilah yang disebut dengan child grooming.
Tahapan terjadinya grooming menurut O’Connell atau yang biasa disebut sebagai “Akar strategi grooming” dibagi menjadi lima tahap yaitu tahap pembentukan pertemanan (friendship-forming stage), tahap pembentukan hubungan (relationship-forming stage), tahap pertimbangan risiko (risk assessment stage), tahap ekslusivitas (exclusivity stage) dan tahap seksual (sexual stage).
Seperti yang telah dijelaskan, bahwa menjalin asmara dengan underage (di bawah umur) lebih rentan terkena ancaman hukum, terlebih secara emosional, wawasan dan pengalaman yang tidak seimbang, membuat anak rentan menjadi korban. Misalnya mudah terjadi kekerasan (toxic relationship) dalam pacaran, hingga pelecehan seksual.
Boleh-boleh aja pacaran sama orang yang beda usia, tapi lebih bijaknya jika keduanya sama-sama sudah dewasa atau minimal usia age of consent. Karena nggak etis banget, pacaran sama bocah yang makna dewasa aja belum tentu tahu. Apalagi berdalih kalau pacar underagenya cukup dewasa. Hadeh, bedain dewasa sama mudah diperdaya! Hehehe, peace.( ◜‿◝ )