Cerita ini bukan fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan yang memang disengaja. Cerita ini adalah kisah nyata, yang menceritakan pahitnya dunia pengacara. Dulu aku sudah pernah menulis artikel, “5 ALASAN KENAPA PENGACARA INDONESIA HIDUPNYA PAS-PASAN.” Sekarang aku mau cerita apa saja beban hidup si pengacara pas-pasan.
Mari kita mulai.
Repotnya sebagai seorang pengacara, kita nggak pernah tahu kapan bakal dapat uang. Beda dengan PNS atau karyawan swasta yang jelas kapan waktu gajiannya. Misalnya nih, sebagai seorang pengacara yang stay di Jogja, aku dapet penghasilan rata-rata 5 juta per bulan. Sebenernya penghasilanku ini masih pas-pasan. Meskipun pendapatan segitu sudah lebih dari dua kali UMR Jogja, tapi tetep saja kurang. Bukan aku boros dan nggak bersyukur ya, tapi nyatanya begitu. Kadang buat kebutuhan hidup saja masih kurang. Eh, si pengacara pas-pasan ini masih juga dibebankan dengan berbagai tagihan dari negara.
BACA JUGA: PROSES JADI ADVOKAT MEMANG TAK MUDAH
Bayar BPJS Kesehatan
Bayar BPJS kesehatan tiap bulan itu rasanya berat banget. Nggak bayar ntar kena denda dan menumpuk. Dibayar alokasi anggarannya tuh, lumayan menguras dompet. Sesuai dengan Peraturan Presiden No. 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Perpres No.82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, sebagai seorang Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dengan manfaat pelayanan di ruang kelas 1, aku tuh, harus membayar 150 ribu per orang. Nah, kalo satu keluarga ada empat orang anggota, at least aku kan harus mengeluarkan uang 600 ribu per bulan buat bayar BPJS Kesehatan.
Eh, sudah bayar mahal-mahal, cakep pun, tahun ini presiden bikin kebijakan baru lewat Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga Perpres No.82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Sejak ada Perpres No.59 Tahun 2024 ini, BPJS nggak pake kelas-kelasan lagi. Huh, tapi tetap aja aku bayarnya pake harga lama.
Bayar Pajak Penghasilan
Sebagai seorang pekerja bebas yang mendapatkan penghasilan, aku juga harus menyisihkan penghasilanku buat bayar PPh 21. Nah, karena penghasilanku masih di bawah 60 juta, maka tarif PPH 21 sebesar 5%. Cara hitungnya tuh, pake rumus tarif PPh x 50% x penghasilan bruto. Misal, penghasilan 5 juta, maka PPh 21 yang harus dibayarkan bulan itu adalah 125.000,00.
BACA JUGA: MACAM-MACAM GAYA BERPAKAIAN PENGACARA MUDA
Bayar Tapera
Next, walaupun belum bener-bener diterapkan, tapi keluarnya Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2020 yang diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2024, juga menambah beban pikiran. Gimana nggak, dengan adanya aturan tersebut, maka pengacara sebagai pekerja mandiri, nantinya wajib daftar menjadi peserta Tapera dan wajib menabung 3% dari penghasilannya.
Ahh, kebayang nggak, potongan buat ke negara aja sudah 17% lebih dari pendapatan bulanan si pengacara pas-pasan ini. Padahal selain buat makan, operasional, bayar listrik, internet dan biaya hura-hura, masih ada pengeluaran yang nggak kalah wajib. Yaitu, bayar SPP sekolah anak. Berhubung anak-anakku sekolahnya swasta semua, maka SPP hukumnya wajib. Sedangkan tiap bulan Juli, tentu saja ada pengeluaran tambahan buat bayar uang kenaikan kelas. Paling bener emang sekolah di negeri ya, biar gratis. Namun apa daya, sudah nilai pas-pasan, kehalang zonasi pula. Mengsedih.
Dapetin 5 juta per bulan itu juga cuma misalnya ya, karena nyatanya nyari klien itu susah gaes. Bisa jadi bulan ini dapet klien, bulan depannya zonk. Nggak semua pengacara itu bergelimang harta kaya Hotman Paris. Jadi buat kalian-kalian lulusan sarjana hukum yang pengen terjun ke dunia advokat atau pengacara, coba pikir-pikir lagi deh, apakah bener kalian sudah siap dengan realita kehidupan yang begitu kejam ini.