Covid-19 yang menerpa Indonesia saat ini telah menimbulkan kekhawatiran dan kegelisahan terhadap laju perekonomian negara. Cepat atau lambat dampaknya akan memukul berbagai kegiatan perekonomian seperti, indeks bursa saham yang mulai rontok, nilai tukar rupiah semakin terperosok serta kegiatan usaha pun ikutan digembok. Hal ini tentu saja akan menjadi momok bagi pengusaha dan pekerja.
Kehadiran Covid-19 kian berpengaruh terhadap sektor industri nasional. Mulai dari sektor pariwisata, manufaktur, perdagangan, hingga sektor berorientasi ekspor, seperti komoditas pertanian dan tambang yang juga terkena efek berantai sampai ke sektor lainnya.
Demi memutus rantai penyebaran Covid-19 banyak pabrik-pabrik yang harus berhenti beroperasi. Walaupun laba pendapatan yang kian menurun atau bahkan tak ada, mereka masih harus memikirkan gaji karyawan atau pekerjanya . Suramnya kegiatan usaha di berbagai sektor industri tersebut pasti akan berujung pada nasib pekerja atau buruhnya. Nah, ujung-ujungnya nanti mesti banyak pekerja yang dirumahkan atau bahkan sampai di-PHK.
Seperti dilansir dari beritasatu, terdapat kurang lebih 30.137 pekerja yang terkena PHK dari 3.348 perusahaan. Sementara 132.279 pekerja telah dirumahkan dari 14.697 perusahaan. Itu baru data dari seputaran Jakarta saja ya gaes, belum dari provinsi lainnya yang ada di negeri ini.
Walah, buanyak banget pekerja yang terkena PHK. Btw, ada yang tanya ke saya bisa nggak sih dengan alasan Covid-19 suatu perusahaan melakukan PHK?
BACA JUGA: MEMBAHAS UPAH KERJA
Jawabannya ya bisa aja, PHK itu sah-sah saja dilakukan oleh pengusaha untuk menekan pengeluaran perusahaan. Akan tetapi alangkah baiknya jika PHK sebisa mungkin dihindari. Adapun ketentuan yang mengatur tentang PHK dalam Pasal 164 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dapat dilakukan dengan alasan berikut ini:
- Mengalami kerugian atau keadaan memaksa (force majeur)
Well, setelah Presiden menyatakan Covid-19 sebagai bencana non alam, maka dapat dikatakan keadaan bencana ini sebagai keadaan memaksa ya gaes. Mungkin saja dengan berat hati pengusaha harus mengambil langkah atau keputusan untuk melakukan PHK. Berbeda halnya dengan pasal 1245 KUHPerdata yang tidak mengharuskan untuk membayar biaya rugi dan bunga sebagai gantinya. Kalo dari Hukum ketenagakerjaan para pekerja masih berhak untuk mendapatkan satu kali atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang pengganti hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 UU Ketenagakerjaan.
- Perusahaan melakukan efisiensi
Sejak adanya Putusan MK No.19/PUU-IX/2011, maka alasan PHK dengan alasan efisiensi dengan syarat sepanjang dimaknai perusahaan tutup secara permanen atau tutup tidak untuk sementara waktu. Nah, untuk pekerja yang di-PHK karena alasan efisiensi, berhak untuk mendapatkan pesangon sejumlah 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan, uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 Ayat (3) UU Ketenagakerjaan, dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat (4).
Lantas bagaimana dengan nasib upah bagi para pekerja yang telah dirumahkan? Apa masih tetap digaji full atau tidak ya gaes?
Hmm, Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan RI No M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19 menjelaskan bahwa
- untuk pekerja yang dikategorikan sebagai Orang Dalam Pemantauan (ODP) terkait Covid-19 dengan dibuktikan adanya keterangan dari dokter sehingga tidak dapat masuk kerja paling lama 14 hari, maka upahnya tetap dibayarkan secara penuh;
- untuk pekerja yang dikategorikan kasus suspek Covid-19 dan dikarantika/diisolasi dibuktikan dengan adanya keterangan dokter, maka upahnya dibayarkan secara penuh selama masa karantina/isolasi;
- bagi pekerja yang tidak masuk kerja karena sakit Covid-19 dan dibuktikan keterangan dokter, maka upahnya dibayarkan sesuai peraturan perundang-undangan;
- bagi perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah di daerah masing-masing guna melakukan pencegahan dan penanggulangan Covid-19, sehingga sebagian atau seluruh pekerja tidak masuk kerja, maka upahnya untuk perubahan besaran upah dan cara pembayarannya pun dilakukan sesuai dengan adanya ‘kesepakatan’antara pengusaha dan pekerja.
Jadi gaes jika pekerja melakukan Work From Home (WFH) dikarenakan adanya kebijakan dari pemerintah, maka untuk upah yang diterima akan dikembalikan lagi atas kesepakatan para pengusaha dan pekerja.
BACA JUGA: WAKTU INDONESIA BAGIAN PEKERJA
Tak hanya berhenti sampai di situ saja ya gaes, pengusaha harus memutar otak untuk tetap bisa membayar Tunjangan Hari Raya alias THR di tengah terjangan wabah Virus Covid-19 ini. Seperti kita ketahui bulan puasa sudah di depan mata, tidak lama lagi lebaran pun tiba. Sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dan Peraturan Menteri (Permen) Ketenagakerjaan No. 6/2016 tentang Tunjangan Hari Raya (THR), pengusaha wajib untuk membayar THR.
Menurut PP Pengupahan bahwa THR itu merupakan salah satu pendapatan non upah yang wajib diberikan oleh pengusaha kepada pekerja, yang wajib dibayarkan paling lambat 7 hari sebelum hari raya. Jika pengusaha itu terlambat membayar THR, maka akan diberikan denda sebesar 5 % dari jumlah THR yang harus dibayarkan.
Artinya Covid-19 tidaklah menjadi alasan bagi pengusaha untuk tidak membayarkan THR tersebut. Namun dalam situasi khusus seperti saat ini, pengusaha akan diberikan kelonggaran untuk melakukan pembayaran kewajibannya terhadap pekerja.
Pembayaran THR bisa dilakukan dengan cara melakukan dialog antara pengusaha dan pekerja, seperti melakukan pembayaran dengan step by step (dicicil), melakukan penundaan pembayaran hingga waktu tertentu. Yah, semua ini akan dikembalikan lagi berdasarkan konsensualisme (kesepakatan) antara pengusaha dan pekerja.
Ingat ya gaes, di situ terdapat kata ‘wajib.’ Jadi kalo pengusaha tidak melakukan kewajiban itu atau tidak menepati kesepakatan yang telah dibuat dengan pihak pekerja, maka pengusaha dapat diberikan sanksi.