ALASAN HUKUM TAJAM KE BAWAH DAN TUMPUL KE ATAS

Sejak saya terdaftar sebagai mahasiswa hukum, saya sudah kenyang mendengar pepatah ini, “Hukum di Indonesia itu gak adil, karena tumpul ke atas dan tajam ke bawah.” Belum lama ini, istilah tersebut dilontarkan oleh salah seorang kawan saya gara-gara disahkannya UU Cipta Kerja, undang-undang yang jumlah halamannya sampai hari ini masih simpang siur karena ada beberapa versi.

Apabila kamu berminat dan yakin dengan kemampuan dan keberuntungan kamu, mungkin angka dari beberapa versi jumlah halaman tersebut bisa kamu jadikan sebagai prediksi angka untuk bertaruh dalam judi togel. Ingat, risiko ditanggung sendiri, termasuk risiko berurusan dengan pihak kepolisian.

Oke, lanjut. Saat itu, sembari bermain game, kawan saya mengeluh mengenai isu tentang UU Cipta Kerja. Intinya dia menganggap UU Cipta Kerja membuat hukum makin terasa mengancam pekerja dan menguntungkan pengusaha. Setelah itu, dia berujar bahwa hukum hanya menguntungkan orang berduit dan menyusahkan orang-orang yang tidak kuat secara finansial.

Ingin rasanya saya membantah, mengingat saya mengenal beberapa advokat yang saya yakini mempunyai idealisme dan rela membantu orang-orang yang tidak mampu ketika berhadapan dengan hukum. Toh, di pengadilan juga disediakan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) untuk mereka yang membutuhkan.

Akan tetapi bantahan itu saya batalkan. Saya memahami bahwa pendapat itu tidak datang dengan sendirinya dan saya akan mencoba menjelaskannya.

Teori Sistem Hukum

Lawrence M. Friedman, ahli hukum berkebangsaan Amerika Serikat menyatakan bahwa penegakan hukum tergantung kepada tiga bagian dari sistem hukum, yaitu: legal substance (isi hukum), legal structure (struktur hukum) dan legal culture (budaya hukum). Secara singkat, legal substance terkait dengan norma dan aturan yang ada di masyarakat. Norma dan aturan tersebut tidak harus tertulis, tetapi juga bisa merupakan norma maupun aturan tidak tertulis yang masih hidup di tengah masyarakat kita.

Adapun legal structure terkait dengan keberadaan dan kewenangan institusi-institusi yang menegakkan hukum. Institusi penegakan hukum di sini tidak melulu bicara soal aparat penegak hukum, tetapi bisa sesederhana lembaga administrasi yang terdapat dalam berbagai lembaga yang ada. Sedangkan legal culture terkait dengan sikap dan nilai-nilai yang terkait dengan tingkah laku bersama yang berhubungan dengan hukum dan lembaga-lembaganya.

BACA JUGA: 3 TEORI PIDANA YANG HARUS KAMU TAHU

Baik legal substance, legal structure maupun legal culture tidak dapat berdiri sendiri-sendiri. Sama seperti jargon kawan saya yang sempat berkarier sebagai desainer logo sebelum memutuskan jadi PNS, “Mau cepat dan bagus jangan minta murah, mau bagus dan murah jangan minta cepat, mau cepat dan murah jangan minta bagus,” begitulah cara kerja ketiga bagian sistem hukum tersebut. Ketiganya harus berjalan beriringan sehingga penegakan hukum menjadi optimal.

Yang Terjadi di Indonesia?

Bagaimana dengan yang terjadi di Indonesia? Ya ampun, rasanya cukup berat bagi saya untuk mengetiknya. Akan tetapi, saya sepakat apabila dari segi legal substancce, legal structure maupun legal culture semuanya masih harus diperbaiki. Toh, masih banyak yang ambyar dari ketiga bagian sistem hukum tersebut. Mari kita bahas contohnya satu per satu.

Dari segi legal substance, mungkin kamu ingat dengan kasus seorang nenek yang berhadapan dengan hukum karena dilaporkan mencuri kayu jati? Baiklah, nenek tersebut dinyatakan bersalah oleh majelis hakim. Akan tetapi, apakah majelis hakim tidak memiliki pilihan lain selain mengirim nenek tersebut ke penjara?

Kalau pertanyaannya seperti itu, maka jawabannya adalah tidak. Hal ini disebabkan karena terbatasnya opsi untuk menjatuhi pidana berdasar Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang hanya memungkinkan hakim untuk menjatuhi pidana berupa pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda maupun pidana tutupan, tergantung ancaman pidana dari pasal yang dilanggar. Terbatasnya opsi membuat hakim tidak memiliki pilihan alternatif lainnya.

Dari segi legal structure, anda bisa melihat contohnya pada revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang disahkan tahun lalu, dimana revisi UU KPK itu justru dianggap banyak pihak melemahkan lembaga antirasuah tersebut. Ya gimana? Keberadaan KPK yang sebelumnya dianggap sebagai lembaga independen, justru diubah menjadi lembaga negara dalam rumpun eksekutif.

BACA JUGA: SEMUA MASYARAKAT DIANGGAP TAHU HUKUM, KOK BISA ?

Secara politis, perubahan dari lembaga independen menjadi bagian dari eksekutif tersebut justru memengaruhi independensi KPK dalam menegakkan hukum. Bisa tidak kebagian kue APBN kalau sampai macam-macam sama eksekutif. Kalau sudah begitu, apa ya KPK terus berani memberantas korupsi di ranah eksekutif? Yang ada ketuanya malah minta mobil dinas, tuh.

Terakhir, terkait legal culture. Kita saat ini disuguhi intrik penyusunan UU Cipta Kerja yang serampangan karena tidak sesuai dengan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mulai dari bentuk UU Cipta Kerja yang tidak sesuai dengan Lampiran II sampai dengan draf UU Cipta Kerja, sampai dengan perubahan jumlah halaman berkali-kali meski sudah disahkan di sidang paripurna. Padahal, seharusnya tidak boleh lagi ada perubahan begitu suatu UU disahkan di sidang paripurna.

Ironisnya adalah yang melakukan hal tersebut justru DPR, yang notabene merupakan penyusun undang-undang. Apabila penyusun undang-undang saja tidak mematuhi peraturan yang mereka susun sendiri, apa kabar masyarakat biasa yang bahkan tidak memahami hukum? Maka jangan heran apabila masih banyak masyarakat dan oknum polisi yang menjalankan praktek ‘damai di tempat,’ lha wong penyusun undang-undangnya saja menjalani laku tidak konsisten terhadap undang-undang semacam itu. Anggap saja hal itu merupakan pembangkangan sipil terhadap pembuat undang-undang.

Pada akhirnya, masih banyak yang harus diperbaiki dari segi legal substance, legal structure maupun legal culture untuk penegakan hukum yang lebih baik. Akan tetapi, hal itu butuh kerjasama dari semua pihak, bukan hanya kerjaan orang yang dianggap ngerti di bidang hukum saja.

Cuma ya itu, lebih enak menyalahkan situasi dari pada memperbaiki keadaan, kan? Huh, dasar, hukum itu tajam ke bawah tumpul ke atas!

Mahendra Wirasakti
Mahendra Wirasakti
Pendiri Marhenisme

MEDSOS

ARTIKEL TERKAIT

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

DARI KATEGORI

Klikhukum.id