Bagaimana nasib kebebasan berpendapat jika pihak penguasa menyetop kritik dengan judicial harassment, alih-alih ingin menciptakan ruang demokrasi yang sehat namun acap kali suara kritik pedas selalu diancam dengan laporan pidana.
Sebelum menulis artikel ini, jujurly saya rodo rundag pren.
Kerundagan pertama soal tema yang sejatinya tepi jurang banget. Soalnya jika saya ngomong soal judicial harassment nanti dianggap saya memusuhi pemerintah dan mendukung oposisi yang hobinya mengkritik.
Kerundagan kedua masih soal tema judicial harassment sendiri yang faktanya masih kurang familiar di Indonesia, berbeda dengan judicial review. Walaupun sama-sama memakai kata judicial di awal kata, tapi rupanya makna yang pengertiannya jauh berbeda.
Sesuai makna paragraf ketiga di atas, jika ngomongin soal judicial harassment nanti ujungnya akan membahas soal ruang aktivis, kegiatan mengkritik dan demonstrasi serta juga bisa membahas tentang issue HAM.
Kan kita tau sendiri, jika sudah ngomongin kritik apalagi yang disasar penguasa pasti dianggap kadrun lah, sobat gurun atau bahkan kampret. Tapi tak apalah, soalnya demokrasi yang sejati itu, yang selalu menciptakan argumentasi hukum yang berbeda dan berwarna.
Memaknai Judicial Harassment
Sekarang masuk ke pembahasan inti ya pren. Tentang memaknai apa itu judicial Harassment. Meminjam pengertian dari Eryanto Nugroho yang ditulis pada jentera.ac.id. Pengertian dari judicial harassment yaitu:
“penyalahgunaan proses hukum, dengan melakukan intimidasi dan pembungkaman kritik yang disuarakan aktivis, jurnalis atau elemen warga lainnya, melalui jalur hukum.”
Makanya sangat pas, ketika saya menulis judul menyetop kritik dengan Judicial Harassment. Soalnya si judicial harassment ini memang kerap dilakukan oleh penguasa untuk membungkam para pengkritik.
Apalagi jika menurut KBBI online, makna kritik sendiri yaitu:
“Kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat dan sebagainya.”
Karena mungkin ada kata kecaman itu, jadi ketika pemerintah yang sedang berkuasa dikritik atas kebijakan yang dijalankan oleh warganya, kerap kali kebaberan itu berujung pada tindakan melaporkan si pengkritik tersebut ke jalur hukum.
Jika tiap kali mengkritik dianggap sebagai kecaman dan ujungnya melaporkan si pengkritik tersebut sebagai suatu perbuatan hukum. Saya yakin empat atau lima tahun ke depan orang-orang jadi malas dengan pemerintah.
Soalnya begini, kalau mengkritik saja ujungnya dilaporkan, lebih baik diamlah dan kediaman itu sejatinya merupakan puncak ketidakpedulian seseorang atas suatu tindakan atau kebijakan konteks, dalam hal ini yaitu pemerintah.
Emang, pemerintah kita sejahat itu?
Hmm … ya gak tahu juga yah. Buktinya ada kok, kasus-kasus para aktivis yang ditangkap gara-gara gemar mengkritik tentang kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Eits, tapi ini bukan pemerintah Indonesia loh yah.
Pemerintah Indonesia baik-baik kok, sumpah baik. Kebijakannya pun sangat demokratis bahkan mensejahterakan rakyatnya. Buktinya tiap kali mengeluarkan kebijakan selalu disambut meriah sama rakyatnya.
Bahkan saking meriahnya contohnya issue RUU KUHP kemarin, banyak rakyat, mahasiswa serta seluruh aktivis lintas kalangan mengadakan karnaval di titik-titik tertentu. Walaupun ada acara bakar-bakaran ban rokok, tapi itu kan untuk pertunjukan visual karnaval semata.
Contoh Praktek Judicial Harassment
Terus, kira-kira ada gak, contoh judicial harassment dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia.
Ya jelas ada dong, masa gak ada sih. Kan Indonesia pren ….
Contoh adanya dugaan penerapan Judicial Harassment ini bisa dibaca artikelnya kontras. Silakan kalian buka lengkapnya melalui kontras.org dengan judul:
“Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti Dilaporkan Luhut Binsar Panjaitan, Ancaman Serius Terhadap Demokrasi dan Kerja-Kerja Pembela Hak Asasi Manusia,” tayang pada 23 September 2021.
Melalui artikel kontras tersebut terdapat kalimat yang sesungguhnya saya agak gemetar mengetik ulangnya, karena bahasanya begini:
“Bahwa upaya pelaporan pidana atau gugatan perdata yang dilakukan Luhut Binsar Pandjaitan dapat diartikan sebagai Judicial Harassment sebab tidak etis bagi pejabat publik untuk menuntut pidana atau bahkan menggugat secara perdata kepada seorang warga negaranya. Upaya tersebut menunjukkan bahwa pemerintah anti kritik dan mengingkari komitmen Pemerintah dalam menjamin kebebasan berpendapat”.
Tuhkan kalian tahu sendiri, siapa coba yang gak gemeter menulis ulang nama di atas yang saya langsir dari kontras.org.
Tapi sekali lagi itukan pandangan kontras, yang notabene sepak terjang kontras dalam issue Advokasi HAM sangatlah bagus.
Daripada Saya nambah ngelantur bahas soal Judicial Harassment mending tak cukupkan sampai disini dulu aja lah.
Pointnya memaknai judicial harassment adalah praktek penyalahgunaan hukum yang dilakukan oleh Pemerintah untuk membungkam kritik yang dilakukan oleh masyarakatnya. Namun disini bukan Pemerintah Indonesia ya, tapi pemerintah di Wakandislavkia sana pren.
Sekian dan saya mau beli bakso dulu. Terima kasih…..