Selama ini sering kita dengar orang-orang selalu berebut harta warisan, bahkan gara-gara warisan hubungan keluarga bisa amburadul. Tapi kalau nggak ada ahli waris gimana dong?
Kayak di Jepang contohnya, banyak rumah kosong (akiya). Salah satu penyebabnya, karena turunnya populasi yang berakibat nggak ada ahli waris dari orang yang meninggal. Mengutip dari berbagai sumber di Jepang, pemerintah bisa mengambil alih rumah kosong untuk dijual. Nah, gimana kalau di Indonesia?
Untuk menjawab pertanyaan soal harta warisan ini, kita harus menelusuri dasar hukum hukum waris yang ada. Indonesia sendiri ada dua pengaturan hukum waris, yaitu hukum perdata dan hukum Islam.
Tapi jangan pusing dulu, kita nggak bakal membedah hukum waris sampai ke akar-akarnya, kita cuma butuh jawaban ke mana perginya harta warisan kalo nggak ada ahli waris?
Oke, kita bahas dulu dari sudut pandang hukum perdata nih, waris sendiri diatur dalam KUHPer tepatnya di Buku II tentang Benda.
Pasal 830 KUHPer menjelaskan kalau Pewarisan hanya terjadi karena kematian. Kata kuncinya adanya kematian ya, jadi salah kaprah banget nih, orang-orang yang rebutan warisan saat pewaris masih hidup. Jadi kayak mendoakan si pewaris cepet mati ya.
BACA JUGA: KENALI HAK WARISMU
Terus kalau kita membaca lebih jauh lagi, di Pasal 1126 KUHPer ada ketentuan, “Bila pada waktu terbukanya warisan tidak ada orang yang muncul menuntut haknya atas warisan atau bila ahli waris yang dikenal menolak warisan itu, maka harta peninggalan dianggap tidak terurus.”
Inti dari pasal harta warisan yang nggak ada ahli warisnya dianggap tidak terurus. Tapi pembahasan kita nggak selesai di sini nih, karena adanya predikat benda tidak terurus masa dibiarin gitu aja.
Nah, jawabannya ada di Pasal 1127 KUHPer yang menjelaskan kalau, “Balai Harta Peninggalan, menurut hukum wajib mengurus setiap harta peninggalan tak terurus yang terbuka dalam daerahnya, tanpa memperhatikan apakah harta itu cukup atau tidak melunasi utang pewarisnya.”
Done ya, nggak ada perdebatan lagi masalah ini, karena jelas banget muatan pasal itu menyebutkan Balai Harta Peninggalan (BHP). Sebenernya BHP ini nggak hanya mengurusi harta warisan yang tidak terurus, tapi ada fungsi lain seperti termuat dalam Pasal 3 Kepmen Kehakiman M.01/1980, kayak Pembukuan dan Pendaftaran surat Wasiat ataupun masalah kepailitan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
Bersumber dari website Kemenkumham, saat ini BHP baru ada di lima kota. Yaitu, Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan dan Makassar. Jadi nggak semua kota ada BHP, untuk kota yang tidak ada mengikuti wilayah kerja dari BHP yang ada.
BACA JUGA: PERBEDAAN KASUS PERDATA DAN PIDANA
Nantinya BHP akan mengurus harta warisan yang terlantar dengan cara menjual harta tersebut dan melaporkan hasil penjualan kepada Menteri Hukum dan HAM. Uang Hasil penjualannya akan disimpan dalam rekening UPK BHP selama 30 tahun. Kalau sampai 30 tahun nggak ada ahli waris yang klaim uang itu, maka BHP akan meminta penetapan pengadilan negeri untuk dinyatakan menjadi milik negara.
Nggak jauh beda dengan hukum perdata, hukum Islam juga punya cara sendiri untuk menangani harta warisan yang tidak ada ahli warisnya.
Ketentuan itu termuat dalam Pasal 191 kompilasi hukum Islam yang menjelaskan, “Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan pengadilan agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Mal untuk kepentingan Agama Islam dan kesejahteraan umum.” Nah, jadi perbedaan hukum Islam dengan hukum perdata terdapat pada lembaga yang menangani dan penggunaan harta warisannya.
Pemilihan hukum yang dipakai untuk pengelolaan harta warisan disesuaikan juga dengan pewaris yang meninggal ya, nggak mungkin juga kan orang non Islam harta warisannya diserahkan ke Baitul Mal. Kan nggak nyambung.
Oke guys, jadi sudah nggak bingung lagi kan, kemana harta warisan kalau nggak ada ahli warisnya.