Asumsiku menerka, kenapa akhir-akhir ini bermunculan aparat yang menghapus mural-mural di sudut kota? Jawabannya selain aparat menganggap mural itu bernada provokatif, kemungkinan lainnya karena mural saat ini bukan kategori objek pajak, beda dengan reklame, yang menjadi objek pajak. Jujur ya, saya pribadi secara artistik lebih suka mural daripada reklame.
Analisa gembelku menyebutkan, indikator suatu wilayah memiliki nilai seni visual yang estetik, salah satunya ketika sudut kotanya dipenuhi mural. Selain cukup menggelitik isi yang ditampilkan, mural juga mensyaratkan bahwa seniman di wilayah tersebut tetep produktif dalam hal seni menguas dinding wilayah itu.
Tapi akhir-akhir ini nasib naas nampaknya sedang menyelimuti para seniman mural, pasalnya banyak mural yang menghiasi bilangan kota di Indonesia dihapus oleh aparat, khususnya yang dianggap memuat tema provokatif. Lha, padahalkan mural hanya sebatas gambar dalam mata orang awam, bukan suatu ideologi yang berbahaya dan dapat membelokkan arah gerak bangsa. Tapi aparat rajin betul ya, menghapusnya?
Sama-sama sebuah seni visual, nasib mural jauh berbeda dengan reklame.
BACA JUGA: TUHAN, KAMI DIBURU APARAT
Mural terus diburu dan dihapus, di sisi lainnya reklame tetap gagah terpampang dan jumlahnya berlipat ganda. Apalagi reklame politik yang pesannya tentang bersayap itu.
Tapi melihat situasi negara saat ini, nampaknya dapat diamini, kenapa mural sekarang diburu. Asumsiku jelas, karena mural itu tidak dikenai pajak, berbeda dengan reklame. Doi perhari pajaknya dihitung menjadi pendapatan daerah, jadi sangat wajar kehadiran reklame mendapat perlindungan hukum.
Kota Yogyakarta, mempunyai aturan hukum yang mengatur tentang reklame. Yaitu melalui Perda No. 2 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Reklame. Nah, perda inilah yang menjadi alasan hukum kenapa reklame itu diperbolehkan, berbeda dengan mural.
Sekedar informasi tentang presentase bea pajak reklame yang wajib dibayarkan untuk kas daerah terkhusus Yogyakarta, jika merujuk pada Perda No. 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Perda No. 1 Tahun 2021 Tentang Pajak Daerah, Pasal 36 menyebutkan tarif pajak ditetapkan sebesar 25% atas Nilai Sewa Reklame.
Tentunya nilai sewa reklame itu dinamis ya pren, tergantung tata letak dimana reklame itu dipasang. Artinya jika tempat itu strategis, misalnya jalan protokol utama Kota Yogyakarta, pasti nilainya jauh lebih tinggi daripada reklame yang ada di jalan yang tidak strategis di kota Yogyakarta.
Jadi sudah pasti, karena reklame memiliki nilai ekonomis untuk pembangunan daerah, ketika didirikan dengan benar, sesuai aturan hukum dan memuat pesan yang positif, serta tidak melanggar aturan hukum, ya pasti aman-aman saja tidak akan dirobohkan atau dihapus.
Walaupun faktanya kalo melihat reklame pasti isinya gitu-gitu saja. Seputar iklan produk dan jasa, iklan event, mentok-mentoknya reklame digunakan sebagai alat kampanye partai politik. Berbeda jauh dengan mural, yang dibuat berdasarkan sentuhan kebudayaan dan kesenian di dalamnya. Jadi selera pribadiku, jelas lebih suka mural.
Terus bagaimana caranya supaya mural tidak dihapus lagi, apa kudu bayar pajak ke daerah juga, selayaknya reklame?
Duh, jika mural dipaksakan untuk membayar pajak, nampaknya negara ini kebangetan banget. Setahu saya mural ini bagian dari kesenian movement, yang mana ketika membuatnya pake iuran kolektif para senimannya. Kecuali jika mural itu memang untuk kepentingan komersil. Sabilah, dipajakin.
Lah, mural kok komersil? Kenapa gak pake reklame, iya bener juga ya. Jika mural dibuat untuk kepentingan komersil, apa bedanya dengan reklame.
BACA JUGA: PEMERINTAH TIDAK PERLU DIKRITIK, TAPI PERLU BERKACA SAJA
Yang membedakan hanya medianya, jika esensinya sih sama. Hehehe.
Tapi sejauh ini pemerintah juga gak punya legalitas terkait pajak untuk mural. Dan lagian masa iya, biar gak dihapus mural kudu dipajakin? Itu sih, kebangetan.
Masa iya, mural mau disamakan dengan reklame, aturan hukumnya juga tidak memperbolehkan loh. Terkhusus pada Perda Kota Yogyakarta No. 2 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Reklame, Pasal 6 Ayat (1) huruf h melarang reklame diselenggarakan dalam bentuk wall painting.
Nah, arti wall painting itu sendiri kan seni menggambar di dinding. Sedangkan mural medianya menggunakan dinding, selain mural ada juga grafity yang menggunakan dinding juga. Jadi sudah terjawab, secara dasar hukum memang reklame dan mural itu berbeda serta si pembuat peraturan pun gak rela jika mural disamakan dengan reklame.
Ya jelas gak rela dong, reklame kan bayar pajak. Hehehehe.
Cuma jujur aja, saya sangat miris membaca berita mural bertuliskan ‘dibungkam’ di bawah Jembatan Kewek di Kota Yogyakarta dihapus oleh aparat satpol PP setempat. Pasalnya Jembatan Kewek memang terkenal menjadi tempat mural bagi street art kota gudeg ini. Namun setelah ada aksi mural dihapus di berbagai kota, Yogyakarta pun terkena dampaknya.
Sebenarnya motif utama mural itu dihapus karena pesannya dianggap provokatif atau karena mural gak bisa dikenai pajak kayak reklame ya pren. Takutnya nih, setelah ramai berita mural dihapus, kemudian pemerintah mengeluarkan peraturan tentang mural diperbolehkan, asalkan bayar pajak. Kan biasanya gitu ….