Ini adalah tahun ke-14 aku berkecimpung di dunia advokat. Susah, seneng, bosen, sudah aku lewati berkali-kali. Banyak senengnya sih, meskipun beberapa tahun belakangan udah jarang sidang dan beracara di pengadilan, tapi itu cuma soal pilihan.
Menurutku 14 tahun emang bukan waktu yang lama, bukan waktu yang sebentar pula. Banyak pengalaman dan pelajaran yang aku dapatkan selama ini. Tiga tahun pertama jadi advokat, aku suka kepikiran dan baper dengan perkara-perkara yang aku dampingi. Kadang aku suka gak bisa tidur mikirin gimana nasib keluarga, anak dan istrinya kalo klienku ditahan dan dipenjara. Aku suka kepikiran gimana perasaan klienku, ketika mereka mendapatkan vonis dipenjara bertahun-tahun.
Perkara pertamaku itu kasus pembunuhan berencana. Klienku dituntut 20 tahun penjara, tapi divonis 11 tahun. Waktu itu entah terinspirasi dari film atau gimana, meskipun klienku mengakui membunuh korbannya, tapi aku ngerasa ada yang janggal dan berpikiran bahwa dia bukan pembunuhnya. Ah, tapi sudahlah, film kan beda dengan kenyataan, hahaha.
Di awal-awal praktek jadi advokat, alhamdulilah aku dapat klien yang luar biasa. Bahkan sampai sekarang mereka masih percaya dan selalu menghubungiku jika ada masalah. Soal bayaran, aku juga termasuk orang yang beruntung, karena selalu mendapat klien-klien yang royal dan loyal. Gak semua advokat seberuntung aku. Beberapa rekan advokat yang aku kenal sering di PHP, diboongin, bahkan ditipu sama kliennya. Ntah, kliennya yang jahatnya kebangetan atau temenku yang begonya gak ketolongan. Hahahahahaha.
Sedikit bercerita, di tahun 2016 temanku dapat klien seorang dosen yang kariernya moncer banget. Perkara perdata sengketa tanah gitu. Setelah sidang berbulan-bulan, akhirnya temanku memenangkan kasus itu. Nah, kliennya ini gak tau diri banget. Si klien gak mau membayar uang sepeser pun, boro-boro bayar lawyer fee, sekedar uang bensin pun gak pernah ngasih. Ketika perkaranya selesai, ngucapin terima kasih juga nggak. Malah kontak WA temenku auto diblokir setelah temenku kirim invoice lewat WA. Tragis, hahaha.
BACA JUGA: 5 PERBEDAAN KANTOR ADVOKAT DAN LBH
Cerita dan kasus seperti itu banyak dialami oleh rekan-rekan advokat yang aku kenal. Jadi wajar aja kalo akhirnya ada advokat yang tegas banget soal fee dan pembiayaan, karena trauma kali. Takut ketemu klien-klien yang gak tau diri.
Kalo kita punya masalah hukum, sudah sepantasnya kita siap merogoh kocek untuk membiayai perkara yang sedang kita alami. Sama kaya pas kita lagi sakit, kalo periksa ke dokter ya kita harus mau bayar jasa dokter dan menebus obat.
Profesi advokat itu sama aja kaya profesi lainnya. Advokat juga bekerja untuk mendapatkan penghasilan. Harusnya advokat itu dibayar dengan mahal, karena pekerjaannya luar biasa. Aku punya beberapa alasan kenapa advokat harus dibayar mahal.
Pertama
Biaya pendidikan untuk menjadi advokat itu besar. Seorang advokat harus sarjana hukum. Kebayang kan berapa biaya yang dibutuhkan untuk kuliah setidaknya 3,5 tahun di fakultas hukum. Orang tua harus mengeluarkan biaya pendidikan, biaya kos, makan, tugas dan biaya lain-lain. Setelah itu, calon advokat harus ikut Pendidikan Khusus Advokat (PKPA) yang biayanya aduhai. Setelah PKPA baru deh, ikut Ujian Profesi Advokat dan lagi-lagi ada biayanya. Itu juga kalo lulus sekali, kalo gak lulus ya ngulang lagi dan bayar lagi. Dulu temenku, sebut saja Mawar baru lulus setelah 4x ujian.
Kalo udah lulus UPA, petualangan dilanjutkan dengan magang dua tahun di kantor advokat. Nah, dalam proses magang ini, setiap calon advokat harus wani perih dan bersedia gak mendapatkan bayaran. Emang sih, ada beberapa kantor advokat yang menyediakan bayaran atau insentif untuk anak magangnya, tapi gak semua. Setelah magang dua tahun, baru deh bisa dilantik dan disumpah jadi advokat. Nah, ini berbayar juga. Bayar lagi, lagi dan lagi. Banyak kan modal untuk jadi advokat, jadi wajar dong kalo advokat memberikan tarif untuk layanan jasa yang diberikan.
Kedua
Untuk menjadi advokat dibutuhkan proses dan waktu yang cukup panjang. Kayak yang aku jelaskan sebelumnya, jadi advokat itu butuh waktu dan gak instan. Setidaknya 3,5 tahun untuk kuliah di fakultas hukum, dua bulanan buat PKPA, lalu magang dua tahun. Belum lagi nunggu jadwal UPA dan jadwal penyumpahan yang gak pasti.
BACA JUGA: MAKNA PLEDOI BAGI ADVOKAT
Ketiga
Harus selalu update ilmu dan aturan hukum. Jangan coba-coba jadi advokat kalo kira-kira otaknya lemot. Kalo mau jadi advokat harus serba bisa, multitasking, serba tau dan wajib selalu update tentang apapun. Si advokat gak bakal pernah tau klien yang datang nanti mau konseling dan butuh pendampingan hukum tentang apa. Hukum itu luas dan banyak banget aturannya. Gak lucu kan pas klien mau konseling tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, tapi advokatnya gak paham. Jadi advokat itu kudu banget belajar dari waktu ke waktu dan berani mencoba semua hal.
Keempat
Jam kerja tidak pasti. Jadi advokat harus siap kerja 24 jam, tujuh hari seminggu. Advokat gak pernah tau kapan kliennya akan menghubungi. Boleh percaya boleh nggak, jadi advokat itu harus siap mendampingi klien pagi, siang, sore malam bahkan dini hari sekalipun untuk BAP misalnya. Advokat juga harus rela waktu weekend dan hari libur dipakai untuk bekerja. Jadi advokat juga harus mau menunggu. Menunggu sidang berjam-jam dan menghabiskan waktu dengan duduk sambil antri ruang sidang. Kadang nunggunya empat jam, eh sidangnya lima menit doang.
Kelima
Berdedikasi untuk kepentingan klien. Jadi advokat itu harus berdedikasi. Advokat harus siap mendengarkan keluhan klien dari a sampai z. Namanya juga orang lagi ada masalah, wajar aja kalo pengen cerita terus. Advokat juga harus punya seribu solusi untuk permasalahan klien, karena klien butuh solusi untuk menyelesaikan permasalahannya.
Nah, kira-kira itulah suka duka jadi advokat. Jadi wajar dong, kalo advokat dibayar dan dihargai hasil kerjanya. Mahal-murah itu relatif banget, tapi yang jelas mohon pengertian kakak-kakak klien untuk menghargai kerja keras advokat dengan membayar jasa advokat. Sepakat kan?