Halo, kru redaksi klikhukum.id. Saya mau tanya, jika anak di bawah umur ingin diasuh oleh ayahnya, apa saja persyaratannya? Tolong penjelasannya ya, terima kasih.
Jawaban:
Halo juga sahabat setia pembaca klikhukum.id di mana pun berada. Sebelumnya syukron atas pertanyaannya. Kami coba untuk menjawab pertanyaan kamu ya.
Sebelum membahas lebih jauh mengenai hak asuh pasca perceraian, ada baiknya kalian pahami dulu apa yang dimaksud dengan hak asuh anak. Dalam agama Islam, hak asuh anak disebut dengan istilah hadhanah. Hadhanah ini maknanya adalah merawat, mengasuh dan memelihara anak.
Terkait hukum yang berlaku atas pembagian hak asuh, hadhanah dipahami sebagai upaya merawat, mengasuh dan memelihara anak yang umurnya kurang dari 12 tahun. Pada rentang usia yang disebutkan tersebut, diketahui bahwasannya anak belum mampu membedakan dan memilih dengan tepat, mana hal baik dan buruk dalam hidupnya. Maka dari itu, anak butuh orang dewasa untuk mengasuhnya guna menghindari si anak dari pola pendidikan yang keliru.
Baik ayah ataupun ibu memiliki hak asuh atas anaknya, baik saat masih terikat dalam ikatan perkawinan ataupun setelah bercerai. Kedua orang tua sama-sama mempunyai kewajiban untuk mengasuh, memelihara dan mendidik anak meskipun sudah terjadi perceraian di antara suami dan isteri. Pernyataan ini juga mengacu pada hak anak untuk tak dipisahkan oleh karena sebab apapun dari orang tuanya, yang tertuang dalam Konvensi Hak Anak Internasional.
Namun demikian, adakalanya keinginan orang tua untuk selalu bersama dengan anak tercinta menimbulkan permasalahan baru bagi pasangan yang sudah bercerai. Untuk anak yang berusia di bawah 12 tahun, pengadilan biasanya memutuskan hak asuh anak jatuh pada ibunya. Dasarnya adalah Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yang mengatakan anak yang belum berusia 12 tahun adalah hak ibunya.
Dalam undang-undang tidak menjelaskan secara rinci tentang persyaratan agar ayah bisa mendapatkan hak asuh anak.
Ada yurisprudensi yang menjadi dasar diberikannya hak asuh anak di bawah umur pada ayahnya, yaitu Putusan Mahkamah Agung RI No.102 K/Sip/1973. Putusan ini di antaranya menyatakan bahwa perwalian anak akan jatuh ke ibu, kecuali jika terbukti bahwa ibu tersebut tak wajar dalam memelihara anaknya.
Dalam praktek hukum, terdapat banyak kasus dimana seorang ayah mendapatkan hak asuh anak. Artinya, hakim dapat mengesampingkan Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam tersebut. Namun, putusan-putusan tersebut sangat jarang terjadi, sebab memerlukan alasan-alasan yang rasional dan objektif sehingga hakim dapat mempertimbangkannya.
Alasan-alasan yang dapat mengesampingkan ketentuan Pasal 105 Kompilasi hukum Islam adalah sebagai berikut.
Ibu memiliki perilaku yang buruk.
Jika dalam persidangan terbukti bahwa ibu memiliki perilaku yang buruk, maka hak asuh bisa diberikan kepada si ayah. Perilaku yang buruk ini misalnya kerap berjudi, mabuk-mabukkan, berbuat kasar pada anak, memakai narkotika, berzina, mencuri, keluar malam tanpa seijin suami serta tidak berbakti lahir dan batin kepada suami yang mana perilaku tersebut sukar disembuhkan. Perilaku seperti ini tentu tidak memberikan contoh baik pada anak, serta bisa melukai si anak.
Ibu masuk ke dalam penjara.
Jika si ibu melakukan pelanggaran hukum dan harus dipenjara, maka ayah bisa mendapatkan hak asuh atas anaknya yang masih berusia di bawah 12 tahun. Pemberian hak asuh ini tentu disadari atas situasi, karena si ibu tak bisa memelihara anaknya.
Ibu dalam keadaan tidak normal (gila / tidak waras).
Ibu yang tidak waras tak bisa menjamin keselamatan jasmani dan rohani anaknya, hal ini juga bisa menjadi alasan hak asuh anak jatuh ke ayahnya. Bisa saja si ibu mengalami depresi yang mengakibatkan kondisi mentalnya jadi tak stabil, sehingga berisiko mengancam keselamatan anaknya.
Ibu meninggalkan anak dengan jangka waktu yang lama.
Jika dalam keseharian atau tidak diketahui jejak keberadaan ibunya selama satu tahun lebih secara berturut dikenakan sudah menelantarkan si anak, maka hal itu bisa membuat hak asuh anak jatuh ke ayahnya.
Alasan-alasan di atas, wajib dibuktikan secara objektif di pengadilan. Sebagai contoh, apabila seorang ibu dalam keadaan tidak normal (gila/tidak waras) maka harus dibuktikan dengan diagnosa dokter, atau apabila ibu tersebut positif narkoba, maka harus dibuktikan dengan pembuktian tertulis juga dari dokter. Apabila bukti yang dihadirkan lemah, maka kemungkinan hak asuh anak tetap berada pada ibunya.
Nah, itulah yang perlu diperhatikan dan buktikan di persidangan jika ingin mendapatkan hak asuh anak.
Begitu ya, penjelasan yang bisa kami berikan. Semoga dapat bermanfaat.