Halo admin Klikhukum.id, saya kepo dengan peristiwa di Jogja soal Ojol Vs DC. Nah, sebenarnya DC punya gak sih, kewenangan untuk menarik kendaraan leasing yang pembayarannya macet?
Jawaban :
Ternyata para pembaca setia klikhukum.id ini responnya cepet banget ya. Berita ini memang lagi viral di Jogja sih. Kejadian ini menimbulkan bermacam versi berita dan opini yang berkembang di tengah masyarakat Ngayogyokarto, semoga segera kembali nyaman lan mbetahi wahai kota pelajar ini.
Perihal kewenangan DC untuk menarik kendaraan yang mengalami kredit macet, sudah pernah kami ulas dalam artikel “DC MULAI REDUP”, yang intinya artikel tersebut mengkaji perihal Putusan Mahkamah Nomor. 18/PUU-XVII/2019.
Putusan MK tersebut memang menguatkan pihak konsumen atau debitur, jadi kalo debitur cidro janji dalam bahasa hukumnya, pihak penerima kuasa (fidusia) atau kreditur tidak serta merta memiliki hak kewenangan untuk langsung menarik kendaraan tersebut, harus melalui mekanisme peradilan yang ada.
Jika konteksnya si DC langsung main tarik kendaraan di jalan tanpa persetujuan pihak debitur, tindakan tersebut memang salah gaes, maka akan muncul peristiwa pidana perampasan. DC-nya bisa kena Pasal 368 Jo. 365 Ayat (2), (3), dan (4) KUHP.
Unsur perampasan yang terkandung dalam Pasal 368 Ayat (1) KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, atau supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.”
Konteksnya jelas ya gaes, fakta di lapangan memang dalam pengambilan kendaraan oleh DC selaku kuasa dari leasing terkadang menggunakan tindakan kekerasan, atas tindakan tersebut dugaan Pasal 368 Ayat (1) perampasan yang sering digunakan.
Mengapa dapat dikatakan perampasan, karena tindakan tersebut ilegal gaes. Pihak DC dan/atau leasing otomatis telah menyalahi aturan hukum yang ada. Kalo kredit kendaraan, debitur memang punya kewajiban untuk membayar cicilannya, namun pihak leasing juga harus menghormati aturan hukum yang ada.
Setidaknya pihak leasing tidak bisa lagi semena-mena dalam melakukan penarikan unit kendaraan, yang dikategorikan macet ato nunggak angsuran. Secara garis besar dalam pertimbangan hakim konstitusi mengatakan bahwa Pasal 15 (2) UU Fidusia memiliki persoalan konstitusional, karena kreditur (penerima fidusia) dapat langsung mengeksekusi obyek tanpa mekanisme eksekusi pengadilan, sehingga berpotensi menimbulkan tindakan sewenang-wenang, kurang manusiawi, yang seringkali disertai dengan kekerasan serta merendahkan harkat dan derajat debitur (pemberi fidusia). Hal ini yang terkandung dalam Putusan Mahkamah Nomor. 18/PUU-XVII/2019.
Jangan sampe lah yah, tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hukum terus dipertahankan. Mbokyao, ketika debitur wanprestasi penyelesaiannya baik-baik lah. Jika debitur memang membandel kan ada upaya hukum eksekusi atas obyek tersebut sebagaimana sudah diterapkan dalam pengadilan.
Semoga ke depan tidak ada lagi peristiwa saling baku hantam antara pihak DC dengan debitur (konsumen). Kalo pengen beli kendaraan, coba dipertimbangkan kembali, sekiranya gak sanggup membeli kendaraan baru, bisalah cari yang second.
Jadi gak usah puyeng mikirin cicilan, apalagi menghadapi DC, biar gak kebanyakan energi yang terbuang. Kurang lebihnya seperti itu yah gaes, perihal menjawab isu yang lagi viral di Jogja, harapannya segera saling evaluasi dan membawa kembali Jogja dengan damai.