Semakin dewasa kata-kata PHK dan pemecatan seolah menjadi kata-kata yang paling menakutkan, apalagi bagi pekerja formal yang biasa kerja di sebuah perkantoran atau pabrik, karena PHK massal lebih sering terjadi di sana. Kalau layoff? Ini juga sama saja, hanya dibuat lebih keren mengikuti trend jaman sekarang. Esensinya tetap sama, nganggur maning, nganggur maning.
Definisi Layoff
Layoff atau PHK menurut Pasal 1 Ayat 25 UU Ketenagakerjaan adalah pengakhiran hubungan kerja, karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha. Kalau Layoff massal sama saja dengan layoff biasa, bedanya hanya di skalanya. Artinya, banyak pekerja yang kena layoff secara bersamaan.
Terdapat perubahan fokus mengenai layoff di UU Cipta Kerja, sebelumnya layoff berdasarkan Pasal 151 UU Ketenagakerjaan harus melalui prosedur pengajuan penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan industrial. Sekarang pasal tersebut sudah berubah, pelaksanaan layoff didasarkan kesepakatan antara pekerja sedangkan pengusaha dan deadlock diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
BACA JUGA: CURKUM #152 MEMECAT ATASAN GALAK
Prosedur Layoff
Pasal 154A UU Cipta Kerja yang mengubah UU Ketenagakerjaan dijelaskan alasan atau keadaan dimana perusahaan dapat melakukan layoff, setidaknya ada 15 alasan yang bisa dipilih perusahaan untuk memecat pekerjanya. Banyak banget kan. Eh, nggak cuma itu doang alasannya, perusahaan dapat melakukan layoff berdasarkan ketentuan layoff yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Walaupun perusahaan memiliki 1001 cara untuk layoff pekerjanya, tapi nggak bisa sembarangan ya, harus ada prosedur yang ditaati. Contohnya kewajiban pemberitahuan, dalam Pasal 37 PP Nomor 35 tahun 2021 sebagai peraturan pelaksana UU Cipta Kerja menjelaskan, jika pengusaha harus menyampaikan surat pemberitahuan secara sah dan patuh ke pekerja atau buruh dan/atau serikat pekerja paling lama 14 hari kerja, sebelum layoff. Kalau layoff dilakukan saat masa percobaan, pemberitahuan disampaikan paling lama tujuh hari kerja sebelum layoff.
Jika merasa keberatan atas keputusan layoff, buatlah surat penolakan beserta alasannya paling lama tujuh hari kerja setelah menerima surat pemberitahuan.
Kewajiban Perusahaan Saat Layoff
Karena layoff bukan seperti perkara putus pacaran, yang habis putus kayak orang nggak kenal, jadi ada kewajiban yang harus dituntaskan kepada mantan (pekerja) yaitu memberikan kompensasi, seperti yang disebutkan dalam pasal 156 UU Cipta kerja yang mengubah UU Ketenagakerjaan.
BACA JUGA: UU CIPTA KERJA MENGHILANGKAN ‘NYAWA’ PP NO 16 TAHUN 2021
“Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.”
Nah, kalau mau tahu pengaturan rinci tentang uang pesangon, uang penghargaan dan uang pengganti hak, bisa dilihat dalam PP Nomor 35 tahun 2021.
Hati-hati bagi para pengusaha, ketentuan uang pesangon, uang penghargaan dan uang pengganti hak itu wajib. Kalau sampai nggak dipenuhi siap-siap deh, kena Pasal 185 UU Cipta Kerja yang mengubah UU Ketenagakerjaan, dengan ancaman pidana minimal 1 (satu) tahun penjara dan maksimal 4 (empat) tahun penjara. Nggak sampai di situ saja, ada juga ancaman denda paling sedikit 100 juta rupiah dan paling banyak 400 juta rupiah.
Amit-amit deh, kalaupun sampai terkena layoff, walaupun sedih dan stres jangan sampai lupa bahwa kita punya hak yang harus perusahaan berikan. Jadi tetap kawal sampai semua hak kita diberikan ya, semangat para pejuang rupiah.