Jika mendengar Pulau Buru, saya langsung teringat karya sastra fenomenal Pramoedya Ananta Toer yang ditulis pada saat menjalani pengasingan Tahanan Politik karena dituduh sebagai Simpatisan PKI dan kemudian dibuang ke Pulau Buru.
Sejarah membuktikan bahwa setiap bulan September menjadi waktu yang kelam bagi sebagian orang yang dianggap sebagai simpatisan atau kader Partai Komunis Indonesia.
Pasalnya selepas peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau lebih dikenal dengan sebutan G30S/PKI, gejolak keamanan, politik dan sosial yang terjadi di Indonesia, menjadikan hak hidup layak dan damai pun pudar seketika. Khususnya bagi mereka yang dituduh dekat atau masuk simpatisan Partai Komunis Indonesia.
Pemerintah menerapkan berbagai sanksi bagi orang-orang PKI yang dianggap bertanggung jawab atas Gerakan 30 September tentang kudeta terhadap militer yang mengakibatkan gugurnya enam jenderal serta satu orang perwira pertama militer Indonesia. Kemudian jenazahnya dimasukkan ke dalam suatu lubang sumur lama di area Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Saya tidak akan membahas mendalam tentang peristiwa G30S/PKI, karena nanti saya dituduh Komunis. Saya pun meyakini para pembaca klikhukum.id sudah hafal dan mengerti banget soal peristiwa yang berbau kekiri-kirian tanpa dijelaskan ulang.
Pada artikel ini saya akan membahas Pulau Buru dan fakta pengasingan para tahanan politik yang dihukum tanpa pembelaan, bahkan tanpa proses peradilan yang sah (ekstra yudisial).
BACA JUGA: PERINGATAN PEMBERONTAKAN G30S/PKI DAN ORGANISASI TERLARANG
Guna membabat habis para anggota atau simpatisan PKI, pemerintah melalui militernya kala itu membentuk Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), yang menurut Samuel Gultom dalam bukunya “Mengadili Korban: Praktek Pembenaran Terhadap Kekerasan Negara.”
Peran dari Kopkamtib yaitu mencari dan mengadili orang-orang eks PKI. Pada saat itu paling tidak ada enam golongan yang disematkan kepada eks PKI dengan penanda golongan menggunakan abjad.
Pembuangan ke Pulau Buru
Bagi mereka yang termasuk simpatisan dan ikut serta dalam keanggotaan PKI walaupun tidak melakukan aksi G30S/PKI, disebut sebagai golongan B oleh Kopkamtib. Penjelasan tentang golongan B sebagaimana yang dikaji oleh Samuel Gultom seperti berikut.
Mereka orang-orang yang telah disumpah atau menurut saksi telah menjadi anggota PKI atau pengurus organisasi masyarakat (ormas) yang seasas dengan PKI. Selain itu, mereka yang dinilai menghambat usaha penumpasan G.30.S/PKI juga masuk ke dalam golongan ini.
Imbas bagi mereka yang secara nyata masuk golongan B maka diasingkan atau dibuang ke Pulau Buru tanpa proses peradilan yang sah. Dan mereka disebut sebagai tahanan politik yang sikap dan ideologinya tidak sejalan dengan negara.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Tati Haryati, dalam jurnal ilmiah berjudul “Tahanan Politik Pulau Buru Maluku (1969-1979)” selain Pramoedya Ananta Toer, terdapat 10.000 orang Tapol dibuang ke pulau yang terletak di Maluku ini.
Tujuan diasingkannya 10.000 orang Tapol ini, kental dengan aroma perang dingin berupa pemusnahan, pembasmian dan/atau pembendungan perluasan pengaruh kekuatan politik komunis.
Sementara dari sisi yang lain tampak sebagai peristiwa yang berangkat dari ‘ketidaksudian’ sebagian warga Indonesia hidup bersama di Republik Indonesia dengan warga Indonesia yang menganut Ideologi berbeda dengan yang dianutnya sendiri.
Aturan Hukum tentang Tahanan Politik
Walaupun pada faktanya Tapol Angkatan 65 tidak pernah mendapatkan hak hukumnya untuk diadili secara hukum acara yang berlaku di Indonesia, namun aturan hukum tentang tahanan politik dapat ditafsirkan sebagai peristiwa makar.
Hal ini sebagaimana pendapat dari pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar, “Tahanan yang dijerat pasal makar adalah tahanan politik.”
BACA JUGA: ALASAN KENAPA PELAJARAN SEJARAH TIDAK BOLEH DI HAPUSKAN
Sedangkan konsep pasal yang mengatur tentang makar sendiri, dalam dimensi hukum pidana diatur melalui Pasal 104 KUHP tentang perbuatan makar terhadap presiden dan wakil presiden. Selain itu Pasal 106 KUHP tentang tindakan yang ingin memisahkan diri dari NKRI.
Selanjutnya juga diatur dalam Pasal 107 KUHP tentang menggulingkan pemerintah yang sah secara melawan hukum.
Namun nasib pengasingan yang diberlakukan terhadap Tapol Pulau Buru, tidak pernah didapatkan secara adil dan benar. Apalagi mereka dituduh telah melanggar tiga pasal yang dijelaskan di atas.
Memang kala itu masih kental dengan nuansa otoriter orde baru yang mengecap aksi kebrutalan peristiwa G30S/PKI yang bertanggung jawab adalah Partai Komunis Indonesia. Atas dasar itulah pemerintah menjadi ngawur dalam hal menyapu bersih mereka yang dituduh dekat atau menjadi anggota PKI.
Pulau Buru telah menjadi saksi 10.000 orang yang menjalani kehidupan baru dengan kesengsaraan dan ketidakjelasan nasib. Karena itulah saya pribadi melihat tidak adanya proses hukum yang baik dan benar terhadap mereka.
Terlepas dari problem dosa masa lalu pemerintah orde baru, saya patut mengapresiasi terkhusus kepada Bapak Pramoedya Ananta Toer. Berkat tetralogi Pulau Burunya, saya mengenal sastra yang sangat enak untuk dibaca.