Hola, gengs! Kalian pernah nggak sih, ngebayangin gimana caranya legislator bikin undang-undang? Apa kayak lirik lagunya Om Iwan Fals yang bilang, “Cuma tahu nyanyian lagu setuju?” atau ada pertimbangan -pertimbangan tertentu?
Nah, biar lebih paham, yok kita bahas sama-sama!
Sekilas
Bicara soal pembentukan undang-undang pasti banyak banget, langkah yang harus ditempuh mulai dari bikin naskah akademiknya, buat rancangannya, public hearing dan masih banyak lagi. Aku masih inget banget kata-kata dosenku, hal terpenting dari pembentukan undang-undang adalah memikirkan landasan pembentukannya. Simpelnya kalo kita mau ngelakuin sesuatu, pasti ada alasannya. Ya, nggak? Landasan pembentukan undang-undang itu ada tiga, yaitu landasan filosofis, yuridis dan juga sosiologis.
1. Landasan Filosofis
Pada dasarnya setiap UU harus punya core value yang selaras dengan nilai-nilai Pancasila dan tujuan negara. Contohnya, UU TNI dibuat karena filosofi “Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
BACA JUGA: KENAPA HUKUM KITA BANYAK DIPENGARUHI WARISAN BELANDA?
Kalo undang-undang nggak nyambung sama Pancasila dan tujuan negara, sama aja kayak pesawat yang terbang tapi tujuannya mau ke mana.
2. Landasan Sosiologis
“Law is a social engineer,” kata Roscoe Pound, ahli hukum legendaris. Artinya, undang-undang harus selaras dengan kondisi sosial di dalam masyarakat dan digunakan sebagai alat rekayasa sosial. Misalnya, undang-undang salah satu alasan ITE muncul, karena masalah cybercrime yang makin merajalela. Kalo pemerintah bikin undang-undang tanpa riset sosial, ibaratnya ngejar FYP, tapi nggak riset soal formulasi konten yang winning di masyarakat.
3. Landasan Yuridis
Ini nih, bagian paling technical. Yaitu, landasan yuridis. Landasan yuridis itu maksudnya, undang-undang harus punya ‘induk’ hukum yang jelas. Kalo kataku sih, “Setiap undang-undang harus punya dasar hukum di atasnya. Kalo nggak, itu illegal!” Contoh, Undang-undang Kekuasaan Kehakiman berinduk pada Pasal 24 UUD NRI 1945. Kalo nggak, bakal kena cancel sama Mahkamah Konstitusi, karena melanggar hierarki peraturan.
Meski tiga landasan ini wajib, realitanya masih banyak undang-undang yang ‘kebablasan.’ Contoh, UU Cipta Kerja yang dianggap ngegas filosofis dan sosiologis demi investor. Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, solusinya adalah partisipasi publik harus digenjot biar undang-undang nggak jadi monopoli elit politik.
Jadi, bikin undang-undang itu nggak bisa modal cangkem. Ingin bikin ini itu atau sekadar ngejar proyek. Bikin undang-undang itu butuh kajian yang jelas serta harmoni antara nilai Pancasila dan tujuan negara, realitas sosial dan aturan hukum yang jelas. Bagi kita-kita gen Z, yuk, mulai kritis sama produk hukum! Kalo nggak, kita cuma jadi penonton yang terus tanya, “Ini undang-undang dari mana sih? Kok, tiba-tiba ada. Padahal masyarakat nggak butuh-butuh banget.”


