homeEsaiREVISI UU TNI DAN RESISTENSI MASYARAKAT SIPIL, ORBA SEASON...

REVISI UU TNI DAN RESISTENSI MASYARAKAT SIPIL, ORBA SEASON 2?

Dalam beberapa hari terakhir, pembahasan revisi UU TNI menimbulkan penolakan yang sangat keras dari kelompok masyarakat sipil. 

Revisi terhadap UU TNI dianggap memberikan ruang yang lebih luas bagi para prajurit aktif untuk mengisi jabatan-jabatan sipil. Hal ini seperti yang pernah terjadi di masa Orde Baru yang disebut sebagai dwi-fungsi ABRI.

Jadi, dwi-fungsi ABRI merupakan konsep di mana tentara memiliki dua peran/fungsi, yakni sebagai alat pertahanan negara sekaligus alat kekuatan sosial-politik. Namun, kebijakan tersebut dihapus seiring dengan amanat reformasi 1998. 

Reformasi 1998 membawa tentara kembali ke barak dan fokus terhadap pertahanan negara.

Namun, setelah hampir 26 tahun reformasi, hantu dwi-fungsi kembali muncul. Mereka mencoba kembali membayang-bayangi kehidupan sipil. Kembalinya dwi-fungsi TNI sama menakutkannya seperti baliknya mantan toxic yang pernah menghilang, lalu datang secara tiba-tiba.

Bedanya, revisi UU TNI memang gencar digemakan dalam beberapa tahun terakhir ini. Oleh karena itu, penolakan publik terhadap Revisi UU TNI sangatlah beralasan. Setidaknya ada sejumlah permasalahan, baik dalam segi proses maupun segi isi.

Pembahasan RUU TNI yang dilakukan pemerintah dan DPR sangat tertutup. Misalnya, DPR dan pemerintah lebih memilih membahas RUU TNI di hotel mewah Jakarta di saat kebijakan efisiensi sedang digalakkan. Kemudian, tidak ada live streaming melalui Youtube DPR. Mungkin, para anggota dewan yang terhormat juga butuh healing kali, ya?

BACA JUGA: REVISI UU TNI, REFORMASI ATAU KEMBALI KE ZAMAN ORDE BARU?

Setelah itu, para anggota DPR menyanggah bahwa proses pembahasan RUU TNI tertutup. Kalau begitu, kenapa pembahasannya harus tertutup dan di hotel mewah pula? Biasanya di film-film, tokoh-tokoh jahat itu kalo mau merencanakan sesuatu yang membahayakan selalu sembunyi-sembunyi.

Tapi itu cuma di film-film. Mana mungkin DPR dan pemerintah berbuat jahat dan menghasilkan produk undang-undang yang merugikan rakyat. Seharusnya kita apresiasi mereka, karena sudah rela kerja di hari libur. Mungkin, karena dedikasi mereka yang besar ini membuat mereka mudah kelelahan dan terlelap saat rapat di Senayan.

Di samping proses pembahasan, isi atau pasal-pasal yang direvisi juga tak kalah problematik. Salah satu pasal yang diprotes masyarakat sipil ialah penambahan enam kementerian/lembaga yang dapat dijabat oleh prajurit aktif. Pasal tersebut dapat membawa angin dwi-fungsi kembali lagi di era reformasi saat ini.

Dalam negara demokrasi, peran tentara harus dibatasi dan tidak boleh memasuki urusan sipil terlalu jauh. Justru sebaliknya, kelompok sipil yang harus mengawasi dan mengontrol kelompok tentara. Jika kewenangan tentara tak dibatasi, maka akan mengancam demokrasi dan supremasi sipil.

Masyarakat harus mengingat sejarah ketika tentara memiliki andil dan peran dalam kehidupan sosial-politik. 

BACA JUGA: EMANG BOLEH ANGGOTA TNI PUNYA JABATAN PUBLIK ATAU POLITIS?

Apa yang terjadi? 

Kekerasan, pembantaian dan kejahatan kemanusiaan yang berujung pada pelanggaran HAM berat dan tercatat dalam sejarah kelam bangsa Indonesia. Lagi pula, aturan UU TNI saat ini cukup jelas.

Pasal 47 Ayat (1) UU TNI secara gamblang mengatakan jika ada prajurit aktif yang mengisi jabatan sipil, dia hanya perlu mengundurkan diri atau pensiun. Reformasi 1998 justru seharusnya mengurangi peran tentara dalam pos-pos sipil, bukan malah menambahkan atau memperluas. Revisi UU TNI tidak membawa pembaruan atau sejalan dengan semangat reformasi dan demokrasi.

Lagi pula tugas utama militer ialah fokus terhadap pertahanan negara, bukan berpolitik, mengurus administrasi serta berbisnis. Meminta militer untuk mengurusi kerja-kerja sipil ini sama seperti meminta Onana menangkap bola.  

Secara prinsip sih,  TNI  nggak  dilatih untuk berpolitik. Mereka dilatih untuk berperang dengan pihak luar (bukan dengan warga sipil).

Seharusnya kritik dari masyarakat sipil harus didengar dan dipertimbangkan. Dengan disahkannya revisi UU No 34 tahun 2004 tentang TNI, kita sebagai masyarakat sipil yang berdampak langsung terhadap UU tersebut. Bukan malah menuduh dan merendahkan warga sipil sebagai ‘kampungan’ apalagi dilawan dengan tank. 

Inget yah, kampungan itu hanya pantas disematkan kepada mereka yang hobi meneror. Hanya kepada mereka yang merasa berada di atas hukum. Bukan kepada mereka yang menggunakan hak konstitusionalnya sebagai warga negara.

Dari Penulis

Terkaitrekomendasi
Artikel yang mirip-mirip

0 0 votes
Article Rating
guest

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Dari Kategori

Klikhukum.id