Akhir-akhir ini kita dicekokin banyak informasi tentang berbagai kasus korupsi. Di antara semua kasus korupsi yang aku tahu, kasus Pertamina yang paling bikin nyesek, kecewa dan merasa terdampak. Mengsedih, bertahun-tahun pake Pertamax, ternyata aku hanya pengguna Pertalite yang nggak perlu antri. Kenapa sih, hal sekecil ini mesti boong.
Sebagai rakyat kecil, aku merasa nggak terlindungi secara hukum. Katanya tujuan hukum itu untuk memberikan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Mana nih, keadilan buat aku yang sudah ditipu bertahun-tahun dengan bensin oplosan. Eh, bensin yang diblending ding, katanya.
Udah kebayang, koruptor tuh, paling dihukum beberapa tahun doang. Terus kita yang jadi korban, boro-boro dapet ganti rugi, paling juga cuma dapet hikmahnya. Untuk membesarkan hatiku yang kecewa sama negara, aku coba untuk mencari perspektif tentang kenapa sih, hukum itu nggak selalu adil. Kira-kira begini alasannya.
BACA JUGA: KEPASTIAN HUKUM YANG GAK ADIL
Adil itu subjektif
Kita semua tahu bahwa keadilan itu bersifat subjektif. Apa yang kita anggap adil, belum tentu dianggap adil oleh orang lain. Pandangan tentang keadilan dipengaruhi oleh budaya, agama, latar belakang sosial dan pengalaman hidup masing-masing individu. Apa yang dianggap sebagai hukuman yang setimpal bagi satu kejahatan, bisa dianggap terlalu ringan atau terlalu berat oleh orang lain.
Misalnya nih, hukuman mati. Buatku, koruptor itu seharusnya dihukum mati aja, apalagi kalo korupsinya dilakukan bertahun-tahun dan ngerugiin rakyat kecil. Tapi, kalo koruptor dihukum mati, ntar ada aja yang demo dan bilang bahwa hukuman mati itu melanggar hak asasi manusia. Nggak ada jawaban yang benar atau salah secara mutlak. Tapi, perbedaan pandangan ini bikin penerapan hukum menjadi kompleks dan seringkali menimbulkan kontroversi. Hukum, yang berusaha menciptakan keadilan, harus bergulat dengan perbedaan persepsi-persepsi kaya ini.
Akses Keadilan Nggak Merata
Bayangkan kamu lagi terlibat dalam sengketa tanah dengan seorang pengusaha kaya raya. Mereka punya tim pengacara handal, bisa bayar saksi ahli yang berpengalaman dan punya sumber daya unlimited. Sementara kamu, mungkin hanya seorang petani kecil dengan sedikit pengetahuan hukum dan minim akses untuk dapat bantuan hukum.
Siapa yang lebih mungkin memenangkan kasus ini?
Ketimpangan akses ini bukan hanya soal uang, tapi juga soal informasi dan koneksi. Orang kaya dan berkuasa lebih mudah mendapatkan informasi hukum yang dibutuhkan, misal mencari bantuan dari pengacara terbaik. Hal ini menciptakan ketidakadilan sistemik, di mana hukum cenderung menguntungkan mereka yang memiliki lebih banyak sumber daya.
BACA JUGA: KONSEP IDE PLATO TENTANG KEADILAN HUKUM
Interpretasi Hukum: Satu Hukum, Banyak Tafsir
Bayangin, kamu dan temanmu menonton film yang sama, tapi punya kesimpulan yang berbeda tentang alur cerita atau pesan moralnya. Nah, kira-kira hukum juga begitu. Hukum ditulis dalam bahasa yang formal, terkadang rumit, jadi mungkin banget ditafsirkan secara berbeda oleh orang yang berbeda. Hakim, jaksa, pengacara, bahkan kita sendiri, bisa memiliki pemahaman yang berbeda tentang arti sebuah pasal atau undang-undang.
Nggak usah jauh-jauh deh, noh di kasus gelar doktornya Om Bahlil, kan beda orang beda juga sanksinya. Coba aja yang plagiat itu mahasiswa biasa, pasti auto di D.O. Kenapa bisa beda ya? Ya, karena hukumnya dapat diinterpretasi beda-beda, jadi bisa aja antara orang yang satu dengan orang yang lain menerapkan sanksi hukum yang berbeda.
Berdasarkan ketiga alasan tersebut, kita jadi tahu, kenapa hukum sering gagal memberikan keadilan. Sebagai rakyat kita harus membesarkan hati untuk menerima kenyataan ini, dengan tetap berikhtiar untuk memperbaiki sistem hukum kita. Makanya kita tuh, kudu melek hukum biar akses lebih terbuka. Kenapa gitu? Karena kalo nggak punya sumber daya dan koneksi, seenggaknya kita punya pemahaman yang cukup tentang hukum. Jadi kita bisa adu argumen kalo hak kita dilanggar.
Sekian.
Ih gokil banget pembahasannya! Dari Pertamax sampai Om Bahlil bisa di oplos jadi satu tulisan.