Lagi dan lagi, sebuah kasus hukum ditangani dan diselesaikan dengan baik karena viral. Berawal dari cuitan Iman Zanatul Haeri tentang kasus revenge porn yang dialami adiknya dan ketidakadilan selama proses hukum berlangsung.
Iman merasa tidak ada pilihan lain selain memviralkan kasus adiknya agar mendapatkan keadilan. Dia juga menyadari apabila tidak viral mungkin tidak akan mendapatkan hasil sebaik sekarang, ucapnya kepada BBC News Indonesia.
Hukuman 6 (enam) tahun penjara dan denda satu miliar, adalah buah dari perjuangan keluarga korban melawan ketidakadilan. Hukuman tersebut merupakan ancaman maksimal Pasal 45 Ayat 1 jo Pasal 27 Ayat 1 UU ITE yang digunakan untuk mendakwa pelaku. Tidak lupa pidana tambahan tidak boleh mengakses internet selama 8 (delapan) tahun menjadi pelengkap untuk mengobati penderitaan yang dialami korban.
Sebenarnya revenge porn bukan hal yang baru di Indonesia. Kejahatan ini sudah lama ada, namun rasanya tidak ditangani secara serius oleh penegak hukum. Revenge porn memiliki arti pornografi balas dendam. Kejahatan ini dilakukan dengan menyebarkan foto atau video berbau pornografi tanpa persetujuan subjek yang ada dalam foto atau video tersebut.
Revenge porn dapat dikategorikan sebagai Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) atau dalam UU TPKS dikenal sebagai Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE).
Kembali ke statement saya, bahwa kasus semacam ini tidak mendapatkan penanganan secara serius. Kasus revenge porn ini menjadi contoh nyata, bahwa penegak hukum tidak berpihak kepada korban dan tidak memahami penderitaan korban sehingga dengan gampangnya mendesak korban untuk berdamai dengan pelaku, tekanan dari berbagai pihak juga menjadi alasan Iman sebagai kakak korban untuk memviralkan kasus yang dialami adiknya.
Laporan dari berbagai organisasi seperti Komnas Perempuan dan LBH APIK menemukan realita bahwa penegak hukum seringkali tidak punya perspektif korban dan mengakibatkan penanganan yang buruk pada kasus serupa.
Kalau mau cari bukti jeleknya penegakan hukum kekerasan seksual, gampang banget kita cari di internet, effort less lah pokoknya.
Ini yang dimaksud Lawrence M. Friedman dalam teori sistem hukum, yang menjelaskan kalau efektif dan berhasilnya penegakan hukum tergantung tiga unsur, yakni substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure) dan budaya hukum (legal culture).
Pada penegakan hukum kekerasan seksual di Indonesia substansi hukum mengalami penguatan dengan disahkannya UU TPKS, namun masih memiliki masalah pada struktur hukum. Seperti contoh di atas, masih banyak penegak hukum yang tidak memahami perspektif korban.
Permasalahan ini diperparah dengan budaya hukum masyarakat yang menganggap kasus kekerasan seksual sebagai aib dan enggan melaporkannya kepada pihak berwajib. Masalah penegakan hukum tersebut membuat pelaku-pelaku kekerasan seksual semakin berani dan merajalela di sekitar kita.
Putusan kasus revenge porn di Pandeglang menjadi secercah harapan bagi penegakan hukum Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE).
Selain menjatuhkan pidana maksimal, majelis hakim juga menjatuhkan pidana tambahan berupa larangan akses internet selama 8 (delapan) tahun, yang sebelumnya tidak pernah dijatuhkan pada kasus seperti ini.
Padahal pidana tambahan tersebut tidak ada dalam tuntutan JPU dan tidak diatur dalam UU ITE ataupun KUHP. PN Pandeglang menyebut putusan itu sebagai sebuah terobosan hukum.
Mengenai pidana maksimal yang dijatuhkan saya rasa itu memang yang diharapkan oleh korban dan belum tentu hukuman itu setimpal dengan penderitaan yang dirasakan oleh korban.
Justru pidana tambahan berupa larangan akses internet yang menjadi sorotan saya pada kasus ini, saya setuju dengan pendapat yang menyatakan putusan tersebut merupakan terobosan hukum.
Selayaknya sebuah inovasi yang perlu perbaikan sana sini dan terkesan tidak sempurna, begitu juga dengan putusan tersebut. Larangan mengakses internet yang dijatuhkan hakim meninggalkan tanda tanya besar, bagaimana pelaksanaannya?
Bahkan Ichsan Sulistyo, anggota komisi III DPR RI menilai putusan tersebut tidak rasional dan janggal. Dia juga bingung bagaimana pelaksanaan larangan akses internet. Alih-alih skeptis dengan pelaksanaan putusan, seharusnya bapak Ichsan Sulistyo dan anggota dewan lain di komisi III harus berpikiran progresif seperti putusan tersebut. Kalau tidak ada aturan pelaksanaannya ya, dirapatkan dan dirancang aturannya dong, pak.
Ya, walaupun pembuatan regulasi tidak semudah perkataan saya ya. Tapi sudah seharusnya permasalahan tersebut menjadi perhatian serius oleh DPR. Bukan tanpa alasan melihat perkembangan internet dan teknologi yang secepat kilat ini, sudah seharusnya hukuman larangan mengakses internet menjadi opsi untuk menekan dan mencegah kejahatan melalui internet.
Kalau seseorang menggunakan internet untuk melakukan kejahatan, sudah selayaknya hak untuk mengakses internet dibatasi atau bahkan dicabut. Bukan hal yang tidak mungkin pemerintah, lembaga penegak hukum dan lembaga pemasyarakatan membuat sistem yang dapat mengawasi dan membatasi penggunaan internet bagi masyarakat yang ada di bawah pembinaan lembaga pemasyarakatan.
Nah, kalau minta pendapat cara pelaksanaan larangan akses internet ke saya, kebetulan saya juga nggak ada ide. Tapi saya yakin ahli IT di Kominfo pasti punya ide. Wong, memblokir aplikasi aja bisa kok. Hehehe.