Beberapa klien ada yang kaget ketika saya kasih tau estimasi lamanya proses persidangan pidana/perdata. Selain kaget, ada juga yang kecewa, karena mereka inginnya proses hukum berjalan secepat kilat.
Lucunya, ada beberapa klien saya yang bilang, “Kok lama sih, padahal di film-film gitu prosesya bisa cepat loh. Dilaporin, pelakunya ketangkap, sidang, lalu dijatuhi vonis oleh hakim.” Yaaaa, namanya juga film, bedalah dengan realitanya.
Saat seperti inilah seorang advokat diuji kesabarannya untuk menjelaskan proses hukum acara yang panjang dan ribet. Dalam hukum acara ada asas yang sangat terkenal yaitu peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Namun apakah benar begitu?
Proses persidangan gak sesimple jargonnya “Sederhana, cepat dan biaya ringan.” Fakta membuktikan, proses peradilan itu bikin orang jadi pusing. Banyak yang gak sabar untuk menjalani proses hukum di pengadilan.
Asas sederhana, cepat dan biaya ringan dapat kita temukan di dalam Pasal 2 Ayat 4 UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Asas sederhana, cepat dan biaya ringan dikenal dengan asas contante justice.
Kalau kita membaca penjelasan Pasal 2 Ayat 4 UU Kekuasaan Kehakiman, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘sederhana’ adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara yang efisien dan efektif.
Lalu, gimana dengan realitanya?
Gini, realitanya hukum acara pidana, perdata, Tata Usaha Negara, tidaklah sesederhana itu. Ini serius, banyak sarjana hukum yang baru saja lulus dari kuliahnya tidak memahami gimana cara beracara di pengadilan. Lalu bagaimana dengan masyarakat awam hukum?
Kalau dibilang efisien dan efektif, saya yang rajin menangani perkara litigasi berpendapat bahwa proses peradilan dan hukum acara kita sangat ribet. Misalnya aja dalam kasus perdata, penggugat harus mampu membuat gugatan, lalu menyesuaikan gugatan tersebut dengan ketentuan HIR, RV, RBG.
Kalau gugatan yang dibikin itu salah atau dibuat dengan asal-asalan, maka bisa berdampak gugatan diputus NO alias tidak dapat diterima atau ditolak. Kalau sampe gugatan N.O, terus ngulang lagi dong, harus ngajukan gugatan. Lalu, di mana letak efisiennya Bamsss.
Asas selanjutnya yaitu cepat. Apakah betul secepat itu? Eits, di dunia nyata, proses hukum itu tidak secepat di sinetron-sinetron yang kalian tonton. Masih ingat kasus kopi sianida Jesica? Lihatlah bagaimana proses sidangnya berlangsung dari pagi hari, sampai dini hari. Sidang tersebut berlangsung hampir tiap minggu, sampai vonis di pengadilan tingkat pertama. Kasus itupun berlanjut dengan upaya hukum banding dan kasasi.
Untuk kalian yang punya kebiasaan klakson-klakson di lampu merah, pasti gak bakal sabar nunggu proses hukum mulai dari penyidikan sampai putusan memiliki kekuatan hukum tetap.
Bukan cuma menungu putusan yang lama, bahkan menunggu waktu sidang juga lama pake banget. Jam ngaret sering terjadi di pengadilan (udah jadi rahasia umum). Waktu sidang banyak yang gak jelas. Walaupun di undangan tertulis sidangnya jam sembilan pagi, tapi bisa aja sidangnya mulai jam lima sore.
Waktu itu saya pernah datang pagi-pagi ke pengadilan. Eh, ternyata sidangnya mulai jam lima sore. Itulah alasannya ketika saya mau meriksa saksi, saya selalu meminta saksi sarapan terlebih dahulu, karena kita gak tau sidangnya mulai jam berapa. Jadi apanya yang cepat hayooo?
Selanjutnya asas yang terakhir, yaitu asas biaya ringan. Asas ini mengandung arti biaya perkara murah, terjangkau, gak mahal, sehingga masyarakat dapat berperkara di pengadilan.
Btw, mahal murah itu emang relatif. Menurut saya, biaya berperkara itu gak bisa dibilang murah juga sih. Selain membayar biaya panjer perkara, para pihak juga harus menyiapkan biaya meterai untuk dokumen bukti.
BACA JUGA: CURKUM #87 ALAT BUKTI PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Untuk pembuktian tertulis dalam kasus perdata, tiap bukti yang diajukan harus dibubuhi meterai yang berlaku sesuai ketentuan Undang-undang. Untuk tahun 2021 ini, meterai yang berlaku adalah meterai dengan nilai Rp10.000,00. Silakan kalkulasikan jika misalnya salah-satu pihak mengajukan 25 bukti tertulis. Setidaknya pihak tersebut harus mengeluarkan uang Rp250.000,00.
Selain itu, dalam sidang perdata sangat dimungkinkan ada biaya-biaya tambahan, contohnya apabila ada sidang pemeriksaan setempat. Mau gak mau, para pihak yang berperkara harus merogoh uang lagi untuk membayar biaya administrasi pemeriksaan setempat di pengadilan.
Belum lagi biaya fotokopi berkas. Kelihatan receh tapi banyak loh. Gak percaya, coba cek biaya cetak pledoi untuk kasus kopi sianida. Pernah viral juga kan, karena biaya fotokopi pledoinya mencapai belasan juta rupiah.
Jadi, asas sederhana, cepat dan biaya ringan, menurut saya belum sepenuhnya terlaksana. Lumayan sih, udah ada usaha-usaha untuk implementasinya. Seperti adanya e-Court atapun gugatan sederhana dalam kasus perdata. Tapi, tetap saja menurut saya masih banyak hal yang harus dibenahi agar asas ini benar-benar terlaksana dengan baik.
Intinya kalau lagi punya perkara hukum, kamu harus sabar mengikuti prosesnya. Gak ada sidang yang cepat, karena yang cepat cuma akses internetnya Gmedia. Gimana gak cepat, wong Gmedia pake media Fiber Optic. Jaminan kecepatan internet stabil saat digunakan. Udah gitu petugasnya ready 24 jam 7 hari untuk membantu kamu menangani kendala pada jaringan internet. Anti nge-lag-lag, coiiii.