Lagi-lagi pandemi, pandemi lagi-lagi. Gak bosen po Trot?
Mbok mbahas yang bermutu, kayak berita soal Gubernur DKI Jakarta yang diperiksa polisi gegara acara nikahan kae lo Trot.
Hahahaha emoh ah, Foxtrot takut bahas gitu-gituan.
Yah gimana lagi ndes, pandemi adalah kasunyatan, kenyataan yang tetap terjadi terlepas kalian-kalian ini pada suka atau gak, setuju ato gak setuju. Mau kalian pro vaksin, mau anti vaksin. Mau yang aliran sunat pake sembilu maupun sunat pake laser yang bisa dimotif kembang, dibuat grenjel-grenjel kayak ada gotrinya, ya gak ngaruh. Lha wong pandeminya beneran ada dan masih berlangsung entah sampek kapan.
Kan udah Foxtrot bilang berkali-kali kalo pandemi ini ngubah semua lini kehidupan masyarakat di dunia nyata dan dunia gaib. Semua profesi kena dampaknya, dari profesi LC, sampe tukang insinyur sama-sama ngerasain, genderuwo dan tuyul pun (kayaknya) sama juga terdampak pandemi.
Nyari uang di masa pandemi ini susahnya minta maap, yang jadi karyawan pada kena pengurangan gaji, ribuan umat golongan pekerja kehilangan pekerjaannya. Jumlah pengangguran yang gak berkurang dari tahun ke tahun, eh tahun ini malah nambah. Nambahnya banyak pula. Mediasi antara pekerja dengan pemberi kerja rame di sana-sini. Dinas tenaga kerja kabupaten pun mulai kewalahan ngadepin proses tripartit.
Pekerja kelimpungan kehilangan pendapatan, pengusaha pun gak kalah mumetnya berusaha tetep bertahan di tengah kondisi ini. Sampe Presiden Jokowi berkali-kali bersabda agar perusahaan gak mem-PHK karyawannya di tengah pandemi ini. Kenyataan berkata lain, PHK tetep aja jadi solusi andalan perusahaan untuk bertahan. Dikutip dari cnnindonesia.com, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan akibat virus Corona per 27 Mei 2020 tembus 3,06 juta orang.
Sebenarnya boleh gak sih, perusahaan mem-PHK karyawannya?
Ya boleh lah ndes, asal sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Yang gak boleh itu kalo kamu mutusin pacarmu pas doi tengah mengandung buah hatimu.
PHK boleh dan hanya boleh berlaku apabila dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, dalam hal ini adalah UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Menurut UU Ketenagakerjaan, PHK yang sah hanyalah PHK yang diputuskan oleh lembaga perselisihan hubungan industrial. Kayak bunyi Pasal 155 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan “(1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 Ayat (3) batal demi hukum.” Sedangkan Pasal 151 Ayat (3) sendiri bilang gini ndes “(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.”
Itu berarti PHK yang gak sesuai dengan ketentuan PHK dianggap batal demi hukum ya ndes. Karena batal demi hukum berarti PHK-nya gak sah. Karena PHK-nya gak sah berarti karyawan yang di PHK masih berhak menerima upah/gaji yang sesuai, sampai dengan adanya putusan lembaga penyelesaian hubungan industrial ndes. Ini yang dinamakan sebagai upah proses. Sampek sini paham toh?
Walaupun udah di PHK, si karyawan masih punya beberapa hak yang harus ditunaikan sama perusahaan lo. Masak iya kalian udah kerja puluhan tahun, ikut ngebangun perusahaan dari nol, udah bantuin pemilik perusahaan ngumpulin pundi pangestu, eh pundi-pundi kekayaan yang lebih banyak dan semakin banyak, giliran perusahaan udah gak butuh, kalian ditinggal gitu aja. Gak dikasih kenang-kenangan gitu?
Inget lo karyawan itu juga manusia, punya rasa punya hati. Butuh juga yang namanya dihargai baik secara materiil maupun non-materiil.
Makanya UU Ketenagakerjaan punya pandangan kalo perusahaan yang mem-PHK karyawannya, maka perusahaan harus ngasih sesuatu sebagai imbal balik terhadap jasa dan pengabdian karyawan terhadap perusahaan. Perusahaan wajib memberikan yang namanya apa tu?
Pesangon, ya bener banget. Perusahaan wajib memberikan pesangon dan uang penghargaan masa kerja serta uang penggantian hak yang sesuai dengan upah/gaji yang diterima dan masa kerja si karyawan. Hal ini tertuang di Pasal 156 UU Ketenagakerjaan Ayat (1) “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.”
Perhitungan minimal jumlah pesangon dan penghargaan masa kerja ada di ayat-ayat selanjutnya ndes. Baca sendiri donk biar paham.
Alasan yang paling banyak dipake perusahaan untuk mem-PHK karyawannya di saat pandemi ini kebanyakan karena efisiensi. Kalo efisiensi yang dipake sebagai alasan untuk mem-PHK karyawan, maka perusahaan wajib mematuhi ketentuan Pasal 164 Ayat (3). Begini bunyinya, “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 Ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 Ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat (4).”
Jadi intinya perusahaan boleh mem-PHK karyawannya asal sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. PHK yang dilakukan tidak sesuai prosedur, batal demi hukum ndes.
Oiya, ini masih pake UU yang lama yak, karena kasus-kasus yang ditangani Foxtrot kebetulan terjadi di awal pandemi dan sebelum Omnibus Law disahkan. Lagian Foxtrot yakin ketentuan ini tetap masih dipakai untuk menyelesaikan kasus-kasus PHK sebelum Omnibus Law disahkan. Gitu lohhh.
Bilang aja gak ngerti isi Omnibus Law Trot …
Ngoahahahahahaha ….
AUTHOR NOTE :
Jangan serius-serius bacanya,
Mendingan kamu seriusin dia yang udah menunggu lama.