ARC 1: KERAJAAN SULAIMAN DI KAKI GUNUNG CANDRAGENI

Btw, cerita ini cuma fiktif lo ndes, omong kosong. Kalo ada persamaan kejadian ato peristiwa ato kemiripan tokoh sama hidup dan kisahmu, ya itu hanya perasaanmu wae ndes. Pokoke ora usah mbok pikir, mending mikirin nyari klien kakap. Segala risiko ditanggung sendiri.

Cerita fiktif ini berlatarkan nuswantara sekitaran tahun 1200-an masehi, berlokasi di sebuah daerah bernama Kerajaan Sulaiman yang terletak di kaki Gunung Candrageni. 

Tempat di mana hutan masih eksis sebelum terkena deforestisasi, penduduknya belum mikirin ganti rugi proyek jalan tol dan para pemudanya belum mengenal kekisruhan tata kelola manajemen klub sepakbola.

“Mahapatih Angsana, menghadap Gusti Prabu!” seorang pria setengah baya berpostur tegap berjalan jongkok menunduk.

“Bangunlah Kakang Mahapatih, kita hanya berdua saja tidak perlu bersikap terlalu formal. Bangunlah dan katakan ada apa gerangan yang membawamu kemari pagi-pagi sekali?” kata seorang yang duduk di kursi singgasana mewah bertahta emas berlian dengan ukiran corak harimau Jawa.

Suaranya lemah lembut dan terkesan flamboyan sambil tetap membelai peliharaannya berupa seekor burung elang Jawa yang dinamai Kliwon. Orang ini tidak lain adalah Raja Kerajaan Sulaiman bernama Prabu Arta Aguna sambil sesekali menoleh kepada Mahapatih Angsana.

Mahapatih Angsana terlihat mulai gelisah yang bukan geli-geli basah, melainkan ragu-ragu untuk menyampaikan warta terhadap junjungannya Prabu Arta Aguna.

“Mohon ampun Gusti Prabu, ada keadaan mendesak yang harus hamba sampaikan kepada Gusti Prabu.” 

“Saat ini Pendekar Gundul Sakti dari Utara sedang membuat keributan di gerbang keraton, beliau memaksa bertemu Gusti Prabu untuk menagih janji Gusti Prabu dahulu ketika naik tahta.” Lanjut Mahapatih.

Prabu Arta Aguna terlihat cemas dan khawatir teringat janji yang pernah terucap di masa lalu yang tak kunjung ditepatinya. Bukan sang prabu tidak ingin melunasi janjinya terhadap tokoh kawakan aliran putih tersebut, tetapi sang prabu lebih mengkhawatirkan apabila melaksanakan janjinya tersebut justru akan menimbulkan musuh baru.

“Katakan pada Pendekar Gundul Sakti dari Utara kalo aku, Maharaja Kerajaan Sulaiman, tidak bersedia bertemu dengannya. Minta dia untuk pulang ke padepokannya!”

“Melanggar perintahku sama dengan menyatakan perang terhadap kerajaan ini!” Titah sang prabu sewenang-wenang.

“Mohon beribu ampun Gusti Prabu, tetapi …” Belum selesai Mahapatih Angsana berkata, langsung dipotong oleh sang prabu.

“Jangan banyak bacot … cot … cot … cot … bacot, kamu Mahapatih! Laksanakan perintahku!”

“Sendiko dhawuh Gusti Prabu, titah Maharaja adalah harga mati!” Jawab sang Mahapatih kecewa dan berlalu pergi.

Selepas kepergian Mahapatih, dari lorong gelap balai raja muncul sosok wanita cantik dengan pakaian ketat berwarna hitam. Kemunculannya secara tiba-tiba yang seolah timbul dari kegelapan itu sendiri menandakan tingkat ilmu kanuragannya yang sangat tinggi.

“Hihihihi … tak perlu risau dan takut terhadap si Gundul Sakti dari Utara itu wahai Maharaja tampan. Tenang saja ada aku di sini yang selalu melindungimu.” Ucap sebuah suara yang lemah lembut tapi membuat bulu apapun yang mendengarnya pasti bergetar. 

Inilah efek ilmu bisikan gaib mengundang hasrat milik Rakryan Mantriartha Sitaresmi, seorang pejabat keraton yang berwenang mengurusi pajak dan keuangan keraton. 

Tapi di balik identitas resminya sebagai Rakryan Mantriartha tersebut, bagi beberapa orang dengan pengalaman tinggi mengetahui dengan pasti siapa sebenarnya Sitaresmi yang dalam dunia persilekan lebih dikenal sebagai salah satu tokoh aliran hitam bernama Dewi Bulan Berdarah.

BACA JUGA: SILANG SENGKURAT DUNIA ADVOKAT

Dewi Bulan Berdarah adalah gelar Sitaresmi dalam dunia kependekaran Nuswantara, sebagai pemegang salah satu dari tujuh Pusaka Dunia Persilekan Nuswantara yang bernama Sabit Berdarah, dimana kemampuannya sebagai pendekar level Deva sangatlah mengerikan.

Gosip yang beredar kemampuan si Dewi Bulan Berdarah dengan Sabit Berdarahnya ini hanya dapat ditandingi oleh empat pendekar level Deva pemegang tujuh Pusaka Dunia Persilekan yaitu seorang tokoh aliran putih bernama si Gundul Sakti dari Utara dengan Kuas Jembitan Saktinya, Pedang Es Abadi yang dipegang oleh tokoh aliran hitam bernama Dewa Es Timur, Pendekar Jelita Pencabut Nyawa dengan pusaka Kipas Pencabut Nyawa dan Pusaka Tongkat Bambu Dewa yang dikuasai oleh Dewa Arak Kolong Langit.

Sedangkan dua pusaka dunia persilekan lainnya berupa Keris Naraka yang dimiliki oleh Prabu Arta Aguna dan Tombak Kyai Guntur yang dipegang oleh Mahapatih Angsana sebagai Pusaka Keraton Sulaiman.

Siapapun pasti akan gentar setelah mengetahui identitas asli Rakryan Mantriartha Sitaresmi tersebut, tetapi lain halnya dengan Prabu Arta Aguna yang justru bersemangat setelah mendengar bisikan maut sang Rakryan.

Dengan senyum genitnya sang prabu berusaha mengimbangi jalan Rakryan Sitaresmi alias Dewi Bulan Berdarah menuju kamar pribadi raja. Tidak satupun yang mengetahui apa yang dilakukan mereka karena kamar pribadi raja selalu dilindungi segel selusup bawah kabut, salah satu ilmu ilusi tingkat tinggi andalan Dewi Malam Berdarah. Cicak dan nyamuk dijamin kejang-kejang ketika berusaha menembus segel ilusi sang dewi.

Sementara itu di pintu gerbang keraton sedang terjadi kekacauan yang disebabkan kemarahan Gundul Sakti dari Utara. Pendekar level Deva yang memiliki nama asli Laksmana Badra ini sedang melampiaskan kekesalannya dengan menghancurkan beberapa bangunan keraton menggunakan Kuas Jembit Sakti tanpa ada satu orang pun yang mampu menghentikannya. Para prajurit bergelimpangan di mana-mana karena terserempet hawa sakti yang dikeluarkan Pendekar Gundul Sakti dari Utara. Slepeeeetttt.

Tentu saja senjata pusaka dunia persilekan yang digunakan oleh pendekar level Deva mampu mengobrak-abrik bangunan kraton semudah batu menghancurkan telur. Sampai kemudian saat Mahapatih Angsana tiba di halaman keraton.

“Murid mohon, Mahaguru menahan amarahnya agar tidak jatuh korban jiwa prajurit tidak bersalah. Mohon ampun Mahaguru …” Ucap sang Mahapatih yang ternyata adalah bekas murid Pendekar Gundul Sakti dari Utara di Padepokan Jembit Saktinya. 

Sebelum menjadi mahapatih, pendekar bernama Angsana adalah salah satu murid andalan Pendekar Gundul Sakti dari Padepokan Jembit Sakti di lereng Gunung Chandrageni yang kemudian melanglang buana mencari pengalaman kepelosok Nuswantara hingga terkenal dengan gelar Raja Tombak dari Selatan.

“Dasar murid tidak berbakti, tidak tahu balas budi. Membedakan kebenaran dan kejahatan saja gak becus!!” Semprot Pendekar Gundul Sakti dari Utara kepada muridnya.

“Mohon ampun Mahaguru, murid memang tidak berguna. Tapi mohon tahan kemarahan Mahaguru.” Iba sang Mahapatih lirih.

“Semua murid lakukan, demi menghindari pertumpahan darah yang tidak perlu. Mohon Mahaguru mengerti.”

“Dasar murid bodoh!” Kemudian tubuh Pendekar Gundul Sakti dari Utara berhenti mengeluarkan aura yang mengintimidasi.

“Kamu tahu, bahwa raja kebangganmu itu telah mengkhianati aku, mengkhianatimu dan mengecewakan seluruh penduduk Kerajaan Sulaiman. Raja lalim itu telah mengkhianati janjinya untuk tidak mencalon kembali sebagai raja dan memberikan kekuasaan kepada penerusnya. Tapi dia justru menjilat ludahnya sendiri. Dasar raja bangcyaaattt!”

“Kalo kamu memang masih mengakui aku sebagai gurumu, keluarlah dari kerajaan brengsek ini dan temui aku di padepokan tiga hari dari sekarang!” Perintah Pendekar Gundul Sakti dari Utara sambil berbalik pergi dan menghilang dalam sekejap.

Di antara puing-puing bangunan dan para prajurit yang sedang menolong rekan sejawatnya sang mahapatih berdiri termenung. Berkontemplasi bersungguh-sungguh dengan segala daya pikir rasa dan karya untuk mendalami perintah terakhir dari sang mahaguru.

Sekitar ratusan tombak di luar benteng keraton, di atas sebuah pohon beringin besar di tengah pasar terdapat sosok gimbal awut-awutan, tergantung bambu tempat arak di pinggangnya, sosok yang kalau dilihat sekilas mirip gelandangan atau orang gila. Tapi bagi tokoh kawakan dunia persilekan, sosok gimbal awut-awutan ini amatlah sangat disegani sebagai satu dari sedikit pendekar tingkat Deva yang dikenal sebagai Dewa Arak Kolong Langit.

“Dasar tua bangka pemarah!” Ucap Dewa Arak Kolong Langit sambil menenggak araknya dengan tetap bergelantungan di rumbai pohon beringin raksasa.

“Sepertinya bakalan ada yang menarik, gak sia-sia aku tiduran di atas pohon ini tujuh hari tujuh malam.” Dewa Arak Kolong Langit yang punya nama asli Arya Damar sembari membetulkan posisi berbaringnya yang beralaskan dahan dan beratapkan langit. Tidak berapa lama terdengar dengkuran keras dari atas pohon beringin, yang membuat orang-orang yang mendengarnya otomatis menyingkir ketakutan.

Bersambung ….

AUTHOR NOTE:
Ciyeeeee……….

Jatya Anuraga
Jatya Anuraga
Alter ego dari sang Foxtrot.

MEDSOS

ARTIKEL TERKAIT

Leave a reply

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

DARI KATEGORI

Klikhukum.id