Persoalan di negeri ini kian mawut. Masalah ekonomi, politik, hukum dan sosial yang terjadi, seperti benang kusut basah, yang ketika kering dan coba untuk diurai, tapi dibasahkan lagi dengan sengaja. Piye jal?
Pemilu telah usai digelar. DPR pun sudah dilantik. Sekarang tinggal menunggu pelantikan Presiden berikut dengan para pembantunya. Tapi, di setiap pemilu yang terlewati, rakyat selalu bertaruh akan masa depannya untuk partai yang melihat pemilu hanya menang dan kalah.
Pemilu untuk perubahan yang belum terjadi. Saat kekuasaan menjadi sangat transaksional, masih adakah secercah harapan? Seperti yang digambarkan Ucamp dalam lagunya “Hanya Bayangan”.
Terbayang slalu masa yang silam
Yang penuh penderitaan
Ku coba lagi untuk melangkah
Dengan darah yang tersisa
Masih adakah secercah harapan
Tuk menyingkap problema ini
Pemberantasan korupsi adalah salah satu harapan rakyat yang masih terjaga sejak reformasi terjadi di negara ini. Harapan yang hampir kandas di tangan DPR dengan dikeluarkannya Revisi UU KPK. Tinggalah Perppu, harapan terakhir kepada Presiden yang akan dilantik nanti pada 20 Oktober 2019. Perppu adalah harapan rakyat untuk menjaga marwah KPK dalam pemberantasan korupsi.
Perppu memang bukan persoalan main-main. Bukan kaleng-kaleng. Ini serius. Revisi UU KPK katanya telah menjadi bola panas yang berada di tangan Presiden. Tapi benerkah menjadi bola panas?
Menjelang pelantikan Presiden, kancah dunia persilatan politik makin ‘ngeri-ngeri sedap’. Belakangan, bukan cuma isu impeachment dalam Perppu, tapi isu amandemen UUD kembali muncul. Tampaknya, para pendekar politik di negeri ini memang tidak jauh beda dengan pemain sirkus di sekaten alun-laun Lor Kraton Jogja. ahli akrobat. Level 100 bro.
Tak kurang, untuk menepis isu impeachment dalam Perppu, pakar politik hukum Indonesia, Prof. Mahfud sudah menyampaikan di ILC kalau Perppu tidak bisa jadi bahan untuk impeachment. Impeachment bisa dilakukan kalau Presiden itu melakukan perbuatan pidana. Para pendukung Perppu juga mencoba menepis isu impeachment. Kepala suku Mojok dan Direktur HICON (Law & Policy Strategies) serta beberapa yang tidak bisa saya sebut satu persatu, terus menyampaikan bahwa Perppu tidak bisa menjadi bahan impeachment. Tapi, sepertinya Presiden masih terlihat ‘angon mongso’, menunggu waktu yang tepat. Kapan? Hingga hari ini, Presiden belum juga mengeluarkan Perppu dan bahkan belum juga menandatangani Revisi UU KPK.
Membaca banyak tulisan soal Perppu dan impeachment ternyata cukup menarik. Tadinya, saya tidak berminat untuk menulis, tapi setelah saya perhatikan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, ada poin yang belum tersampaikan mengenai impeachment.
Syarat impeachment yang sudah banyak disampaikan dalam tulisan para sohib saya, sudah tepat. Itulah syarat yang termaktub dalam konstitusi. Bahkan Hifdzil (Direktur HICON), memberikan penjelasan yang sangat gamblang dan jelas soal pasal-pasal dalam konstitusi terkait dengan impeachment Presiden.
Tanpa mengurangi dan bermaksud mendebat pendapat para ahli dan sohib saya, dalam tulisan ini saya hanya ingin menyampaikan hal yang belum tersampaikan. Semoga tulisan ini bisa melengkapi wacana mengenai impeachment.
Perhatikan, apa gak aneh? Sekelas ahli politik hukum dan tata negara Prof. Mahfud, bahkan banyak ahli tata negara sudah menyampaikan kalau Perppu tidak bisa jadi bahan impeachment. Tiba-tiba, salah seorang pendekar politik menyampaikan ‘hati-hati’, jika Presiden mengeluarkan Perpu, salah-salah bisa di impeach.
BACA JUGA : PRESIDENTIAL SEMU
Saya pengen bilang, helow Pakde Brewok, itu yang ngomong ahli Politik Hukum dan Tata Negara loh, mantan ketua Mahkamah Kostitusi lagi. Masa siu gak percaya pakde? Atau jangan-jangan pakde ada agenda lain. Ada udang di balik rempeyek.
Dalam beberapa tulisan, saya selalu menyampaikan bahwa negara ini adalah negara demokrasi hukum. Bukan tanpa dasar yang jelas. Relasi antara pasal 1 Ayat (2) yang mengandung ajaran kedaulatan rakyat dengan Pasal 1 Ayat (3) yang mengandung ajaran hukum, telah menjadikan bangunan negara ini berlandaskan demokrasi hukum atau lebih tegas lagi demokrasi konstitusional.
Maknanya, segala penyelenggaraan negara harus didasarkan atas konstitusi (Undang-Undang Dasar). Begitupun soal Impeachment adalah persoalan serius. Dibutuhkan konstelasi politik yang konstitusional. Konstitusi sudah jelas mengatur perbuatan yang bisa dijadikan alasan untuk impeachment. Persoalannya, bagaimana impeachment itu bekerja?
Sejak pertama saya mendalami tata negara, khususnya bab pola relasi DPR dengan Presiden, impeachment ternyata bekerja dengan politik lebih dominan ketimbang hukum. Maksudnya adalah, dalam impeachment hanya DPR sebagai lembaga yang dapat melakukannya.
Dalam impeachment, kehendak DPR harus dinyatakan dalam suatu hak. Ada dua (2) hak yang memungkinkan untuk dapat digunakan sebagai ‘tools’ melakukan impeachment, yaitu Hak Angket dan Hak Menyatakan Pendapat.
Penjelasannya seperti ini. Hak Angket dan Hak Menyatakan Pendapat pada dasarnya merupakan pelaksanaan dari fungsi pengawasan yang diberikan oleh konstitusi. Hak Angket dalam Pasal 79 Ayat (3) UU No. 17/2014 disebutkan bahwa:
“Hak angket sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Kemudian, Hak Menyatakan Pendapat dalam Pasal 79 Ayat (4) UU No. 17/2014, menyebutkan:
“Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf c adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas:
- Kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia Internasional;
- Tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dan hak angket sebagaimana dimaksud pada Ayat (3); atau
- Dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.
Kedua hak DPR tersebut adalah merupakan hak yang lahir dari fungsi pengawasan DPR sebagai lembaga yang mempunyai kekuasaan legislatif terhadap lembaga yang menjalankan kekuasaan eksekutif (Presiden dan lembaga negara eksekutif lainnya).
Dalam konstruksi kedua hak tersebut, impeachment dilakukan melalui mekanisme politik yang dimulai dari Hak Angket. Apabila dalam rapat paripurna DPR memutuskan bahwa pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, DPR dapat menggunakan hak menyatakan pendapat. (Pasal 208 Ayat (1) UU No. 17/2014).
Artinya, Hak Angket merupakan pintu masuk untuk dapat menempuh Hak Menyatakan Pendapat, yang dalam ketentuannya jelas merupakan hak untuk menyatakan suatu dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pada perkembangannya, Hak Angket telah mendapatkan tafsir yang positif bagi penguatan sistem Presidensil. MK dalam Putusannya Nomor 36/PUU-XV/2017 menyatakan bahwa:
BACA JUGA : LANGKAH HUKUM POLEMIK RUU KPK
“… dalam pandangan Mahkamah, tidak selalu hasil penyelidikan DPR melalui penggunaan hak angket harus berujung pada penggunaan hak menyatakan pendapat…”
Pertanyaannya, apakah kemudian Hak Menyatakan Pendapat dapat berdiri sendiri? Alih-alih, untuk dapat dimulainya Hak Menyatakan Pendapat harus didahului dengan materi dan bukti yang sah. Bukti yang sah ini jelas, hanya dapat diperolah melalui penyelidikan. Sedangkan penyelidikan hanya dapat dilakukan dengan Hak Angket. (Pasal 210 Ayat (2) huruf c UU No. 17/2014).
Dalam hal Hak Menyatakan Pendapat, terlebih dahulu harus diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR. Kemudian, usul tersebut dapat menjadi Hak Menyatakan Pendapat DPR apabila mendapatkan persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPR yang hadir.
Sebagai informasi, jumlah suara yang dibutuhkan untuk dapat menjadi Hak Menyatakan Pendapat DPR semula adalah 3/4, yang kemudian terhadap ketentuan tersebut dinyatakan tidak berlaku oleh MK dalam Pengujian Pasal 184 UU No. 27/2009. Permohonan uji materi tersebut diajukan oleh beberapa anggota DPR yang merupakan inisiator dalam hak angket Bank Century, salah satunya adalah Bambang Soesatyo yang sekarang telah jadi ketua MPR. Piye jal bro? Kandani og.
Hak Menyatakan Pendapat yang telah disetujui oleh DPR, akan ditindaklanjuti dengan pembentukan Panitia Khusus (Pansus). Pansus ini lah yang akan bekerja dalam mencari bukti sehubungan dengan Impeachment. Pada tahap ini, publik sudah sering melihat bagaimana Pansus bekerja. Akan susah untuk menyimpulkan bahwa Pansus bekerja dalam ranah hukum, karena Pansus adalah merupakan alat kelengkapan DPR. Sehingga, sudah barang tentu prakteknya Pansus akan bekerja dalam ranah politik.
Proses politik pada tahap Pansus akan begitu sangat ribet. Jadi, saya tidak akan membahas bagaimana prosesnya. Lagian bro, belum ada contoh di Indonesia pembentukan Pansus untuk Impeachment. Saya akan langsung saja pada tahap rapat paripurna DPR dalam menerima atau menolak laporan Pansus. Ada hal yang menarik dalam ketentuan yang mengatur Rapat Paripurna DPR terkait dengan laporan Pansus sehubungan dengan impeachment. Simak bunyi Pasal Pasal 214 Ayat (2), (3) dan (4) UU No. 17/2014.
Ayat (2):
Dalam hal rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213 Ayat (2) memutuskan menerima laporan panitia khusus yang menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, ataupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR menyampaikan keputusan tentang hak menyatakan pendapat kepada Mahkamah Konstitusi untuk mendapatkan putusan.
Ayat (3):
Dalam hal rapat paripurna DPR menolak laporan panitia khusus terhadap materi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 Ayat (4), hak menyatakan pendapat tersebut dinyatakan selesai dan tidak dapat diajukan kembali.
Ayat (4):
Keputusan sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) harus mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPR yang hadir.
BACA JUGA : DIBALIK RUU YANG HEBAT, ADA NASKAH AKADEMIK YANG KUAT
Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan: 1) Jika DPR menerima laporan Pansus, keputusan tentang hak menyatakan pendapat disampaikan kepada MK untuk mendapatkan putusan; 2) Jika DPR menolak laporan Pansus, maka hak menyatakan pendapat gugur dan tidak dapat diajukan kembali; 3) Keputusan tentang penolakan laporan Pansus harus disetujui paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPR yang hadir.
Apa yang menarik? Persetujuan (kuorum) ternyata hanya dibutuhkan untuk menolak laporan Pansus. Sedangkan untuk menerima laporan Pansus, tidak dibutuhkan jumlah persetujuan. Apa maknanya? Apakah memiliki dampak yang positif atau negatif bagi penguatan sistem Presidensil? Ah, biar para ahli saja yang menjelaskan. Saya hanyalah serpihan debu di tengah padang gurun yang gersang.
Dari proses Impeachment itu kita bisa lihat, hukum hanya bekerja di MK. Prosesnya, lebih banyak di ranah ‘politik’ ketimbang hukum. Ini yang oleh para ahli tata negara disebut sebagai impeachment setengah hati.
Kalau sekarang kita bilang bahwa impeachment itu tidak mudah, lantas mengapa masih banyak politisi yang berakrobat isu impeachment? Jangan-jangan memang bukan untuk tujuan impeach, tetapi untuk mengunci Presiden. Apa yang terjadi pada kasus Perppu, mungkin merupakan gambaran nyata, bahwa sebenarnya isu impeach yang dihembuskan hanya untuk menaikkan ‘bargaining’ atau posisi tawar politik. Karena itu bro, rakyat harus cerdas dalam menyikapi persoalan Perppu.
Bangunan Konstitusi kita dalam Impeachment Presiden yang lebih banyak mengandung unsur politis ketimbang hukum, sejatinya telah menggerus makna negara hukum itu sendiri. Apa yang disampaikan oleh Kepala Suku Mojok dalam esainya, adalah sesuatu hal yang perlu dicermati dan diperhatikan. Bukan hanya oleh para aktivis, tapi oleh seluruh rakyat Indonesia. Keberadaan DPR yang dibangun begitu ‘kuat’, memungkinkan melakukan politik Oligarki. Presidensial menjadi sangat utopis. Seperti yang dikatakan oleh Daru Supriyono, apakah Presidensiil akan bermetafosa menjadi presiden’sial’ atau presidensial’an. Rakyat akan menjadi saksi sejarah praktek politik oligarkis negara ini.
Benteng terakhir ketika hukum tidak bisa lagi menjadi panglima ketatanegaraan, maka rakyat harus berada di belakang Presiden untuk menopang kebijakan, melawan kebijakan yang tidak pro rakyat dari DPR. Sebagai penutup, jika Presiden pada akhirnya sepemahaman dengan DPR dalam Revisi UU KPK, maka tinggal akal sehat kita yang masih harus terjaga.