Halo gondes dan prendes yang budiman, dah lama nih Foxtrot gak nyapa kalian. Yah, kira-kira udah dua tahunlah. Gimana kabarnya? Masih tetep ndeso dan rendah hati kan?
Oiya, akhir-akhir ini kondisi perpolitikan Indonesia sedang hangat-hangat kuku, tentu aja karena Omnibus Law yang kabarnya dibuat secara sembunyi-sembunyi dan gak transparan itu. Demo dan unjuk rasa di mana-mana, peluru karet kadaluarsa berhamburan, korban berjatuhan, aset dan fasilitas negara yang bikinnya pake duit para wajib pajak banyak yang jadi tumbal salah sasaran untuk dirusak dan dibakar di sana-sini. Gedung-gedung pemerintahan yang dirusak itu pasti bakalan dibangun lagi pake duit rakyat donk, bisa-bisa jatah vaksin covid-19 yang harusnya gratis jadi gak gratis gegara buat bangun ulang fasilitas yang rusak itu. Eh, tapi renovasinya pake duit utangan luar negeri kan bisa, yang penting vaksin covid-19 tetep gratis buat semua warga negara Indonesia, kayak amanah di UUD 1945 Pasal 28 H Ayat (1) dan Pasal 34 Ayat (3).
Banyak pihak saling lempar tuduhan, jadi cuitan yang ngetrend di Twitter soal pejabat dan mantan pejabat, serta yang pura-pura menjabat untuk saling berbalas twit tentang siapa aktor intelektual di balik unjuk rasa yang merata di seluruh kota besar Indonesia. Kira-kira si aktor intelektual ini bakalan dapet penghargaan sutradara terbaik versi Festival Film Indonesia 2021 gak ya ndes?
Saking hebohnya soal Omnibus Law ini khalayak ramai pada lupa kalo tanggal 13 Oktober 2020 kemarin, yang jatuh pada hari Selasa Pahing 25 Sapar 1954 kalo miturut kalender Jawa, adalah hari kebesaran para wanita. Yoi ndes, tanggal 13 Oktober tiap tahunnya diperingati sebagai hari besar No Bra Day.
No Bra Day yang diperingati sebagian besar kaum Hawa, dan mungkin aja ada secuil kaum Adam yang ikut sumringah memperingatinya. Dicetuskan pertama kali pada tahun 2011 oleh seorang dokter ahli bedah plastik luar negeri bernama Dr. Mitchel Brown (dikutip dari Kompas.com). Selain sebagai lambang ‘kebebasan’ dan ‘perlawanan’ terhadap ‘kekangan,’ ternyata No Bra Day punya makna lebih dalem soal kesehatan.
BACA JUGA: KAMU PILIH BARANG ORI ATAU KW?
No Bra Day dicetuskan sebagai gerakan untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya kanker payudara, dengan cara mendorong dan memotivasi setiap wanita yang peduli untuk setidaknya setiap tanggal 13 Oktober menanggalkan penggunaan BH (buste houder) maupun brassierenya di rumah. Tentu aja sebaiknya BH ato bra tersebut ditinggalkan di rumahnya masing-masing ya, jangan juga ditinggal di rumah bapak-bapak wakil rakyat.
Bisa geger nanti.
Berdasarkan data Kemenkes tahun 2019, kanker adalah penyebab kematian kedua tertinggi sedunia. Dan di Indonesia kanker payudara pada wanita memiliki kedudukan tertinggi di antara jenis kanker lainnya, yaitu sebesar 42,1 per 100.000 penduduk dengan rerata kematian 17 per 100.000 penduduk seperti diberitakan oleh VOI.id.
Ngeri to ndes?
Penggunaan kutang dkk menjadi mitos penyebab utama kanker payudara. Kutang sebagai pihak lugu yang gak tau apa-apa, serta bermaksud baik dengan cara ‘mendukung’ salah satu aset kebanggaan kelompok jenis mamalia ini, malah dikambing hitamkan. Untung aja mitos ini udah dibantah lewat beberapa penelitian yang shahih soal penyebab kanker payudara. Intinya bukan penggunaan kutang yang jadi sebab kanker payudara, itu aja cukup gak usah dipanjang-panjangin.
Tentu saja dalam penggunaan kutang harus disertai dengan kesadaran dan tanggung jawab penuh, jangan berlebihan. Jangan menggunakan kutang tidak pada tempatnya, di kepala sebagai pengganti masker pencegah corona misalnya.
Ngomong-ngomong sejak kapan sih, masyarakat Indonesia mengenal kutang? Kan kalo dari bahasanya brassiere dan buste houder itu dari bahasa asing. Jangan-jangan ini semua konspirasi asing yang punya agenda kepentingan agar Indonesia tunduk dalam One Global Order. Penjajahan gaya baru lewat budaya penggunaan brassiere, buste houder dkk itu.
Pernah gak, liat lukisan ato gambar-gambar masyarakat Indonesia kuno jaman dulu yang para wanitanya gak pake kutang dan mereka terlihat biasa aja, cenderung bangga malahan.
Ternyata kutang pertama kali masuk Indonesia itu pada sekitar awal abad ke-19 dan dibawa oleh penjajah Belanda. Nah kan!!!
Pada masa itu masyarakat Indonesia belum mengenal penggunaan penutup dada, masyarakat saat itu adalah penggemar kebebasan hakiki. Alkisah kala itu pada saat pembangunan mega proyek jalan raya Anyer-Panarukan, penjajah Belanda mempekerjakan budak laki-laki dan perempuan. Mega proyek tersebut dimandori oleh seorang pejabat Belanda bernama Don Lopez, ketika pelaksanaan pembangunan si mandor yang bule itu agak gimana gitu liat para pekerja perempuan yang bertelanjang dada.
BACA JUGA: PELECEHAN SEKSUAL MENGANCAM KAUM PRIA!
Sehingga suatu saat si mandor tergerak untuk menutupi aset kebanggaan perempuan tersebut dengan cara menyobek secarik kain putih dan memberikan kepada salah seorang pekerja perempuan di lokasi sambil ngomong, “Tutup bagian yang berharga itu (coutant)” berkali-kali. Karena lidah masyarakat Indonesia yang fleksibel dan adaptif, akhirnya kata coutant diadopsi menjadi kutang (dikutip dengan perubahan seperlunya dari laman web Historia.id dengan judul artikel, “Di balik Kutang”).
Di negara Amerika, kutang memiliki sejarah yang lebih panjang dan dalam. Kutang dengan segala bentuk dan modelnya menjadi penanda jaman akan adanya sebuah tren yang terjadi. Kutang dkk pernah jadi standar kecantikan dan status sosial seseorang, pernah juga jadi lambang perjuangan dan protes kaum feminis terhadap tatanan yang udah ada.
Sekitar tahun 1970-an, kutang dengan segala inovasi teknologinya menjadi lambang akan adanya pengekangan terhadap kebebasan kaum perempuan di Amerika. Banyak kalangan perempuan yang melakukan protes dengan cara menolak penggunaan kutang dalam kegiatan mereka sehari-hari.
Singkatnya, biar gak jadi tulisan aneh, kutang aja bisa sebagai alat perjuangan menyuarakan aspirasi dan pemenuhan hak asasi manusia dalam kebebasan berpendapat. Mereka kaum anti kutang-kutang club menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap sebuah peristiwa sosial dan kebijakan tertentu dengan cara mengambil sebuah ikon yaitu KUTANG.
Siapa yang bisa bayangin kalo hal simpel semacam pelindung dada bisa jadi ikon perjuangan.
Berjuang memiliki banyak cara, bisa lewat demonstrasi dan unjuk rasa untuk menyerukan ke-tidak-setuju-an akan sebuah kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Bisa juga lewat tulisan yang heroik dan menggugah nalar tentang sebuah peristiwa, atopun lewat sarana dan prasarana ngajuin judicial review Omnibus Law (kalo udah jadi UU tentunya) ke Mahmakah Konstitusi.
Berlaku juga buat para pakar dan ahli metafisika, supranatural dan alam gaib agar ikut berjuang menurut keilmuan dan keahliannya masing-masing.
Tetep satu suara satu tujuan, #TOLAKOMNIBUSLAW!!!
FOXTROT
Penulis pura-pura yang sedang kehilangan arah.