Hola, sobat klikhukum.id. Kalian tentu sudah nggak asing dengan sosok yang dijuluki algojonya para koruptor. Ya, Artidjo Alkostar dikenal dengan keberanian dan dedikasinya yang tinggi terhadap keadilan serta sangat ditakuti para koruptor.
Walaupun nama beliau begitu melegenda di dunia peradilan Indonesia, ternyata dulunya Pak Artidjo nggak bercita-cita sebagai pemukul palu keadilan, loh guys! Lah, kok bisa?
Nah, setelah aku kulik dari berbagai sumber, ternyata Pak Artidjo sebenarnya ingin mendaftar di fakultas pertanian. Tapi takdir berkata lain, beliau malah berlabuh di Fakultas Hukum UII, karena saat itu pendaftaran fakultas pertanian sudah pada tutup.
Dari sinilah perjalanan beliau dimulai. Pada bulan September 1967, Pak Artidjo mulai berkuliah di Fakultas Hukum UII. Selama masa kuliahnya, beliau sering terlibat dalam gerakan mahasiswa dan bisa dibilang sebagai aktivis.
Setelah lulus, Pak Artidjo aktif di LBH Yogyakarta dan sempat mengambil pelatihan lawyer mengenai Hak Asasi Manusia di Columbia University selama enam bulan dan bekerja di Human Right Watch di New York, selama dua tahun.
Setelah pulang beliau mendirikan firma hukumnya sendiri yang dikenal Artidjo Alkostar and Associates. Tetapi harus menutupnya pada tahun 2000, karena terpilih sebagai hakim agung.
Beliau menjabat Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung Indonesia sejak 2007, hingga pensiun pada tahun 2018. Pak Artidjo kerap menangani kasus-kasus besar, seperti kasus Santa Cruz (Timor Timur) kasus pembunuhan Muhammad Syafruddin yang merupakan wartawan Bernas, suap impor daging dan masih banyak lainnya.
Beliau terkenal karena keberaniannya melawan arus dan menunjukkan ketegasan dalam menjalankan tugasnya sebagai hakim agung.
Selama bertugas beliau dikenal sebagai sosok yang tidak memiliki celah dalam bernegosiasi, sehingga putusannya dianggap sebagai tangan dingin dalam memutuskan perkara korupsi.
Beliau sering memberikan tambahan hukuman tanpa ampun bagi para koruptor, sehingga membuat mereka takut dan berpikir ulang untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Beberapa vonis brutal yang pernah diberikan buat menghukum para koruptor di antaranya, memperberat hukuman mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah dari 4 (empat) tahun penjara menjadi 7 (tujuh) tahun penjara. Sidang kasasi yang dipimpin Pak Artidjo juga mencabut hak politik Ratu Atut.
Selain itu, beliau juga memperberat hukuman politikus Demokrat Angelina Sondakh menjadi 12 tahun penjara di tingkat kasasi. Bernasib serupa, Anis Urbaningrum juga divonis berat menjadi 14 tahun.
Setelah pensiun pada 22 Mei 2018, beliau telah menyelesaikan sebanyak 19.708 berkas perkara di Mahkamah Agung dan kemudian menjadi Dewan Pengawas KPK periode 2019-2023.
Pak Artidjo tutup usia pada 28 Februari 2021 di usianya yang ke 73 tahun. Pada 4 Agustus 2021, Presiden Jokowi memberikan penghargaan Bintang Mahaputera Adipradana untuk Pak Artidjo.
Artidjo Alkostar adalah contoh nyata dari seorang hakim yang tidak hanya menjalankan tugasnya, tetapi juga mendedikasikan dirinya sepenuhnya untuk menjaga keadilan dan integritas dalam sistem peradilan.
Beliau merupakan hakim yang tidak berhenti mengasah rasa keadilan dan pengajar yang tidak berhenti menjadi pembelajar.
Dengan kisah perjalanan serta kontribusinya yang luar biasa, tidak diragukan lagi bahwa beliau layak diapresiasi dan dihormati sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah peradilan Indonesia.