Hello, precious people!
Tanggal 13 Februari 2023, majelis hakim menjatuhkan vonis hukuman mati kepada FS (Ferdi Sambo), terdakwa pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat. Jujur, agak kaget sih. Karena vonis yang dijatuhkan oleh pak hakim melebihi dari tuntutan penuntut umum.
Dilansir dari REPUBLIKA.co.id, pihak Kejaksaan Agung RI mengapresiasi Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menjatuhkan vonis mati. Hal itu disampaikan oleh Ketut Sumedana (Kepala Pusat Penerangan Kejagung RI).
“Kami mengapresiasi putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menjatuhkan vonis mati terhadap terdakwa Ferdy Sambo.” –
Hmm, menarik ya. Apakah vonis yang dijatuhkan hakim melebihi dari tuntutan penuntut umum sesuai dengan koridor peraturan perundang-undangan? Yuk, mari kita bahas!
Ius curia novit – Seorang Hakim dianggap tahu akan hukumnya.
Jadi begini guys, di dalam hukum acara pidana, ada yang namanya ultra petita. Dari terminologinya, ultra petita berasal dari bahasa latin, yakni ultra artinya sangat, ekstrim, berlebihan. Sedangkan petita berarti permohonan. Singkatnya, ultra petita merupakan putusan yang melebihi dari yang dituntut oleh penuntut umum.
BACA JUGA: 3 ALASAN KENAPA RICARD ELIEZER GAK MUNGKIN DIPUTUS BEBAS
Jadi guys, emang boleh dan sesuai kok, kalau hakim menjatuhkan hukuman melebihi apa yang dituntut oleh penuntut umum. Kecuali dalam perkara perdata ya, ultra petita hanya diperbolehkan dalam perkara pidana, selagi vonis yang dijatuhkan tidak keluar dari pasal yang didakwakan.
Eits, tapi nggak boleh ‘ugal-ugalan’ alias asal memutus. Semuanya harus berdasar. Asal kalian tahu, dalam menjatuhkan vonis itu banyak banget pertimbangan dan prosesnya. Lebih ribet daripada urusan percintaan lo. Apalagi percintaanmu, iya kamu. Xixixi.
Nih ya, sebelum dijatuhkannya vonis kepada terdakwa, majelis hakim harus mengadakan musyawarah. Hayo, dibuka ya, ‘kitab anak hukumnya’ mas-mbak, tepatnya pada Pasal 182 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana alias KUHAP.
Noh, bunyinya:
“(3) Sesudah itu hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, penasihat hukum, penuntut umum dan hadirin meninggalkan ruang sidang.”
Dan majelis hakim dalam musyawarah tersebut nggak bisa suka-sukanya, alias harus berdasar. Pada apa? Ya, pada surat dakwaan dan fakta persidangan yang terungkap pada proses pembuktian.
Coba lihat ayat selanjutnya yakni (4) KUHAP, yang berbunyi:
“(4) Musyawarah tersebut pada Ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.”
Jadi gitu ya, guys ya. Oke, lanjut ngomongin ultra petita.
Contoh putusan ultra petita adalah vonis mati Ferdi Sambo, bro. Kemarin, Pakde Wahyu Iman Santoso selaku hakim ketua membacakan putusan vonis mati, padahal yang dituntut oleh penuntut umum adalah penjara seumur hidup.
Apakah hakim pada perkara a quo sewenang-wenang? Ringkasnya, enggak.
Kenapa enggak? Coba diingat, penuntut umum menuntut Ferdi Sambo berdasarkan Pasal 340 subsider Pasal 338 j.o Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana alias KUHP.
Lihat isi Pasal 340 KUHP sebagai pasal primair, bro. “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”
Analisis sendiri, apakah vonis hakim pada kasus Ferdi Sambo ini keluar dari jenis ancaman pidana yang tertuang dalam Pasal 340 KUHP yang terdiri dari pidana mati atau pidana seumur hidup atau paling lama 20 tahun? Enggak, kan?
Majelis hakim berani memutus hukuman mati karena Ferdi Sambo terbukti secara sah dan meyakinkan dengan sengaja merencanakan untuk membunuh Nofriansyah Yosua Hutabarat.
So, ultra petita diperbolehkan asalkan masih dalam koridor surat dakwaan penuntut umum.
Dengan kata lain, hakim boleh menjatuhkan hukuman yang lebih berat dari yang dituntut penuntut umum, selagi tidak melebihi hukuman maksimal dalam pasal yang didakwakan.
Analogi mudahnya begini, misalkan hukuman terberat yang diatur adalah penjara 10 tahun, terus hakim vonis mati. Nah, itu baru membagongkan bin aneh, bro. Itu yang nggak boleh.
Kesimpulannya, dalam kasus Ferdi Sambo, ultra petita terjadi karena hukuman yang dijatuhkan hakim lebih berat dari apa yang dituntut oleh penuntut umum. Tapi gak masalah sih, karena ultra petita hakim masih berdasarkan pada peraturan dan sumber hukum positif yang ada.
That’s all from me, see you in the next article!