Kalau kita bicara soal hukum pidana, ada satu hal penting yang sering luput dari perhatian masyarakat, yaitu fun fact bahwa aturan tentang pidana hanya boleh dibuat di tingkat Undang-Undang (UU) dan Peraturan Daerah (Perda). Artinya, kita tidak akan menemukan sanksi pidana di peraturan pemerintah, peraturan presiden, apalagi sekadar peraturan menteri. So, kenapa bisa begitu?
Asas Legalitas (Tidak Ada Pidana Tanpa Aturan)
Dalam hukum pidana, ada prinsip dasar yang disebut asas legalitas (nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali). Artinya, tidak ada perbuatan yang bisa dihukum kalau belum ada aturannya dan aturan itu harus ada sebelum perbuatan dilakukan. Prinsip ini dijamin dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa :
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan peraturan perundang-undangan pidana yang telah ada.”
Jadi, untuk bisa menjatuhkan pidana, aturan hukumnya harus jelas, tegas dan disahkan melalui proses yang sah secara hukum.
BACA JUGA: PERUBAHAN-PERUBAHAN MENDASAR PADA KUHP LAMA KE KUHP BARU, ADA APA AJA?
Kenapa Hanya di UU dan Perda?
Alasan utamanya ya, karena proses pembentukan undang-undang maupun Perda ada keterlibatan rakyat di sana. Misal, undang-undang dibuat bersama antara presiden dan DPR. Di sinilah rakyat terwakili lewat anggota DPR yang dipilih melalui pemilu. Selanjutnya terkait Perda dibuat oleh kepala daerah bersama DPRD. Sama seperti DPR, anggota DPRD juga dipilih langsung oleh masyarakat di daerahnya.
Dengan begitu, setiap aturan pidana yang bisa membatasi kebebasan seseorang lahir dari proses politik yang melibatkan rakyat. Inilah alasan filosofis kenapa sanksi pidana tidak boleh lahir dari aturan yang dibuat sepihak oleh pemerintah atau menteri, karena bisa menimbulkan kesewenang-wenangan.
Bayangkan kalau setiap menteri bisa seenaknya membuat aturan pidana. Hari ini Menteri A bisa bilang, “Yang tidak pakai masker dipenjara tiga bulan,” besok Menteri B bisa bilang, “Yang tidak beli produk lokal dipenjara enam bulan.” Tentu itu berbahaya bagi kebebasan warga negara.
Landasan Hukum Positif
Ketentuan Pidana juga ditegaskan dalam Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ( terakhir diubah dengan UU No. 13 Tahun 2022), yang menyebut bahwa ketentuan pidana hanya boleh dimuat dalam UU dan Perda.
Bahkan, Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusannya juga menegaskan bahwa, karena pidana menyangkut pembatasan hak asasi manusia yang sangat mendasar (seperti kebebasan bergerak dan hak atas rasa aman), maka hanya lembaga dengan legitimasi politik tertinggi (DPR/DPRD bersama eksekutif) yang berwenang mengaturnya.
BACA JUGA: 3 JENIS PIDANA DALAM KUHP TERBARU
Hukuman Pidana Itu “Ultimum Remedium”
Dalam teori hukum, pidana disebut sebagai ultimum remedium atau obat terakhir. Artinya, pidana hanya dipakai kalau cara lain tidak efektif. Karena itu, pembuatannya harus benar-benar hati-hati. Dengan meletakkannya hanya di UU dan Perda, negara ingin memastikan bahwa penggunaan pidana sudah melalui proses panjang seperti pembahasan, perdebatan, bahkan pro dan kontra di parlemen.
Hal ini juga sejalan dengan semangat demokrasi kita bahwa setiap aturan yang bisa membatasi kebebasan warga negara harus mendapat persetujuan dari wakil rakyat.
Jadi, sekarang jelas ya, kenapa aturan pidana hanya ada di undang-undang dan Perda. Alasannya bukan semata teknis hukum, tapi juga filosofis dan demokratis. Dengan begitu, rakyat tidak bisa begitu saja dikekang oleh aturan sepihak, melainkan dilibatkan melalui wakilnya di DPR atau DPRD.
Hukuman pidana itu sebuah persoalan serius. Ia bisa membuat seseorang kehilangan kebebasannya, bahkan harta dan masa depannya. Karena itu, wajar kalau negara menempatkan aturan pidana hanya di ruang yang benar-benar memiliki legitimasi rakyat, yakni undang-undang dan peraturan daerah.