Pertembakauan duniawi emang selalu eksotis, seksi dan menarik untuk dibahas. Baik dari segi kultural dan ekonomi. Saking menariknya sejak masa kolonial sampek Mas Elon bikin space ship, masalah tembakau selalu aja jadi bahan gorengan pihak berkepentingan.
Ibarat pedang bermata panda, satu sisi tembakau dengan IHTnya menghasilkan pundi-pundi rupiah bagi negara, sedangkan di sisi lain IHT juga semakin dipersulit ruang geraknya. Mau duitnya tanpa melihat dosanya. Sampek sekarang banyak kebijakan yang berstandar ganda.
Menggenjot penerimaan negara, tapi giliran ngomongin soal hak perokok rerata para pengampu kebijakan macak budheggak mau ndengerin pendapat penikmat rokok. Padahal kan baik yang merokok maupun tidak merokok sama-sama warga negara Indonesia to ndes?
Ada diksriminasi terhadap kaum perokok. Ambil contoh aja terkait kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Nama yang sebenere keren tapi justru malah jadi gorengan dan alat politik penguasa. Kalo boleh main anabel (analisa gembel) ibarat kawasan dilarang parkir pun wajib menghadirkan kantong-kantong parkir di sekitarnya. Ya kalik, enggak dikasih kantong parkir. Emange mau digendong ke mana-mana itu kendaraannya?
BACA JUGA: CURKUM #5 JADILAH PEROKOK SANTUY
Coba kamu sekali-kali dayagunakan isi kepalamu itu biar gak jadi pajangan tok ndes. Logikanya gak adil dong, masak ada aturan soal Kawasan Tanpa Rokok, tapi gak pernah ada aturan tentang Kawasan Khusus Merokok.
Padahal nih, berkali-kali Foxtrot kutip pendapat hakim dari putusan Mahkamah Konstitusi No. 57/PUU-IX/20110 tentang judicial review Undang-undang kesehatan yang bilang kalo merokok merupakan kegiatan yang legal dan diijinkan oleh hukum.
Merokok adalah kegiatan yang legal alias tidak dilarang. Perokok (santun) bukan kriminal tapi kenapa aktivitas merokoknya selalu dikriminalisasi dan dikangkangi kepentingan lain. Di dalem putusan MK tersebut, setiap KTR wajib (wajib ya, bukan sunah) untuk menyediakan tempat merokok. Anehnya, banyak sekali peraturan daerah tentang KTR yang gak mengatur kawasan khusus merokok.
Nah, jadi rentan terjadi abuse of power penguasa berupa pengabaian hak-hak para perokok. Udah dibilangin kedudukan perokok dan bukan perokok itu sama di depan hukum kok masih aja ngeyel.
Tapi kenapa banyak buangets peraturan setingkat Perda yang tidak mentaati putusan MK soal JR UU Kesehatan itu ndes?
Sejak aturan soal KTR dihembuskan di 2009 sampek sekarang ini, udah ada 375 perda tingkat kabupaten dan kota yang mengatur soal KTR. Dan hampir semuanya hanya mengatur soal kawasan tanpa rokok. Isinya dilarang merokok di sana dan di situ, gak boleh menyediakan rokok dan asbak, bungkusnya pun dilarang, tapi gak pernah ada yang ngatur tentang kawasan khusus merokoknya.
Padahal jelas antara hak dan kewajiban itu seiring dan sejalan, cacat salah satunya dijamin yang lain akan ikut macet.
Secara hierarki, peraturan perundangan UU stratanya lebih tinggi daripada Peraturan Daerah. Sejak jaman Plato ngalamun soal konsep masyarakat ideal di tahun 300-an SM sampek sekarang asas legalitas selalu dijunjung tinggi semua pihak. Tapi kenapa akhir-akhir ini asas legalitas seolah dianggap gak berlaku lagi. Harusnya perda KTR di beberapa kabupaten/kota gak boleh bertentangan dengan UU Kesehatan plus PP 109/2012.
Katanya pengen jadi wellfare state, tapi soal aturan hukum masih pada tumpang tinding. Trus, gimana masyarakatnya mau taat hukum ndes?
Menurut bapak wellfare state internasional Prof. Mr. R. Kranenburg, wellfare state terjadi apabila negara berperan secara aktif mengupayakan kesejahteraan, bertindak adil serta dapat dirasakan seluruh masyarakat secara merata dan seimbang, mensejahterakan seluruh masyarakat bukan golongan tertentu saja.
Lalu apakah perokok bukan termasuk masyarakat yang harus diperlakukan secara adil dan seimbang oleh negara? Setau Foxtrot sih, gak ada syarat menjadi warga negara Indonesia yang mengharuskan untuk tidak merokok.
Apabila negara tidak mampu berlaku adil dan seimbang, maka permasalahan KTR ini akan selalu muncul dari tahun ke tahun. Bakalan jadi bahaya laten yang pelan-pelan menggerogoti dan menggerus jati diri bangsa dari dalem.
Justru saat seperti inilah peran serta negara sangat ditunggu-tunggu untuk menyelesaikan konflik menahun soal KTR. Gak melulu mikirin Formula E dan lautan yang tercemar paracetamol wae.
BACA JUGA: SABU DAN GANJA, BEDANYA APA SIH?
Negara harus hadir dan menjadi penengah, kembali menegakkan hukum sesuai khittahnya tanpa memandang kepentingan golongan tertentu aja. Bahwa setiap KTR wajib dilengkapi kawasan khusus merokok adalah harga yang gak bisa ditawar lagi. Dan perokok serta yang tidak merokok dapat saling tersenyum.
Perokok maupun tidak perokok sama-sama warga negara Indonesia yang pada dirinya melekat hak asasi dan dilindungi oleh konstitusi. Hak asasi setiap manusia dengan manusia lainnya harus berjalan harmonis seiring dan seimbang tanpa merugikan yang lain. Harus ada sebuah aturan yang mampu mengakomodir perokok dan bukan perokok, agar tidak ada dusta di antara kita.
Udah bukan masanya masyarakat perokok dibenturkan dengan masyarakat yang tidak merokok dengan dalih pembinaan kawasan dilarang merokok hanya demi mengais perhatian dari ‘filantropi’ asing dan menggadaikan jati diri bangsa.
IHT khususnya kretek sebagai warisan luhur budaya bangsa. Kalo bukan kita yang memperjuangkan, lalu siapa lagi? Jangan sampai kretek senasib dengan warisan budaya yang sudah-sudah, dikangkangi dan dimonopoli pihak lain dengan dalih ndakik-ndakik sundul langitnya.
AUTHOR NOTE:
Whataboutisme adalah kesesatan berpikir yang haqiqi.