Seperti biasa, setiap ada deadline bikin artikel, ehh aku-nya stuck gak punya ide. Inilah penyakit penulis amatir kaya aku. Beruntung, habis ngobrol sama temen-temen Detik Mahasiswa Hukum (DMH), jadi dapet ide deh,mau nulis apa. Ada satu pembahasan menarik yang pengen aku angkat dalam artikel kali ini, yaitu tentang realita karier dan keluarga seorang hakim.
Seperti biasa, kalo ngobrol di grup wa, topiknya bisa melebar ke mana-mana. Dari bahas narkoba, negara, ujungnya ngebahas cita-cita. Seorang Lim bercerita bahwa dia adalah mahasiswa semester lima yang bercita-cita menjadi seorang hakim. Wah, keren sekali. Sebagai seorang tante kakak yang baik, tentu saja aku mensupport cita-cita mulia tersebut.
Sebagai seorang mahasiswa, Lim penuh dengan energi, semangat dan kemauan yang luar biasa untuk mewujudkan cita-citanya. Seorang Lim meyakini, banyak hal yang ingin dia perjuangkan ketika menjadi seorang hakim. Dan dia hanya mempercayai dirinya sendiri. Luar biasa, seorang mahasiswa tulus ingin menjadi agen perubahan. Mantab kali lah.
Sebagai seorang kakak yang baik, selain memberikan support, tentu aku juga harus memberikan pandangan yang realistis terhadap cita-citanya. Begini, setiap pilihan itu pasti ada konsekuensinya. Menjadi seorang hakim itu berat, apalagi untuk seorang perempuan kayak kita ini, Lim.
BACA JUGA: 4 ALASAN MAHASISWA ENGGAN MEMILIH KONSENTRASI HTN
Jadi keinget sebuah kisah. Sekira tahun 2019, aku otw ke Makassar, di pesawat aku duduk bersebelahan dengan seorang ibu berusia paruh baya. Setelah ngobrol-ngobrol agak lama, aku baru tau ternyata si ibu adalah seorang hakim.
Si ibu bercerita bahwa dia bangga sekali menjadi seorang hakim. Suami si ibu juga seorang hakim, tetapi mereka bertugas di tempat yang sangat berjauhan. Si ibu bertugas di Pulau Jawa, sedangkan sang suami bertugas di Sulawesi.
Kekepoanku terus berlanjut, aku tanyain deh, selain sukanya apa sih, dukanya menjadi seorang hakim. Si ibu menjawab bahwa dia kesulitan membagi waktu antara karier dan keluarga. Tau sendirikan hakim itu selalu berpindah-pindah, gak pernah stay lama di suatu daerah. Sebagai seorang ibu, tentu ke manapun ia pergi, si ibu berusaha membawa anak-anaknya ikut serta.
Nah, ada suatu masa, anak-anak sudah capek dan gak mau pindah-pindah sekolah lagi, hingga akhirnya memutuskan untuk ikut eyangnya aja. Di sinilah si ibu harus memilih, karier atau keluarga.
Selain itu, berhubung suami si ibu juga seorang hakim, tentu saja si ibu dan suaminya juga jarang bertemu dan menjalani perkawinan jarak jauh alias LDR.
Si ibu juga bercerita bahwa ia sulit untuk bertemu dengan suami dan anak-anak dalam waktu bersamaan. Entah karena kesibukan atau juga terhalang biaya yang relatif cukup mahal. Ditambah masa pandemi kaya gini ya, mau ke mana-mana susah. Kebayang sedihnya kalo pas lagi kangen anak dan suami.
Keterbatasan seorang hakim untuk memiliki waktu bersama suami, anak atau istri, berlaku juga terhadap ayah, ibu dan sanak keluarga. Pindah ke sana-kesini, merantau ke sana-kemari. Makanya ada istilah hakim itu besar di rantau, tua di jalan.
BACA JUGA: KISAH 2 HAKIM YANG ‘DIBUNGKAM’ SELAMANYA
Dari kisah si ibu hakim, setidaknya aku jadi tau bahwa pengorbanan mereka untuk menjadi hakim luar biasa. Demi menegakkan hukum dan keadilan, mereka rela mengorbankan cinta dan keluarga.
Well, kisah semacam ini mungkin gak cuma dialami oleh seorang hakim. Setauku jaksa ataupun pegawai negeri sipil di kementerian juga harus siap untuk ditugaskan di daerah manapun, termasuk di pelosok-pelosok Indonesia. Setiap pilihan yang dijalani pasti ada kekurangan dan kelebihannya, tinggal ditimbang-timbang lagi aja.
Ketika masih mahasiswa, single, bebas dan merdeka, hal-hal semacam ini belum menjadi pertimbangan. Tapi ketika telah berkeluarga dan memiliki anak, tentu kegalau-kegalauan semacam ini auto menghampiri.
Begitulah nasehat dariku, yang langsung ditanggapi Lim dengan cepat “Gak papa Kak, kadang memang kita harus ditampar dengan kenyataan, baru sadar sebenarnya kita lagi berhayal atau berjuang.” Bah, keren juga. Mantab kali responnya.
Btw, ayo Lim, lanjutkan dan perjuangkan cita-citamu menjadi hakim. Jadilah hakim yang baik, sebagaimana dilambangkan dalam kartika, cakra, candra, sari dan tirta yang menjadi cerminan perilaku hakim yang senantiasa berlandaskan pada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, adil, bijaksana, berwibawa, berbudi luhur dan jujur. Proud of you.