Sewaktu kuliah, saya pernah mengambil mata kuliah pilihan yang dianggap horor bagi anak-anak hukum di almamater saya, yaitu mata kuliah Pengujian Peraturan Perundang-undangan. Saya sih, merasa biasa saja dengan mata kuliah tersebut, tapi saya kurang mengerti kenapa mata kuliah itu dianggap horor dan pada akhirnya dihindari oleh mayoritas teman-teman saya saat itu.
Kalau saya boleh menduga, mungkin karena mata kuliah itu termasuk salah satu cabang dari ilmu hukum tata negara. Entah kenapa, sampai sekarang hukum tata negara masih dianggap sebagai penghalang utama orang-orang yang punya ambisi besar untuk lulus kuliah dalam waktu 3,5 tahun. Makanya yang ngambis lulus cepat di almamater saya biasanya pada ngambil konsentrasi hukum yang diampu oleh dosen-dosen yang gak pelit nilai. Ada yang emang karena minat di konsentrasi itu, dan gak sedikit yang mengambil karena alasan dapat nilainya lebih mudah, ngoahahahahahahahaha. Maaf, kelepasan.
Dunia setelah lulus kuliah itu lebih kejam. Jadi agak disayangkan aja sih, kalau sedari kuliah cuma mau main aman dengan cara ngambil mata kuliah yang dipandang dosennya gampang ngasih nilai. Tapi setelah lulus ilmunya apa kabar? Padahal masa kuliah adalah masa-masa paling menyenangkan buat menimba ilmu. Kalau salah dan berakhir dengan nilai jelek paling juga cuma kudu ngulang di semester berikutnya.
Oke, lupakan soal alasan mengapa hukum tata negara beserta cabang-cabangnya dianggap sebagai cabang ilmu hukum yang rumit dipelajari dan bikin banyak mahasiswa hukum enggan mengambil konsentrasi hukum tata negara kecuali bagi mereka yang punya jiwa-jiwa pilih tanding dan siap jadi mahasiswa abadi. Eh, maksud saya, mendalami perkuliahan dengan sepenuh hati. Yang itu kapan-kapan saja saya bahasnya.
BACA JUGA: PRODUK HUKUM TAP MPR, BISAKAH DI JR ?
Kembali ke cerita. Saat itu, Mas Andi Sandi, dosen saya yang mengajar mata kuliah tersebut mengajukan beberapa pertanyaan yang menarik terkait pengujian peraturan perundang-undangan. Salah satunya adalah bagaimana kalau misal Termohon terlambat mengirim jawabannya apabila pengujian peraturan perundang-undangan dilakukan di Mahkamah Agung? Sebuah pertanyaan yang sebenarnya terlihat sederhana tapi ternyata sulit juga jawabannya. Sangat khas sekali dengan Departemen Hukum Tata Negara di almamater saya.
Ini serius lho. Sebagaimana kita ketahui, pengujian peraturan perundang-undangan itu ada dua jenis, yaitu pengujian Undang-Undang dengan batu uji berupa Undang-Undang Dasar yang dilakukan di Mahkamah Konstitusi dan pengujian peraturan perundang-undangan yang secara hierarki di bawah Undang-Undang dengan batu uji berupa Undang-Undang yang dilakukan di Mahkamah Agung.
Kalau pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Konstitusi, sih, masih seru. Mereka sudah menyediakan mekanisme persidangan sehingga para pihak bisa beradu argumen di depan hakim. Lha, kalau pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung? Nah, ini dia masalahnya.
Dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, gak ada satupun pasal yang mengatur mengenai persidangan untuk pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung. Itu artinya pelaksanaan pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung, ya cuma adu berkas doang antara Pemohon dan Termohon yang merupakan badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan.
Masih terkait dengan pertanyaan Mas Andi Sandi tadi. Berdasar Pasal 3 Ayat (4) Perma Hak Uji Materiil, disebutkan bahwa Termohon wajib mengirimkan jawaban atas permohonan Pemohon kepada Panitera Mahkamah Agung dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak salinan permohonan diterima oleh Termohon.
BACA JUGA: DC MULAI REDUP
Persoalannya adalah perintah dengan kata “wajib” tersebut tidak diikuti dengan sanksi alias lex imperfecta. Apa coba sanksinya kalau misal telat mengirim jawaban? Jadi jangan heran kalau ada saja badan atau pejabat tata usaha negara yang produk peraturannya diuji, eh, malah ngirim jawabannya terlambat.
Jangan salah, ini pernah kejadian beneran, lho. Kalau gak percaya, coba deh googling Putusan Nomor 37/P/HUM/2017 yang membatalkan sejumlah pasal dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam Trayek.
Dalam Putusan Nomor 37/P/HUM/2017 itu, para hakim yang melakukan uji materiil cuma bilang kalau Termohon, dalam hal ini pihak Kementerian Perhubungan sebenarnya sudah mengirimkan jawaban atas permohonan tersebut. Cuma sayangnya jawaban yang dikirim itu telat. Cek aja di halaman 71 Putusan Nomor 37/P/HUM/2017.
Nah, masalahnya adalah majelis hakimnya gak bilang apakah jawaban yang dikirim itu jadi bahan pertimbangan dalam memutus Putusan Nomor 37/P/HUM/2017 itu atau jawabannya malah gak dipakai sama sekali karena keterlambatan pihak Kementerian Perhubungan mengirimkan jawabannya. Pada akhirnya ya gak jelas juga, jawabannya Kementerian Perhubungan diapain sama majelis hakimnya.
Oh ya, yang lebih bikin saya heran lagi adalah kantornya Kementerian Perhubungan ini kan alamatnya terletak di Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 8, Jakarta Pusat. Lucunya, alamatnya Mahkamah Agung ada di Jalan Medan Merdeka Utara Nomor 9-13, Jakarta Pusat. Kalau saya hitung jaraknya pakai aplikasi Google Maps, dua lembaga ini jaraknya cuma 2 kilometer. Lha, kok bisa dalam waktu dua minggu jawabannya Kementerian Perhubungan gak nyampai-nyampai ke Mahkamah Agung? Masih sebuah misteri.