Kelak, ketika sudah lulus dari fakultas hukum, teman-teman yang memilih istiqomah menggeluti dunia hukum, tentu akan menjadi seorang praktisi hukum. Entah jadi hakim, jaksa, polisi (penyidik), advokat, notaris atau profesi apa aja deh yang berkaitan dengan dunia hukum. Saat itu, banyak hal baru yang bakal teman-teman temui, termasuk cara mempraktekkan teori-teori yang didapat di bangku kuliahan.
Kalo teman-teman adalah mahasiswa fakultas hukum, jangan kaget kalo nemuin perbedaan antara teori dan praktek tentang ilmu hukum. Kadang beberapa aturan gak dibuat secara detail. Jadi wajar aja kalo dipahami orang secara ‘sederhana.’
Bisa dibilang, banyak hal baru yang aku temui dalam praktik hukum. Jadi lebih banyak learning by doing-nya. Apa yang kita pelajari di kampus itu cuma dasar-dasarnya, prakteknya mungkin agak geser-geser dikit lah.
Gini aja deh, biar gampang ngebayanginya. Aku kasih sedikit rahasia kecil seorang praktisi hukum. Let’s check it out!!
Perjanjian Batal Demi Hukum
Buat temen-temen yang kuliah di fakultas hukum pasti sudah khatam tentang syarat sahnya perjanjian. Seperti yang kita ketahui bersama, Pasal 1320 KUHP Perdata sudah mengatur empat syarat sahnya perjanjian. Antara lain:
- kesepakatan para pihak;
- kecakapan para pihak;
- suatu hal tertentu;dan
- sebab yang halal.
BACA JUGA: PERBEDAAN KANTOR ADVOKAT DAN LBH
Poin satu dan dua itu merupakan syarat subjektif sebuah perjanjian, sedangkan poin tiga dan empat itu merupakan syarat objektif sebuah perjanjian. Kalo suatu perjanjian nggak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan, kalo suatu perjanjian nggak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
“Dapat dibatalkan” artinya salah satu pihak dapat memintakan pembatalan, namun perjanjiannya masih tetap mengikat kedua belah pihak selama tidak dibatalkan oleh hakim.
Sedangkan “Batal demi hukum” artinya adalah perjanjian itu dari semula dianggap nggak pernah ada. Jadi dianggap nggak pernah ada suatu perikatan.
Nah, gitu kan teorinya. Betul, apa betul?
Lalu, gimana dengan prakteknya? Apa betul begitu? Apa iya, perjanjian bisa ujug-ujug “Batal demi hukum”? Ney, ney, prakteknya gak semudah itu kawan.
Selama aku menjadi praktisi hukum, aku udah berkali-kali nemuin perjanjian yang gak memenuhi syarat objektif, yang gak otomatis “Batal demi hukum.” Misalnya udah jelas-jelas suatu perjanjian dibuat dengan niat ‘melanggar hukum,’harusnya kan dianggap gak pernah ada, karena tidak memenuhi syarat objektif ‘sebab yang halal.’
Tapi nyatanya perjanjian itu tetap sah dan mengikat, sehingga tetap harus dimintakan pembatalan di pengadilan.
Gak cuma sekali, dua kali, tapi berkali-kali aku nemuin. So, apa itu konsekuensi perjanjian ujug-ujug “Batal demi hukum?”
Belum lagi kalo yang bikin perjanjian adalah sebuah perusahaan besar, yang melibatkan uang besar. Ah, gak ada ceritanya kedua belah pihak saling legowo dan setuju perjanjian itu dianggap “Batal demi hokum.” Pasti ujung-ujungnya tetep aja melalui proses permohonan pembatalan perjanjian dulu di pengadilan.
See, itu maksudku bahwa teori dan praktek gak selalu sama yaa chyiin.
Pembelaan Terpaksa
Akhir-akhir ini istilah pembelaan terpaksa sering banget beredar di media sosial kita. Ada beberapa kasus yang bikin istilah ini populer di masyarakat. Misalnya kasus pelajar yang membunuh pelaku begal yang mau memperkosa pacarnya. Atau yang terbaru kasus kakek yang membacok pencuri ikan.
Kalo kita baca berbagai komentar netizen, banyak yang bilang bahwa si pelajar dan si kakek ini seharusnya tidak dihukum, karena mereka telah melakukan pembelaan terpaksa.
Selain itu, masih banyak juga loh, postingan yang berseliweran di media sosialku. Yang isinya kurang lebih menyatakan bahwa jika ada maling masuk ke rumah, lalu kita aniaya dan lumpuhkan, itu boleh secara hukum. Kalo kita diuber ‘klitih’ (istilah untuk segerombolan anak nakal di Jogja) disikat, dibunuh juga boleh. Karena itu adalah pembelaan terpaksa.
Wadudududududu, ini persepsi yang mlenceng dan keliru!!!!
BACA JUGA: 5 ALASAN JASA ADVOKAT MAHAL
Gini loh, Pasal 49 Ayat (1) KUHP mengatur bahwa:
“Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain; terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana.”
Memang bener, berdasarkan ketentuan Pasal 49 tersebut, kalo seseorang menerima ancaman serangan atau tindakan kejahatan dari orang lain, maka orang tersebut boleh melakukan suatu pembelaan. Tapi, ya gak semua perbuatan pembelaan yang dilakukan oleh korban kejahatan itu termasuk dalam kategori pembelaan terpaksa.
Ada syarat dan ketentuan untuk disebut sebagai sebuah ‘pembelaan terpaksa,’ yaitu harus ada suatu serangan, sehingga pembelaan itu sangat diperlukan dan dilakukan seketika itu.
Contohnya gini, ada pencuri yang masuk ke rumah orang, lalu si pencuri menyerang orang yang punya barang itu dengan pisau. Yang punya rumah boleh melawan untuk mempertahankan diri dan melindungi barangnya dengan seketika. Tapi, kalo si pencuri sudah tertangkap dan barangnya kembali, maka si pencuri gak boleh dipukulin lagi. Apalagi sampe dibunuh.
Nah, jadi kalo si pencurinya baru masuk rumah, ketauan sama yang punya rumah, lalu si pencuri lari, lantas diuber sama yang punya rumah, pas ketangkep dipukulin habis-habisan. Itu sih, namanya bukan pembelaan terpaksa ya.
Itu dua rahasia kecil dari aku, tentang praktek hukum pidana dan perdata yang pernah aku alami. Ini sih, baru dua ya. Sebenernya masih banyak lagi. Next kalo rame, bisa bikin part dua dan seterusnya. Hahahahaha.
Saran ya … Kalau boleh sich di tambahkan contoh peristiwa Hukum baik dari A. perjanjian batal demi hukum maupun B.Pembelaan terpaksa supaya para pembaca nitizen lebih memahami tentang delik tersebut.
# Kesan klikhukum id.is the best.