Rasa-rasanya, saat ini Emmanuel Macron merupakan public enemy dari negara-negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Ya gimana tidak? Pidatonya yang dianggap menggeneralisir umat Islam memicu amarah di berbagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam.
“Islam adalah agama yang sedang mengalami krisis di manapun di dunia ini,” demikian yang diungkapkan oleh Macron dalam pidatonya pada 2 Oktober 2020 kemarin.
Nah, gara-gara pidato kontroversial tersebut, Kementerian Luar Negeri Prancis yang kebagian jatah untuk ‘membersihkan’ masalah yang muncul akibat ekses dari pidato tersebut, salah satunya adalah mengeluarkan pernyataan agar negara-negara Arab yang melakukan boikot terhadap produk-produk dari Prancis mencabut seruan boikot tersebut.
“Semua boikot ini tidak berdasar dan harus segera dihentikan, serta semua serangan terhadap negara kami, yang didorong oleh minoritas radikal,” kata pernyataan itu.
Tidak berhenti sampai di situ, bahkan Duta Besar Prancis di berbagai negara juga kerepotan buat menjelaskan pidatonya presiden mereka. Hal yang sama juga dilakukan oleh Duta Besar Prancis untuk Indonesia, Oliver Chambard dalam artikel di laman resmi Kedutaan Besar Prancis di Jakarta pada 31 Oktober 2020 dengan judul, “Apa yang dimaksud oleh Presiden Macron sebenarnya.”
BACA JUGA: KENYALNYA PASAL KARET UU ITE
Dalam artikel tersebut secara garis besar sih, penjelasannya begini, “Sabar to, yang dimaksud Presiden Macron itu Islamisme radikal yang dilawan, bukan Islam secara keseluruhan. Yang kami bela itu kebebasan berpendapat kami. Toh, kami punya prinsip bernama ‘laïcite’ yang sama dengan keberadaan Pancasila bagi negara kalian.”
Yah, gara-gara menyaksikan Kementerian Luar Negeri Prancis yang jadi pontang-panting mengklarifikasi pidato presiden mereka, saya jadi berpikir, “Gini amat ya, pekerjaan Duta Besar itu.”
Hanya saja, kalau saya pikir-pikir lagi, apabila saya jadi Macron, saya akan menggunakan beberapa alasan ini sebagai pembenaran pidato kontroversial kemarin.
- Kebebasan Berekspresi
Ceritanya Macron masih bersikeras bahwa dirinya tidak bersalah, dia bisa menggunakan Pasal 19 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) sebagai pembenaran atas pidatonya tersebut. Pasal 19 UDHR pada intinya bilang kalau setiap orang punya kebebasan dalam berekspresi dan berpendapat. Selain itu, kebebasan tersebut diikuti dengan hak bebas dari ancaman dalam mempertahankan pendapat.
Apa? Mau bilang Pasal 29 Ayat (2) UDHR merupakan pembatasan dalam menjalankan hak-hak asasi manusia? Ayolah, pembatasan tersebut kan diatur oleh undang-undang. Nah, perjanjian internasional macam UDHR itu kan sifatnya cuma mengatur hal-hal yang bersifat umum.
Hal-hal yang bersifat spesifik ya diatur sama undang-undang negara masing-masing, dong. Selama negara Prancis tidak melarang, ya sah-sah saja kalau ngomong macam Macron gitu, gak peduli ada pihak lain yang tersinggung. Jadi kalau kamu tersinggung sama pidatonya Macron, ya itu urusanmu, muehehehehehehehe.
- Asas Non Intervensi
Hei, hei, kalian ini protes tapi kok gak melihat Macron pidato di mana dan konteks pidatonya, sih? Dia kan pidatonya di negaranya sendiri. Selain itu, dia ngomong seperti itu juga karena dia merasa bahwa imigran-imigran Muslim yang sekarang bermukim di Prancis tidak bisa hidup dengan prinsip ‘laïcite’ alias sekularisme atawa pemisahan urusan keagamaan dengan urusan negara. Untuk menguatkan pendapatnya tersebut, Macron menyebutkan contoh berupa anak-anak muda Muslim yang berangkat ke Suriah.
BACA JUGA: ANTARA HOAX, KEKERASAN, TNI VS POLRI
Bagi Macron, pidatonya tersebut merupakan perang pemerintah Prancis melawan terorisme yang dilancarkan oleh Islamisme radikal. Oh ya, soal Islamisme radikal, itu sih bahasanya Macron, bukan saya.
Karena Macron berbicara dalam konteks urusan dalam negeri, maka selain dilindungi oleh kebebasan berekspresi sebagaimana diatur di Pasal 19 UDHR, tapi juga Pasal 2 Ayat (7) Piagam PBB, yakni prinsip non intervensi untuk urusan dalam negeri milik negara lain. Makanya pemerintah Prancis heran sama seruan boikot produk-produk Prancis di negara-negara Arab tersebut. Masak urusan domestik Prancis dijadikan alasan boikot?
- Ini Soal Ideologi
Prancis punya sejarah panjang sebagai sebuah negara yang sejarahnya merentang dari abad ke-4 Masehi sampai hari ini. Jelas Prancis bukan negara kemarin sore, karena pernah menggunakan bentuk pemerintahan monarki kemudian menganut demokrasi hingga sekarang.
Selain itu, prinsip ‘laïcite’ sendiri lahir karena Prancis pernah bermesraan dengan gereja yang berujung pada pencampuran urusan keagamaan dengan urusan pemerintahan, sampai akhirnya Prancis meninggalkan gereja dan memisahkan kedua hal tersebut dengan prinsip ‘laïcite.’
Makanya, tidak mengherankan kalau Prancis melalui Kementerian Luar Negeri menyatakan kalau pada dasarnya itu prinsip negara mereka dan mereka merasa sedang menghadapi musuh yang nyata. Jangankan Prancis yang merasa ancaman yang dihadapi mereka nyata, wong tiap bulan September saja ada sebagian warga Indonesia yang teriak, “Ganyang PKI” meski musuhnya sudah wassalam lebih dari 50 tahun lalu.
Yah, kira-kira begitulah alasan yang akan saya sampaikan kalau misal saya jadi Macron. Cuma setelah dipikir-pikir lagi, Prancis ini kan negara maju, teknologi mereka jauh lebih canggih dari teknologi mayoritas negara di belahan bumi manapun dan tidak semua negara punya prinsip ‘laïcite’ kayak di Prancis. Lha, kok bisa-bisanya Macron gak membayangkan kalau pidato kontroversial itu bakalan tersebar di mana-mana? Bukannya sekarang penyebaran informasi sudah sangat cepat, ya?
Ampun deh, sekarang kalau mau berpendapat memang harus hati-hati. Kepeleset sedikit bisa bernasib kayak Macron nanti. Macron sih enak, pemimpin negara, dikawal 24 jam selama tujuh hari sama Paspampres Prancis. Lha situ?
Bebas sih bebas berekspresi. Tapi Kebebasan yg dianut Barat seLama ini jg ada sambungannya : “……..Kebebasan yg TIDAK MENGGANGGU HAK ORANG LAIN”. Kata2 terakhir tsb lah yg diLANGGAR SENDIRI oleh masyarakat Barat trmsk Prancis. Mrk mengganggu Hak orang Islam untuk mensucikan Nabinya.
Lagipula seandainya Yesus yg dihina apk masyarakat Kristen jg tdk punya Hak utk Marah ?? Bahkan org2 Indonesiapun marah juga kan ketika Malaysia mengklaim Reog Ponorogo dan Tari Pendet sbg budayanya ?? Jd kebebasan ya kebebasan tp jg dibatasi oleh kebebasan org lain. Bknkah itu jg yg dianut masyarakat Barat trmsk Prancis ?? Jgn setengah2 kalau memahami Demokrasi & HAM !!