Di sepanjang jalan menuju Kota Solo, seorang teman bertanya kepada saya tentang masih relevankah melakukan aksi demo massa seperti yang kerap dilakukan oleh ratusan buruh, mahasiswa hingga kolektif warga yang turun ke jalan. Mereka bergandengan tangan membawa poster tuntutan. Tak lupa sambil menyanyikan chant dengan penuh semangat, menyatakan sikap dengan satu tujuan yang sama untuk mewujudkan dasar dari sebuah demokrasi. Temen saya itu bilang, aksi massa model begitu adalah aktivitas yang sia-sia.
Saya cuma bisa menghela nafas, sebenarnya cara berfikir seperti itu selalu ada di pikiran teman-teman dekat saya, cuma gak dilontarkan aja secara langsung. Bahkan di dinding facebook atau twitter juga sudah banyak yang mempertanyakan relevansi aksi massa yang sering kita sebut demonstrasi.
Saya ingin memberi sedikit penjelasan teruntuk teman-teman yang masih berasumsi jika unjuk rasa atau demo massa tidak efektif dan beranggapan bahwa pesan mereka tidak akan pernah sampai di telinga para pemimpin. Anggapan bahwa demo hanya akan menghabiskan waktu bersesakan dengan bau keringat dan panas di jalanan.
Tak apa semua boleh mengutarakan pendapatnya, tapi apakah kamu punya contoh lain untuk menggantikan aksi demo itu? Jika punya, percayalah saya akan kasih jempol lima buat kamu. Kalo kamu ikut atau lihat Aksi Kamisan yang digelar di depan Istana Negara menuntut janji atas HAM sedari 13 tahun lalu yang belum terpenuhi, memutar rapal dan mantra Morgue Vanguard a.k.a Ucok Homicide hingga menonton film pendek produksi Watch Doc tak membuatmu bergeming. Percayalah, bahwa ada yang salah di dalam pikiranmu.
BACA JUGA: DEMOKRASI OLIGARKIS
Berunjuk rasa atau berdemonstrasi ini tidak dilarang di Indonesia, justru hal itu merupakan “Wujud Demokrasi.” UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum adalah bukti bahwa Negara kita memperbolehkan aksi unjuk rasa dengan berbagai turunan dan aturan yang jelas. Malahan berdasarkan Pasal 18 UU No. 9 Tahun 1998, setiap orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang telah memenuhi ketentuan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
Bagi kamu yang merasa turun ke jalan ini adalah sia-sia dan menggantikan keikutsertaanmu dalam barisan demo dengan menanam pohon, menyelamatkan penyu, hingga aksi peduli lingkungan, bawasanya yang kamu lakukan itu adalah baik. Tapi itu semua belum menyelesaikan sumber masalahnya. Coba hitung, berapa banyak lubang dari tambang PLTU batu bara yang sudah menelan korban puluhan kali kita diamkan dan hanya menanam pohon untuk menggantikannya?
Kita sama-sama tahu, bahwa ada nyawa hilang saat aksi demo RUU KUHP di Jakarta 22 Mei dan 24 September 2019. Demo penolakan RUU KUHP ini juga akumulasi penyampaian aspirasi terhadap kebijakan pemerintah lainnya, seperti pengesahan revisi UU KPK, RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual), dan RUU Pertanahan hingga Minerba. Dengan tekanan massa yang begitu besar akhirnya pengesahan RUU ini ditunda, begitu juga yang baru-baru ini terjadi. KSPI ( Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) mengancam akan melakukan aksi mogok kerja besar-besaran pada 30 April 2020 jika pemerintah terus membahas klaster ketenagakerjaan dalam Rancangan Undang-undang Omnibuslaw (RUU) Cipta Kerja, yang berujung ditunda.
Percayalah dab, bawasannya JR (Judicial Review) ini bisa kita tempuh. Tekanan massa sangatlah penting untuk mendesak pemerintah dalam menentukan sikap.
Satu sampel lagi biar kenyang. Aksi 2 Desember atau yang disebut juga Aksi 212 dan Aksi Bela Islam III yang terjadi pada 2 Desember 2016 di Jakarta, sedikitnya ribuan massa menuntut Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penistaan agama, berujung bui. Meskipun bagi saya mobilisasi aksi ini menyebalkan, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa ‘aksi’ ini adalah contoh tekanan massa yang sangat berhasil. Faktanya ribuan orang intelektual bangsa ini tidak bisa membendung dan berbuat apa-apa.
BACA JUGA: AWAS BAHAYA LATEN BAPER DALAM DEMOKRASI
Jadi apakah menurutmu berunjuk rasa atau demonstrasi ini adalah sia-sia? Justru jika kita biarkan ruang demokrasi ini kosong, sama saja membiarkan ormas hingga otoritarian terus menghajar kita semua habis-habisan dan memenuhi ruang kosong tadi dengan cahaya semu.
Meskipun aksi demo ini diperbolehkan oleh undang-undang dan negara juga menjaminnya dalam Pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi Kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang. Ingat ya dab, demo itu ada tata caranya.
Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum, mencantumkan jenis-jenis demo yang dilarang.
Demo yang dilakukan dengan cara:
- menyatakan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia;
- mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
- menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang mengandung pernyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia;
- lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana atau kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti ketentuan Undang-Undang maupun perintah jabatan;
- menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan di muka umum tulisan yang menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, menentang penguasa umum dengan kekerasan.
So, masih relevankah demontrasi? Ya masihlah. Masak kamu dikecu diam saja? Intinya jadilah demonstran yang punya sikap dan pijakan di mana kakimu berdiri. Jangan cuma karena ikut-ikutan biar dibilang keren dan eksis ya dab. Jangan lupa jaga teman dan tenang mengkritik itu tidak harus punya solusi kok. Lha wong mereka yang buat masalah, kok kita disuruh cari solusi.
Situ waras?
nice article