Heyyy, baru banget nih. Masih anget-angetnya, kaya tahu bulat yang digoreng dadakan. Kemaren Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak.
Adapun pertimbangan Presiden meneken PP Nomor 70 Tahun 2020 tentu saja untuk mengatasi kekerasan seksual terhadap anak, memberi efek jera terhadap pelaku dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak.
PP ini merupakan pelaksanaan teknis dari Pasal 81A Ayat (4) UU No. 17 tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang. Yang bilang bahwa, “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
Weh, weh, weh, tapi apakah iya hukuman kebiri bakal semudah itu dapat diterima? Coba deh, kita liat dari berbagai sisi. Eh, tapi wajar aja sih, karena ini menyangkut hak anak. Semua orang juga tau kalo anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara.
Hak anak secara tegas dinyatakan dalam konstitusi Pasal 28 B Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Negara menjamin setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Jadi memang sudah seharusnya negara melindungi hak dan kepentingan anak, agar tidak menjadi korban kekerasan dari siapapun, khususnya kekerasan seksual.
Oke, back to kebiri kimia. Hukuman ini termasuk baru di Indonesia. Kebiri kimia ini udah mengundang pro kontra semenjak dikeluarkannya UU No 17 Tahun 2016. Di satu sisi pelaksanaan pidana kebiri diharapkan mampu memberikan efek jera kepada pelaku serta dapat mengurangi tingkat kejahatan seksual terhadap anak, namun di sisi lain pelaksanaan kebiri kimia dianggap merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
BACA JUGA: AKIBAT CINTA KELEWAT BATAS
Laporan World Rape Statistic tahun 2012, menunjukkan bahwa hukuman kebiri bagi pelaku tindak pidana perkosaan di berbagai negara di dunia tidak efektif menimbulkan efek jera. Tidak ada bukti yang menjamin bahwa penggunaan kebiri kimia telah mengurangi jumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak. Hukuman kebiri kimia seakan telah melanggar hak asasi manusia. Wayoo, gimana tuh.
Emang gimana sih, efek kebiri kimiawi itu?
Jadi gini gais, kebiri ini bisa dilakukan dengan mengonsumsi obat atau dengan suntikan/ injeksi yang berisi zat anti-testosteron ke tubuh pria dengan tujuan untuk menurunkan kadar hormon testosteron. Nah, salah satu fungsi dari hormon ini adalah sebagai fungsi seksual, sehingga simpelnya seorang pria akan kehilangan gairah seksualnya. Jadi gak gampang on gitulah.
Dari sisi kesehatan, kebiri kimiawi menimbulkan efek negatif berupa penuaan dini pada tubuh, mengurangi kepadatan tulang sehingga berisiko membuat tulang keropos atau osteoporosis dan mengurangi massa otot. Kebiri kimia juga memperbesar kesempatan tubuh menumpuk lemak, kemudian meningkatkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah. Selain itu dapat melumpuhkan organ. Duh, ngeri.
Tentu munculnya PP ini menimbulkan banyak perdebatan dari berbagai kalangan dan keilmuan, baik dari sisi hukum, kesehatan, dunia kedokteran dan psikologi.
Dari segi hukum aja, kalo kita baca ketentuan Pasal 28 Huruf G UUD 1945 dan Pasal 33 Ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, kebiri kimia ini pasti mengundang kontra.
Selain itu Indonesia juga sudah meratifikasi convention againts torture, dalam Konvensi yang Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia sebagaimana disebut dalam Pasal 7 dengan sangat jelas berfokus tentang perlindungan manusia dari ancaman penyiksaan yang dilakukan pihak lain: “Tidak seorangpun boleh dikenai penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabatnya, khususnya tidak seorangpun, tanpa persetujuannya secara sukarela dapat dijadikan eksperimen medis atau ilmiah.”
BACA JUGA: TERPAKSA ABORSI
Berdasar Pasal 2 PP No. 70 Tahun 2020, tindakan kebiri kimia, tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik dan rehabilitasi, dikenakan terhadap pelaku persetubuhan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dan dilaksanakan atas perintah jaksa setelah berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, di bidang hukum, dan di bidang sosial.
Kebiri kimia inipun tidak diberlakukan permanen, dalam Pasal 5 disebutkan bahwa tindakan kebiri kimia dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.
Kalau dicermati dalam PP itu, tindakan kebiri kimia itu tidak dapat dilaksanakan secara langsung, karena masih banyak pertimbangan dari berbagai pihak. Tindakan itu dapat dilakukan melalui serangkaian kegiatan seperti penilaian klinis, meliputi wawancara klinis dan psikiatri, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Nah, setelah tindakan itu barulah diperoleh kesimpulan untuk memastikan ‘pelaku persetubuhan’ layak atau tidak layak untuk dikenakan tindakan kebiri kimia.
Selanjutnya pelaksanaan tindakan kebiri kimia dilakukan segera setelah terpidana selesai menjalani pidana pokok, dilakukan saat pelaku persetubuhan keluar dari lembaga pemasyarakatan.
Jadi, apakah PP tentang kebiri kimia ini merupakan penyiksaan yang melanggar HAM?
Ya, mungkin bisa direnungkan dan dipikir masing-masing. Kalo menurutku sih, jika semua hal dikaitkan dengan HAM, ya mesti praktek penegakkan hukum sulit untuk dilakukan, karena pada dasarnya pidana penjara pun termasuk melanggar HAM karena mengambil hak dari seseorang. Jadi kalo sedikit-sedikit HAM ya susahh.
Aku sih, yes dengan PP ini.
Tapi yang perlu diingat, the sexual offense against children is a serious crime and an act of violation against human rights, especially to children. So, what about the perpetrator of a sexual offense, are they against the human rights and deserves to be punished? For me? Yes they are!